tirto.id - Pada awal tahun 1910-an, sebuah perusahaan di New Jersey yang bernama Radium Luminous Material Corporation mempekerjakan gadis-gadis lulusan SMA untuk mengetes bahan pewarna yang bisa menyala dalam gelap. Mereka diperintahkan untuk memulas kuku dan gigi menggunakan sejumlah kecil cat berbahan dasar radium. Setiap gadis harus mengulang uji coba itu sebanyak ratusan kali dalam sehari.
Sepuluh tahun kemudian, gadis-gadis yang mendapat julukan Radium Girl ini satu per satu meninggal akibat penyakit aplastic anemia, yakni sebuah kondisi ketika sumsum tulang belakang gagal memproduksi sel darah baru. Artikel yang terbit di The Atlantic menyebut para gadis tersebut dinyatakan terpapar kontaminasi zat radioaktif sehingga harus dimakamkan dalam peti mati berlapis timah.
Radium adalah zat kimia radioaktif berbentuk logam berkilauan yang kini bermanfaat dalam pengobatan penyakit kanker. Sejak awal 1900-an, radium dipercaya mampu mengobati segala penyakit, bahkan diklaim sebagai salah satu penemuan terbesar umat manusia. Tidak sedikit perusahaan yang memakai nama logam mahal ini sebagai merek dagang untuk sekadar meningkatkan daya pikat.
Kala itu radium masih banyak ditemukan dalam produk harian seperti pasta gigi, obat-obatan, dan kosmetik. Belum banyak yang tahu jika radiasi dari radium bisa menimbulkan gangguan kesehatan jangka panjang. Pada tahun 1938, radium mulai dilarang digunakan baik sebagai bahan baku maupun merek dagang menyusul peningkatan jumlah kematian.
Radium pertama kali ditemukan dan dimurnikan oleh ilmuwan bernama Marie Curie dibantu suaminya Pierre. Ketika memulai percobaan ilmiahnya pada pertangahan 1890-an, Curie barangkali tidak menyangka jika bahan radioaktif itu akan membunuh banyak orang, termasuk menghabisi hidupnya di kemudian hari.
Pada tanggal 4 Juli 1934, tepat hari ini 86 tahun silam, Marie Curie meninggal dunia dalam usia 66 tahun akibat penyakit anemia. Paparan radiasi dari botol-botol tabung uji coba yang disimpan selama 37 tahun percobaan ilmiahnya diduga berperan menurunkan kondisi kesehatannya.
Marie Curie bersama suaminya dimakamkan dalam peti mati dengan tiga lapis timah di Pantheon bersama ilmuwan dan pemikir besar Prancis lainnya. Dalam obituari Marie Curie, The New York Times menjuluki perempuan pertama yang meraih dua Nobel di bidang fisika dan kimia ini sebagai “martir bagi dunia sains.”
Jenius yang Obsesif
Marie Curie terlahir dengan nama Manya Salomee Sklodowska pada 7 November 1867 di Warsawa, Polandia. Saat dirinya lahir, rakyat Polandia tengah berjuang menuntut kemerdekaan dari pendudukan Kekaisaran Rusia. Manya dibesarkan dalam suasana perjuangan yang membuatnya harus selalu waspada terhadap pengawas Rusia yang kerap berpatroli ke sekolah-sekolah.
Barbara Goldsmith dalam biografi Obsessive Genius: The Inner World of Marie Curie (2011) menyebut Manya sebagai “si jenius yang obsesif.” Semenjak kecil, Manya sangat suka belajar dan selalu menjadi bintang kelas. Sampai suatu ketika kematian ibu dan saudari perempuannya pada tahun 1878 mengubah wataknya menjadi lebih keras lagi. Dia menjadi terobsesi membaca berbagai macam buku khususnya buku-buku ilmu pasti, jarang berbicara, dan suka menyendiri.
Pendudukan Rusia di Polandia yang dimulai sejak 1820-an sampai pembentukan Republik Polandia pada 1918 membuat Manya kesulitan melanjutkan sekolah. Kala itu, terdapat larangan bagi perempuan Polandia yang ingin mengenyam pendidikan tinggi.
Beruntung, ayah Manya yang seorang guru punya bermacam cara untuk memastikan putrinya mendapat pendidikan layak. Pada 1885, Manya masuk ke sebuah sekolah bawah tanah bernama Uniwersytet Latający (Universitas Terapung) yang lokasinya berubah secara teratur untuk menghindari deteksi pemerintah Rusia.
