Menuju konten utama

Profil 3 Ilmuwan Peraih Nobel Kedokteran 2020, Peneliti Hepatitis C

Tiga ilmuwan yang meneliti Hepatitis C menerima penghargaan Nobel Kedokteran 2020. Penemuan 3 ilmuwan ini dinilai menyelamatkan jutaan nyawa.

Profil 3 Ilmuwan Peraih Nobel Kedokteran 2020, Peneliti Hepatitis C
Ilustrasi hepatitis C. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Penghargaan Nobel Kedokteran 2020 diberikan kepada tiga ilmuwan yang memberikan kontribusi penting dalam identifikasi virus Hepatitis C. Temuan mereka dinilai berdampak besar pada upaya mengembangkan pengobatan penyakit hepatitis.

"Penghargaan Nobel tahun ini diberikan kepada tiga ilmuwan yang memberikan kontribusi penting dalam memerangi hepatitis yang ditularkan melalui darah: masalah kesehatan yang menyebabkan sirosis dan kanker hati pada banyak orang di dunia," demikian keterangan resmi Komite Nobel.

Ketiga ilmuwan tersebut ialah Harvey Alter, Michael Houghton dan Charles Rice. Ketiganya berbagi penghargaan senilai 10 juta kron Swedia (USD1,1 juta).

Harvey Alter merupakan peneliti US National Institutes of Health (NIH). Adapun Michael Houghton kini aktif di Universitas Alberta, Kanada. Sementara Charles Rice bekerja di Universitas Rockefeller, New York.

Sebelum ada temuan mereka, virus Hepatitis A dan B telah diidentifikasi dan membikin kemajuan signifikan dalam dunia kedokteran. Namun, banyak kasus hepatitis yang terjadi karena penularan melalui darah tetap tidak dapat dijelaskan.

"Penemuan virus Hepatitis C mengungkap penyebab kasus hepatitis kronis dan memungkinkan dilakukannya tes darah dan obat-obatan baru yang menyelamatkan jutaan nyawa," tulis Komite Nobel.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 71 juta orang di seluruh dunia terinfeksi hepatitis C kronis. Hampir 400 orang meninggal per tahun, kebanyakan karena sirosis dan kanker hati.

Pakar kedokteran di Universitas Oxford, Inggris yang meneliti bidang penyakit hati dan imunologi, Ellie Barnes menilai tiga ilmuwan tersebut memang layak mendapatkan penghargaan Nobel karena temuan mereka benar-benar menunjukkan dampak besar kemajuan sains.

"Kita sudah sampai pada titik bisa menyembuhkan banyak orang yang terinfeksi [hepatitis]," kata Barnes, dikutip dari Nature.

Sebelumnya, penghargaan Nobel Kedokteran juga pernah diberikan kepada Baruch Blumberg pada 1976 atas penelitiannya terkait Hepatitis B.

Penemuan Virus Hepatitis C

Secara tak langsung, ketiga ilmuwan tersebut melakukan penelitian yang saling mendukung dalam upaya penemuan virus Hepatitis C. Bekerja di lembaga berbeda, hasil riset ketiganya mengarah pada indentifikasi virus baru.

Pada 1970-an, Harvey Alter mempelajari penularan hepatitis (radang hati) yang diakibatkan oleh transfusi darah. Riset sebelumnya telah mengidentifikasi virus hepatitis A dan B, tetapi penelitian Alter menunjukkan ada patogen virus ketiga yang bisa menular melalui darah ke simpanse.

Sementara Michael Houghton, saat bekerja di perusahaan farmasi Chiron Corporation di California, bersama timnya mengidentifikasi virus itu berdasarkan materi genetik simpanse yang terinfeksi hepatitis. Hasil riset Houghton menemukan jenis virus RNA baru dari keluarga Flavivirus. Mereka menamakannya Hepatitis C.

Lantas, sebuah tim peneliti Universitas Washington yang dipimpin Charles Rice, memakai teknik rekayasa genetika untuk mengkarakterisasi sebagian dari genom hepatitis C yang bertanggung jawab atas replikasi virus. Riset itu meyakinkan bahwa virus ini bisa memicu penyakit hati.

Harvey Alter mencatat para peneliti di Chiron memerlukan waktu enam tahun untuk mengkloning fragmen kecil dari genom virus hepatitis C, dan menyatakan penelitian itu sungguh melelahkan. Selain itu, menurut dia, riset yang ia lakukan bisa jadi sulit terlaksana pada masa sekarang.

"Saat ini, jika Anda tidak bisa menunjukkan titik akhir penelitian, sulit mendapatkan pendanaan," kata Alter, dalam konferensi pers usai pemberian hadiah Nobel.

"Jauh lebih sulit bagi peneliti masa sekarang, terutama kaum muda, untuk mendorong penelitian. Saya pikir dinamikanya harus sedikit diubah," tambah dia.

Profil Harvey Alter, Michael Houghton dan Charles Rice

Lahir pada 1935 di New York, Harvey Alter lulus sebagai dokter di Fakultas Kedokteran University of Rochester. Alter lama bekerja sebagai investigator senior di Institut Kesehatan Nasional AS (NIH). Alter kini merupakan ilmuwan senior di Departemen Pengobatan Transfusi Pusat Klinis NIH.

