Menuju konten utama

Biografi Mayjen Sungkono, Tokoh Pertempuran Surabaya 10 November

Mayjen Sungkono merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Ia berperan memimpin pasukan perang melawan Sekutu.

Biografi Mayjen Sungkono, Tokoh Pertempuran Surabaya 10 November
Ilustrasi Mayjen Sungkono 1911-1977. tirto.id/Fuad

tirto.id - Salah satu tokoh Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang memiliki peran signifikan dalam perang melawan Sekutu adalah Sungkono.

Kolonel Sungkono termasuk dalam jajaran pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Surabaya. Banyak arek-arek Suroboyo yang bergabung dengan armada pimpinan Sungkono. Dalam pertempuran 10 November 1945, ia pun didapuk jadi kolonel perjuangan.

"Sungkono ini tidak bisa dipisahkan dengan Pertempuran Surabaya," tulis Soehario Padmodiwirio dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995).

Nama Sungkono memang tidak sepopuler Bung Tomo, Gubernur Soerjo, Doel Arnowo, dan Roeslan Abdulgani, di jajaran tokoh Pertempuran Surabaya. Namun, perannya dalam perang itu cukup vital. Pada November 1945, Sungkono memimpin pasukan perang melawan Sekutu dan menjalankan perannya sebagai komandan BKR Surabaya.

Biografi Mayjen Sungkono dan Sejarahnya dalam Pertempuran Surabaya

Sungkono bukan orang asli Surabaya. Dia lahir di Purbalingga pada 1 Januari 1911 dari pasangan Tawireja (ayah) dan Rinten (ibu). Ia merupakan putra kedua setelah kakak sulungnya, Supirah.

Ibu kandung Sungkono meninggal dunia tidak lama setelah melahirkannya. Kemudian Tawireja menikah lagi dengan Kartinem, seorang penjual getuk.

Masa kecil Sungkono terbilang sederhana. Ayahnya adalah penjahit sedangkan sang ibu berprofesi sebagai pedagang. Irkhul Luklui, melalui artikelnya berjudul "Peran Mayjen Sungkono dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Jawa Timur Tahun 1945-1950", yang dimuat dalam Jurnal Avatara Vol. 6 (2018), menjelaskan bahwa Sungkono memperoleh pendidikan yang memadai.

Sejarah Mayjen Sungkono di bidang pendidikan dimulai dari masa kecilnya yang bersekolah di Sekolah Ongko Loro Muhammadiyah, Purbalingga. Kemudian, ia berpindah ke HIS setelah biaya pendidikannya ditanggung tetangganya yang seorang priyayi, R.M. Soekisno. Setelah tamat di usia 15 tahun pada 1926, ia melanjutkan pendidikannya di MULO Surabaya.

Kolonel Sungkono, yang sejak kecil bercita-cita menjadi marinir, pada 1933, memutuskan untuk melanjutkan pendidikan militer di Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen (KIS), institusi kejuruan teknik perkapalan. Lulus dari sana, Sungkono ditempatkan di Vliegtuigmaker (bagian dari instansi militer laut Belanda) sebagai mekanik kapal.

Sejarah Mayjen Sungkono dan titik awal heroismenya tercatat pada peristiwa pembajakan kapal Zeven Provincien pada 1933. Kala itu, Gubernur Jenderal B.C. de Jonge mengeluarkan putusan kontroversial berupa pemotongan upah sebesar 17 persen bagi awak kapal.

Menyoal putusan itu, seperti yang diungkap dalam Buku Sejarah Panglima Kodam V Brawijaya, Kolonel Sungkono bersama awak kapal lainnya melakukan mogok massal. Mereka memprotes keputusan de Jonge yang dinilai diskriminatif terhadap awak kapal pribumi. Akibatnya, para pemogok itu ditawan di Kamp Sukolilo, Madura.

Karena peristiwa tersebut, Sungkono yang berdinas di Koninklijk Marine (KM), salah satu divisi Angkatan Laut Belanda, harus diberhentikan paksa. Di waktu yang bersamaan, ia juga tergabung ke dalam Inlandsche Marine Bond (IMB), perserikatan para kombatan laut Indonesia di Surabaya.