Menurut catatan yang dirangkum Smithsonian Magazine, Manya mendapat banyak dorongan dari ayahnya agar menuntut ilmu setinggi-tingginya. Maka setelah tamat sekolah, dia bekerja sebagai guru bagi anak-anak perempuan dan mulai menabung. Pada usia 24 tahun, dia sudah mengumpulkan uang yang cukup untuk melanjutkan sekolah ke Prancis.
Saat tiba di Paris pada 1891, Manya mengganti namanya menjadi Marie dan langsung menyibukkan diri ke dalam aktivitias belajar di Universitas Sorbonne. Di sela kesibukannya, Marie bekerja membersihkan tabung-tabung percobaan di laboratorium kampus dan hidup hanya memakan roti yang dioles mentega. Marie Sklodowska mendapatkan gelar sarjana di bidang fisika pada tahun 1893, dilanjutkan sarjana matematika di tahun berikutnya.
Penemuan Fenomena Radioaktivitas
Pada 1893, Marie berkesempatan bekerja sebagai peneliti di laboratorium milik gurunya, Gabriel Lippmann. Akan tetapi, tidak sampai satu tahun laboratorium Lippmann menjadi sangat sempit baginya. Dia kemudian meminta bantuan kepada koleganya yang bernama Josef Kowalski-Wierusz agar dicarikan sebuah ruang tambahan.
Kowalski lantas memperkenalkan Marie kepada ilmuwan muda bernama Pierre Curie dalam sebuah acara jamuan teh. Keduanya mulai berbincang tentang kegiatan Marie yang malah membuat Pierre sangat terkejut. Dia mulai menaruh hati pada gadis pendiam itu.
“Dia (Pierre) belum pernah bertemu dengan perempuan yang sangat fasih berbicara tentang sains. Buat dia, itu adalah cinta pada pandangan pertama,” kata fisikawan nuklir Hélène Langevin-Joliot yang tidak lain adalah cucu Marie dan Pierre. Pertemuan singkat itu memantapkan hati Pierre untuk melamar Marie.
Marie pada awalnya menolak lamaran Pierre karena dia sangat ingin kembali ke negara asalnya. Siapa sangka lama-kelamaan Marie luluh juga. Setelah berjumpa dan bekerjasama hampir setiap hari, Marie yakin bahwa dia telah menemukan orang yang tepat. Gaun biru dongker yang Marie kenakan saat upacara pernikahan kemudian menjadi jas lab kesukaannya selama beberapa tahun ke depan.
“Pekerjaan kami membuat kami semakin dekat, sampai kami berdua yakin bahwa kami berdua tidak dapat menemukan teman hidup yang lebih baik,” kata Marie seperti dikutip Mark Trombetta dalam tulisannya di Journal of Contemporary Brachytherapy.
Pernikahan Marie dengan Pierre menandai dimulainya kemitraan yang akan segera menghasilkan pencapaian penting. Pada 1898, suami-istri Curie mulai tertarik melanjutkan penelitian tentang radiasi yang dipelopori oleh Henri Becquerel. Marie dibantu Pierre berhasil menemukan bahwa radiasi berasal dari peluruhan inti atom yang tidak stabil. Fenomena ini kemudian dia beri nama radioaktivitas. Marie kemudian berhasil menemukan unsur radioaktif pertama yang diberi nama polonium.
Trombetta dalam tulisannya menjelaskan bahwa polonium dinamai berdasarkan negara Polandia. Marie yang semenjak kecil dikepung perasaan nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, merasa dapat menggunakan penemuan tersebut untuk meningkatkan kesadaran tentang perjuangan untuk kemerdekaan Polandia. Pierre yang mengagumi kecerdasan istrinya setuju pada keputusan itu.
“Marie dengan rendah hati bertanya kepada Pierre apakah dia setuju menggunakan substansi polonium untuk membawa kesadaran ke tanah airnya sendiri, yang telah dihapus dari peta dan dibagi oleh negara-negara pendudukan Tsar Rusia, Austria, dan Jerman,” tulis Trombetta.
Lima bulan setelah polonium ditemukan, Marie dan Pierre kembali menemukan substansi lain bernama radium. Zat radioaktif baru ini dengan cepat menarik perhatian ilmuwan dari pelbagai penjuru Eropa. Akan tetapi, suami-istri Curie enggan memublikasikan temuan terakhir itu karena khawatir jika radium akan disalahgunakan, seperti halnya bahan peledak Alfred Nobel.