Selama 50 tahun berkarier di NIH, Alter memfokuskan penelitiannya pada kasus hepatitis yang dialami oleh pasien penerima transfusi darah. Pada 1970-an, meski sudah ditemukan hepatitis B, Alter melihat sejumlah besar pasien yang menerima transfusi darah masih mengalami hepatitis kronis karena agen infeksi yang tidak diketahui.

Alter telah berfokus pada virus hepatitis bahkan sebelum penelitiannya tentang hepatitis C. Pada 1960-an, dia ikut menemukan antigen Australia, kunci mendeteksi virus hepatitis B. Belakangan, ia mempelopori proyek di NIH Clinical Center yang membuat gudang sampel darah untuk mencari penyebab hepatitis terkait transfusi darah.

Alter kemudian menemukan bahwa darah dari pasien hepatitis dapat menularkan penyakit ke simpanse, satu-satunya inang yang rentan selain manusia. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa agen infeksius yang tidak diketahui memiliki karakteristik virus.

"Penelitian Alter mendefinisikan bentuk baru hepatitis virus kronis yang berbeda, dan kemudian dikenal sebagai hepatitis 'non-A, non-B'," tulis NIH di laman resminya.

Pada tahun 2002, Alter menjadi ilmuwan Pusat Klinis NIH pertama yang terpilih menjadi anggota National Academy of Sciences. Dan pada tahun yang sama ia terpilih menjadi anggota Institute of Medicine. Pada 2013, Alter dianugerahi penghargaan bergengsi Canada Gairdner International.

Sedangkan Michael Houghton lahir di Inggris pada tahun 1950-an. Ia menerima gelar doktor dalam bidang virologi dari King’s College London. Houghton saat ini menjabat Ketua Riset Unggul Kanada bidang Virologi di University of Alberta.

Mengutip laman University of Alberta, Houghton menemukan virus yang sekarang dikenal sebagai hepatitis C bersama rekannya Qui-Lim Choo dan George Kuo, pada 1989. Karena penemuan itu, tes skrining baru dikembangkan untuk donor darah.

Kemudian, pada 1992, virus secara virtual dihilangkan dari suplai darah. Pada tahun 1996, skrining ini menyebabkan penurunan tahunan infeksi hepatitis C baru lebih dari 80 persen.

Pada 2012, Houghton dan timnya dari University of Alberta mengembangkan vaksin hepatitis yang kini masuk dalam tahap pengujian praklinis akhir. Kini, Houghton juga memimpin upaya penemuan vaksin COVID-19.

Houghton sebenarnya kerap mengkritik penghargaan ilmiah. Pada 2013, dia menolak penghargaan Gairdner Kanada yang berhadiah USD75.000 karena panitia tidak mengikutsertakan rekannya Qui-Lim Choo dan George Kuo, sebagai bagian utama peneliti Hepatitis C.

Ia ingin penghargaan atas penemuan virus hepatitis C diberikan sebagai hadiah untuk tim, bukan individu. Saat itu, Houghton menilai rekan-rekannya tidak mendapatkan pengakuan yang layak.

Sementara terkait hadiah Nobel, Houghton menerimanya tetapi meminta panitia penghargaan ini untuk mempertimbangkan kelompok ilmuwan yang lebih banyak di masa depan.

"Ilmu pengetahuan yang hebat, seringkali adalah hasil kerja sekelompok orang, dan saya pikir ke depan kita perlu mengakui itu," kata Houghton, dikutip dari The Guardian.

Sedangkan yang terakhir, Charles Rice lahir pada 1952 di Sacramento, California. Menerima gelar dokternya pada tahun 1981 dari California Institute of Technology, Rice lantas aktif sebagai peneliti dan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Washington selama 14 tahun.

Belakangan, Rice bergabung ke Rockefeller University di New Yok. Pada 2001-2018, dia memegang posisi direktur eksekutif dan direktur ilmiah Pusat Studi Hepatitis C. Sampai sekarang Rice masih aktif di lembaga Rockefeller University tersebut.

Rice adalah anggota National Academy of Sciences dan penerima Hadiah Virologi M.W. Beijerinck 2007, Penghargaan Robert Koch 2015, Penghargaan Kesehatan InBev-Baillet Latour 2016, dan Penghargaan Lasker-DeBakey 2016.

Penelitian Rice secara langsung berkontribusi pada penyembuhan hepatitis C. Laman Rockefeller University menuliskan, Rice mengerjakan riset selama tiga dekade yang menghasilkan versi virus pertama hepatitis C yang dapat dibudidayakan dan dipelajari di laboratorium.

Penemuan itu mengarah pada penciptaan tiga kelas obat baru untuk hepatitis C. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa kombinasi obat-obatan ini mampu mengurangi viral load hepatitis C ke tingkat yang tidak terdeteksi, sehingga dinilai bisa menyembuhkan penyakit secara efektif.

Pada 2013, obat pertama yang dikembangkan dengan bantuan teknologi temuan Rice, menerima persetujuan FDA untuk digunakan pada pasien hepatitis.

Selain itu, grup Rice mengembangkan metode untuk menguji faktor-faktor yang membatasi infeksi pada hepatitis C, hepatitis B, influenza A, dengue, demam kuning, Zika dan chikungunya. Saat ini, Rice dan timnya sedang meneliti obat yang dapat menghambat infeksi virus corona (Covid-19).

Baca juga artikel terkait NOBEL atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH