tirto.id - Presiden Joko Widodo kembali mempercayakan jabatan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) kepada Jenderal (Purn) Moeldoko. Ia dilantik pada Rabu, 23 Oktober 2019 bersama purnawirawan lain yang menjadi pembantu Jokowi-Ma'ruf. Mereka antara lain: Luhut Binsar Pandjaitan, Prabowo Subianto, Fachrul Razi, dan Tito Karnavian.
Kelima lulusan Akabri Magelang itu dipercaya Jokowi sebagai menteri di Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Luhut, misalnya menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Prabowo (Menteri Pertahanan), Fachrul Razi (Menteri Agama), dan Tito (Mendagri).
Sementara Moeldoko yang sudah membantu di kabinet kerja Jokowi-Jusuf Kalla, dipercaya kembali menjadi Kepala KSP. Pria kelahiran Kediri 8 Juli 1957 ini pertama kali dilantik pada 17 Januari 2018, menggantikan Teten Masduki.
Sebelum ditunjuk sebagai Kepala KSP, peraih Adhi Makayasa 1981 ini mengawali kariernya di TNI Angkatan Darat sebagai Komandan Peleton 1A Yonif Linud 700/BS Kodam VII Wirabuana dan mengakhirinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Selama perjalanan kariernya, Moeldoko tercatat ada sembilan penghargaan dari pemerintah Indonesia, Polri, dan PBB. Moeldoko juga pernah ikut dalam sejumlah operasi di antaranya Operasi Seroja di Timor Leste pada 1984 dan Konga Garuda XI/A tahun 1995.
Puncak karier di TNI saat ia ditunjuk Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Panglima TNI pada 30 Agustus 2013.
Saat Joko Widodo menjabat sebagai presiden, ayah dari Randi Bimantoro dan Joanina Rachma ini masih dipercaya sebagai Panglima TNI hingga dia purna tugas pada 8 Juli 2015. Ia kemudian digantikan Jenderal Gatot Nurmantyo.
Setelah pensiun, Moeldoko sempat rehat sejenak dari hiruk pikuk politik. Ia baru aktif kembali setekah bergabung dengan Partai Hanura, pada Desember 2016. Tak tanggung-tanggung, Moeldoko ditunjuk Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Hanura mendampingi Wiranto.
Empat bulan setelah masuk partai, Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) versi Munas kubu OSO. HKTI kubu OSO ini merupakan kubu hasil konflik pada Munas 2010 dan merupakan tandingan dari HKTI kubu Prabowo Subianto.
Saat ini, Moeldoko dan Prabowo satu barisan di Kabinet Indonesia Maju pemerintahan Jokowi-Ma'ruf periode 2019-2024.
Kontroversi Moeldoko Selama Jabat KSP
Selama menjabat Kepala KSP, Moeldoko kerap menuai kontroversi karena komentar-komentarnya. Di antaranya, saat dia secara tidak langsung menyalahkan Tuhan atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menimpa warga di Sumatera dan Kalimantan.
Ia menuliskan cuitan di Twitter dan meminta warga tidak mengeluh, "tapi berusaha menjalaninya dengan ikhlas dan berdoa."
"Segala musibah datangnya dari Allah SWT... Musibah bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, dan di mana saja... termasuk musibah yang menimpa Pekanbaru, Riau, yang sedang terjadi juga datangnya pun dari Allah SWT," katanya.
Sontak, pernyataan Moeldoko itu dikecam warga net.
Koordinator Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisa Khalid bahkan memvonis pernyataan Moeldoko sebagai pernyataan yang tidak sensitif dan melakukan simplifikasi masalah.
Sebab, faktanya karhutla bisa muncul karena aktivitas manusia. Buktinya, polisi sudah menetapkan 185 tersangka perorangan dan empat korporasi atas kejadian ini. Permintaan agar masyarakat sabar juga tidak tepat karena bagi Khalisa “orang Indonesia yang hidupnya 83 persen di wilayah bencana ini sudah punya sifat-sifat itu.”
Orang Indonesia, kata Khalisa, di kantor Walhi, Jakarta, Senin (16/9/2019), jauh lebih butuh "pernyataan pejabat publik yang dapat memastikan jaminan perlindungan dan penanganan karhutla."
Masalahnya, Moeldoko tidak mencuit apa pun setelah memberi khotbah agar warga selalu sabar dan berdoa itu.
Kontroversi kedua saat Moeldoko mengatakan Indonesia perlu meninggalkan mentalitas sebagai bangsa terjajah dan menggantinya dengan mental penjajah.
“Kita ini bangsa yang takut bersaing begitu hadapi orang luar. Kita harus membangun mental penjajah. Ngapain kita takut jadi orang seperti itu. Kita harus menghancurkan mental terjajah,” ucap Moeldoko di Hotel Aryaduta dalam acara bertajuk “Mengapa Indonesia Butuh Manajamen Talenta” pada Kamis (22/8/2019).
Ungkapan itu muncul ketika Moeldoko tengah membahas cara mengelola program manajemen talenta yang direncanakan Presiden Jokowi.
Menurut Moeldoko, pemerintah perlu membantu pengembangan talenta di Indonesia agar masyarakat tidak berjuang sendiri dan terkesan berdarah-darah dalam berjuang. Bahkan jika perlu menarik guru hingga ahli dari luar termasuk di dalamnya rektor asing yang saat ini menjadi bahan pembicaraan.
Namun, Moeldoko melihat orang Indonesia kerap menganggap orang asing lebih superior.
Ia pun mengasosiasikan ini dengan mentalitas orang Indonesia yang pernah dijajah. Moeldoko menambahkan, untuk melawannya harus menyuguhkan ide bahwa mentalitas itu perlu diganti dengan penjajah.
Editor: Maya Saputri