Bias Gender dalam Nobel Sains
Alih-alih mengakui diri sebagai penemu radium, Marie Curie dan suaminya lebih dikenal sebagai pelopor studi tentang fenomena radioaktivitas. Pada 1903, suami-istri Curie mendapat undangan seminar dari Royal Institution di London yang meminta mereka memaparkan perkembangan penelitiannya.
Karena terdapat larangan bagi perempuan berbicara di forum terbuka, maka Pierre yang lebih banyak memberikan kuliah. Kendati demikian, dia berusaha keras melibatkan Marie dalam setiap diskusi. Dalam sebuah kuliah umum yang diadakan pada hari Jumat di awal Juni 1903, Pierre dengan hati-hati memaparkan peran penting Marie dalam kolaborasi mereka.
Perbedaan perlakuan terhadap Marie dan suaminya tak hanya sekali. Satu tahun sebelumnya, Pierre Curie direkomendasikan sebagai penerima Nobel sains bidang fisika bersama-sama dengan Henri Becquerel. Komite Nobel yang kala itu belum pernah memberikan penghargaan kepada ilmuwan perempuan, merasa harus mengecilkan peranan Marie terkait penelitian radioaktivitas.
Tidak terima istrinya diperlakukan demikian, Pierre lantas mengirim surat kepada anggota Komite Nobel sekaligus ahli matematika asal Swedia, Magnus Goesta Mittag-Leffler. Dalam surat tahun 1903, Pierre meminta agar Mittag-Leffler membantunya mengubah keputusan panitia.
“Jika benar bahwa Komite bersungguh-sungguh memberikan Nobel kepada saya, saya sangat ingin dipertimbangkan bersama-sama Madame Curie sehubungan dengan penelitian kami tentang radioaktivitas,” tulis Pierre seperti dikutip dalam biografi Marie Curie yang terbit di American Institute of Physics.
Mittag-Leffler yang ternyata juga adalah penasihat bagi kelompok ilmuwan perempuan Swedia setuju pada permintaan Pierre. Dia percaya bahwa penolakan panitia terhadap peranan Marie disebabkan masih kurangnya pemahaman dan pernghargaan pada ilmuwan perempuan. Kurangnya kesadaran akan emansipasi di Eropa kala itu menjelaskan kenapa perempuan dianggap tidak lebih pandai dibandingkan laki-laki di bidang fisika dan matematika.
“Stereotip tradisional menyatakan bahwa perempuan ‘tidak suka matematika’ dan ‘tidak pandai sains’,” tulis Mary K. Feeney dalam tulisannya yang terbit di Conversation.
Menurut Feeney, sejak pertama kali diberikan pada 1901, sebanyak 97 persen pemerima Nobel sains adalah laki-laki, berkulit putih, dan berusia tua. Pemaparan Feeney dilengkapi oleh laporan Science Mag yang merinci bahwa hingga saat ini hanya ada sekitar 20 perempuan yang pernah menerima Nobel sains: 3 orang di bidang fisika, 5 di bidang kimia, dan 12 di bidang fisiologi.
Pada Desember 1903, Marie dan Pierre Curie dianugerahi Nobel Fisika atas penelitian mereka terhadap fenomena radioaktivitas. Penghargaan itu dibagi bersama-sama dengan Henri Becquerel yang telah lebih dahulu memelopori penelitian yang sama. Marie Curie menjadi perempuan pertama dalam sejarah yang menerima penghargaan ini, kendati dia dan suaminya menolak datang ke Stockholm karena Pierre terlalu lemah untuk bepergian jauh.
Radium dan Skandal Nobel Kedua
Sejak mulai bekerja bersama pada 1894, baik Marie maupun Pierre hampir setiap hari terpapar zat radioaktif di tempat kerja yang kurang layak. Philipp Blom dalam bukunya The Vertigo Years: Europe, 1900-1914 (2008), menyebut keduanya bekerja di sebuah ruangan beratap kaca yang sangat pengap saat musim panas tiba. Meski demikian, Marie mengaku cukup menikmatinya.
“Salah satu kegembiraan kami adalah ketika pergi ke ruang kerja di malam hari, kami bisa melihat siluet bercahaya dari botol atau kapsul yang mengandung bahan percobaan kami. […] Tabung bercahaya tampak seperti lampu peri yang redup,” kata Marie seperti dikutip Blom.