Selepas itu, ketertarikan Sungkono masih tertuju pada kemiliteran. Saat Jepang menguasai tanah air, ia memutuskan bergabung sebagai anggota Pembela Tanah Air (PETA).

Beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, keluar putusan sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945. Salah satu isinya ialah mandat pembentukan rintisan angkatan bersenjata RI bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Seruan ini juga dilesatkan langsung oleh Presiden Sukarno dalam pidatonya pada 23 Agustus 1945 yang berbunyi, " ... karena itu saya mengharap kepada kamu sekalian, hai prajurit-prajurit bekas PETA, HEIHO, dan Pelaut, beserta pemuda-pemuda lain untuk sementara waktu masuklah dan bekerjalah dalam Badan Keamanan Rakyat. Percayalah, nanti akan datang saatnya kamu dipanggil untuk menjadi prajurit dalam tentara kebangsaan Indonesia,” demikian dikutip dari Mari Bung, Rebut Kembali (2000) karya A. Saleh.

Kendati organisasi-organisasi militer bentukan Jepang, seperti PETA dan Heiho, resmi dibubarkan, nasionalisme para mantan anggotanya masih tinggi. Di Surabaya, seruan ini—pembentukan BKR—disambut hangat oleh para bekas pentolan anggota PETA dan Heiho, termasuk Mayjen Sungkono Surabaya.

Oleh karena itu, dibentuklah BKR Provinsi Jawa Timur yang diketuai oleh Mustopo, Karesidenan Surabaya dipimpin Abdul Wahab, dan Kota Surabaya berada di bawah komando Mayjen Sungkono.

Setelah BKR di Jawa Timur dibentuk, para pemuda bekas serdadu PETA, Heiho, Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL), dan berbagai badan semimiliter Jepang berbondong-bondong mendaftar ke sana. Mereka yang tak lolos seleksi tetap tergabung ke dalam Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang diketuai oleh Bung Tomo dan Pesindo.

Meskipun diberi mandat sebagai Komandan BKR Kota Surabaya, Sungkono hanya berpangkat kolonel. Tentu karena pengalaman militernya sebatas tergabung di korps pelatihan PETA. Walakin, ia begitu disegani para serdadunya lantaran berjiwa besar dan tenang. Lantas, apa peran Mayjen Sungkono?

Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya (1985) mendeskripsikan Sungkono sebagai sosok yang paham betul jalur logistik sehingga dapur umum yang memasok kebutuhan perut republikan bekerja dengan baik.

Bung Tomo dalam buku autobiografinya Bung Tomo, dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru (1982), menilai Sungkono sebagai pribadi yang kelewat tenang. Ia senantiasa tenang berada di markas, bahkan di kala Surabaya tengah dihujani proyektil-proyektil artileri Inggris. Ketika dikunjungi Bung Tomo pun Sungkono masih bisa membalas senyum sembari membagikan daging ayam goreng di tengah gempuran pasukan Sekutu.

Popularitas Kolonel Sungkono melejit usai Pertempuran Surabaya. Saat terjadi Agresi Militer Belanda 1 (21 Juli 1947), ia memimpin barisan pertahanan TNI daerah Jawa Timur.

Ketika agresi militer Belanda 2 terjadi pada Desember 1948, Mayjen Sungkono memainkan peran penting bagi pertahanan RI. Pada 1948, ia memegang posisi Gubernur Militer Jawa Timur dan Panglima Divisi I Brawijaya. Dia berjasa mempertahankan eksistensi Republik di Jawa Timur ketika Agresi Militer Belanda 2. Sungkono pun berhasil mendorong pembubaran negara Jawa Timur dan Madura yang merupakan boneka Belanda.

Pada 1950, Sungkono berpindah tugas ke Jakarta. Dia kemudian menjadi Penasihat Umum Menteri Pertahanan dengan pangkat Brigadir Jenderal. Tahun 1958, Sungkono diangkat menjadi Inspektur Jenderal PU Angkatan darat dengan pangkat Mayor Jenderal TNI AD.

Sejarah Mayjen Sungkono hidup sepanjang zaman meskipun usia tubuhnya terhenti pada umur 66. Dia meninggal di Jakarta pada 12 September 1977. Namanya kini disematkan sebagai titel jalan-jalan protokol di berbagai kota.

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Fadli Nasrudin