Diduga akibat paparan radiasi, kesehatan Pierre sempat naik-turun. Marie bahkan disebutkan suka menyimpan bongkahan radium di saku jas labnya. Keduanya bukan berarti tidak menyadari bahaya jangka panjang radium. Belum sempat efek samping radium diteliti lebih jauh, Pierre meninggal dunia akibat tertabrak kereta kuda yang kelebihan muatan di jalanan Paris pada 19 April 1906.
Kematian mendadak Pierre tidak hanya menjadi pengalaman pahit bagi Marie, melainkan juga menjadi titik balik paling menentukan dalam karier dan kehidupannya. Menurut Anna Gasińska dalam “Life and Work of Marie Sklodowska-Curie and her Family” (1999, PDF), Marie bekerja semakin keras bagi perkembangan ilmu pengetahuan demi menutupi rasa depresinya. Dia menolak uang santunan yang diberikan pemerintah Prancis dan mengatakan akan menghidupi anak-anaknya seorang diri.
Di tahun yang sama, Marie diangkat menjadi profesor pertama di almamaternya, Universitas Sorbonne. Setelah berhasil mendirikan akademi untuk meneliti radium di Paris, Marie menerbitkan risalah radioaktivitas setebal 971 halaman yang kemudian menjadi karya terpentingnya. Disusul dengan keterlibatannya dalam Konferensi Internasional Solvay untuk Fisika dan Kimia di Belgia tahun 1911.
Tidak butuh waktu lama sampai para ilmuwan laki-laki mengakui kemampuannya. Fisikawan terkemuka seperti Ernest Rutherford, Albert Einstein, Paul Langevin, and Max Planck, terang-terangan menyanjung hasil kerja Marie. Albert Einstein bahkan menyebut Marie bekerja terlalu keras hingga membuat “jiwanya seperti tiram yang tidak bisa mengekspresikan kegembiraan atau rasa sakit.”
Pada 1911, Marie Curie direkomendasikan sebagai penerima Nobel sains di bidang kimia atas jasanya memurnikan unsur radium dan polonium. Kabar itu mencuat bersamaan dengan rumor hubungan asmara janda berusia 38 tahun itu dengan fisikawan Prancis, Paul Langevin. Surat kabar beramai-ramai mengangkat skandal itu hingga membuat Komite Nobel merasa harus menangguhkan penghargaan untuk Marie.
Meskipun sangat terguncang, Marie berusaha mengerahkan kekuatan untuk menghadiri upacara penghargaan. Dengan gaya yang tegas, dia mengirim surat kepada Komite Nobel di Swedia yang isinya: “Tidak, saya tetap akan datang ke Stockholm, saya akan ambil hadiah saya, jadi bersiap-siaplah!” Pada Desember 1911, Marie berangkat ke Stockholm ditemani saudara perempuannya, Bronya, dan putrinya, Irene.
Ketika Perang Dunia I mulai pecah di Eropa tahun 1914, Marie masih terus bekerja. Dalam wawancara France in Focus (2017), Hélène Langevin-Joliot, menceritakan bahwa neneknya itu ikut terjun ke garis depan. Marie mengangkut mesin x-ray ke atas truk pinjaman dan melatih perawan yang berpengalaman dalam pengobatan menggunakan radium.
Sepanjang hidupnya, Marie Curie dikenal sebagai ilmuwan perempuan paling produktif dan meninggalkan banyak catatan penting. Namun demikian, tidak sembarang orang bisa membaca dokumen pribadinya, mulai dari buku memasak sampai surat-surat penting yang sebagian disimpan di perpustakaan nasional Prancis.
Aktor dan penulis asal Amerika Serikat, Alan Alda, mengaku pernah tertarik menulis tentang Marie Curie dan berusaha membaca catatan peninggalannya. Belakangan, dia baru menemukan bahwa seluruh barang-barang pribadi Marie Curie beserta suaminya disegel dalam kotak timah. Setelah lewat hampir 100 tahun, barang-barang peninggalan Marie Curie dipastikan masih mengandung paparan radiasi berbahaya.
“Lalu, saya mengetahui bahwa surat-surat itu mengandung radiasi, semuanya dikumpulkan di perpustakaan di Paris. Anda harus menandatangani surat pernyataan bahwa Anda sadar sedang menangani bahan radioaktif dan bisa mati karenanya. Aku tidak cukup berani untuk melakukannya,” kata Alda dalam wawancara Smithsonian Magazine.
Editor: Irfan Teguh