tirto.id - Waktu menunjukkan pukul 1 dini hari saat Michael Kremer menerima pesan melalui aplikasi Skype dari seorang teman di Swedia. Ekonom Universitas Harvard ini sempat menduga kabar dirinya menang Hadiah Nobel bidang ekonomi 2019 sebagai penipuan, sebelum benar-benar menyadari kemanangannya itu.
Kremer tidak sendiri. The Royal Swedish Academy of Sciences juga mengumumkan pasangan suami-istri Abhijit Banerjee dan Esther Duflo sebagai pemenang Nobel dalam ilmu ekonomi untuk penelitian di bidang pengentasan kemiskinan.
Keterangan resmi laman The Nobel Prize menyebut, ketiga ekonom Amerika Serikat (AS) ini diganjar hadiah atas pendekatan eksperimental mereka untuk mengurangi kemiskinan global dengan berfokus pada masalah terkait lainnya seperti pendidikan dan kesehatan anak.
Indonesia Jadi Salah Satu Negara Penelitian
Ketiga ekonom dari dua universitas ini menginisiasi pendekatan untuk mengurangi kemiskinan yang berbasis pada desain eksperimen lapangan. Hasilnya adalah wawasan praktis tentang bagaimana orang miskin merespons pendidikan, perawatan kesehatan, dan program lain yang dimaksudkan untuk mengangkat tingkat kemampuan ekonomi.
“Tanpa menghabiskan waktu untuk memahami seluk-beluk kehidupan orang miskin yang mengapa mereka mengambil pilihan yang mereka buat, tidak mungkin untuk merancang pendekatan yang tepat,” ucap Duflo dalam konferensi pers di Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS.
Dalam salah satu bagian disertasinya, ekonom berusia 46 ini turut meneliti kebijakan SD Inpres yang dibentuk pemerintah Indonesia di era 1973 hingga 1978. SD Inpres merupakan salah satu kebijakan yang dibuat pada masa kepresidenan Soeharto
Duflo menganalisis dampak dari program SD inpres terhadap tingkat pendidikan dan tingkat upah penduduk Indonesia saat itu. Caranya dengan menggabungkan perbedaan jumlah sekolah di berbagai daerah dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh durasi progam.
Penelitian berbasis realitas yang terjadi di Indonesia tahun 1973 hingga 1978 saat Indonesia membangun lebih dari 61 ribu SD itu kemudian diabstraksikan dalam makalah jurnal ilmiah. Duflo menerbitkannya pada tahun 2000 dengan judul Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment.
Dalam makalah tersebut, Duflo mencatat bahwa program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar yang pernah tercatat. SD Inpres muncul di era Soeharto untuk memperluas kesempatan belajar di perdesaan maupun perkotaan yang warganya berpenghasilan rendah.
“Saya mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh durasi program,” tulis Esther Duflo.
Di makalah setebal 60 halaman ini, Duflo juga menjelaskan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia 2-6 tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Program SD Inpres, menurut penelitian Duflo, secara khusus telah mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan lebih banyak tahun pendidikan dasar. Peningkatan ini telah diterjemahkan ke dalam peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan.
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan SD Inpres sebagai variabel instrumental dan dampak pendidikan terhadap upah pekerja, Duflo menyimpulkan program ini sukses "meningkatkan" perkonomian.
SD Inpres merupakan kebijakan yang dikeluarkan Presiden Soeharto lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Kebijakan itu dirancang ekonom Indonesia Widjojo Nitisastro, yang juga dikenal sebagai arsitek utama perekonomian Orde Baru, bersama dengan Ali Wardhana, J.B. Sumarlin, Emil Salim, dan Sadeli.
Hingga periode 1993/1994, tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun. Seiring dengan itu, ditempatkan pula lebih dari 1 juta guru Inpres di sekolah-sekolah tersebut. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) I mencapai hampir Rp6,5 triliun. Atas program ini, Soeharto diganjar penghargaan Medali Emas Unesco Avicenna (pendidikan) Unesco pada 1993.
Metodologi yang Banyak Ditentang
Peter Fredrikson, Ketua Komite Pengahargaan Nobel (PDF), mengungkapkan faktor utama yang melandasi pemberian penghargaan kepada tiga ekonom itu adalah karena mereka meneliti dengan "pendekatan eksperimental yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan global."
“Pendekatan eksperimen telah membentuk kembali ekonomi pembangunan, memiliki dampak yang jelas pada kebijakan dan meningkatkan kemampuan untuk memerangi kemiskinan global,” ucap Fredrikson saat pengumuman.
Pendekatan yang dimaksud adalah melakukan penelitian dengan menggunakan metode evaluasi acak atau randomized controlled trial (RCT). Metode uji coba terkontrol secara acak atau RCT ini dilakukan dengan membagi sampel ke dalam dua kelompok secara acak: kelompok yang menerima program dan yang tidak menerima program.
Karena pembagian secara acak, kedua kelompok dipandang sama secara statistik. Dalam uji coba terkontrol secara acak atau RCT, kebijakan dipandang sebagai "intervensi" di mana elemen dari program dievaluasi dan diuji untuk mengetahui seberapa baik dampaknya dalam mencapai tujuan.
Tapi, metode penelitian RCT ini ditentang banyak ekonom seperti Pranab Bardhan, profesor ekonomi di University of California, Berkley. Dalam salah satu artikel yang terbit di Boston Review pada Mei 2013, Bardhan menunjukkan kelemahan metodologi RCT ini karena ketidakmurnian data yang berasal dari masalah desain, partisipasi, dan implementasi.
RCT menghadapi tantangan serius terhadap generalisasi atau validitas eksternal. Untuk banyak masalah kebijakan penting, RCT tidak terlalu berguna dan hanya menunjukkan dampak rata-rata. Singkatnya, Bardhan menunjukkan bahwa banyak intervensi yang disarankan oleh Duflo dan Banerjee untuk memerangi kemiskinan terlalu sempit dan tidak sepenuhnya mencakup penyebab kemiskinan yang sebenarnya.
Peraih Nobel Ekonomi lainnya, Amartya Sen, bersama seorang ekonom asal India, Jean Dreze, juga meragukan RCT sebagai metodologi untuk merancang intervensi kebijakan. Dreze berpendapat bahwa bukti yang diberikan oleh metodologi RCT jauh dari kebijakan yang dijalankan. Dreze menunjukkan RCT dapat dengan mudah salah mengartikan poin data utama yang mengarah pada intervensi yang keliru karena tidak dirancang untuk memahami bagaimana keputusan politik diambil.
“Sama seperti makna bukti dalam istilah ‘kebijakan berbasis bukti’ telah melalui beberapa revisi yang sehat, bagi saya tampaknya bahwa hubungan antara bukti dan kebijakan harus dipikirkan lebih lanjut. Bukti adalah tentang fakta, dan kebijakan adalah keputusan politik,” tulis Dreze dalam salah satu argumen tertulisnya.
Pakar mikroekonomi dan profesor di Princeton University, Angus Deaton, bersama Nancy Cartwright juga percaya RCT adalah metode yang salah untuk meneliti, merancang, dan mengimplementasikan kebijakan anti-kemiskinan. “Banerjee dan Duflo maupun Dean Karlan dan Jacob Appel (2011 – More than good intentions: how a new economics is helping to solve global poverty - PDF), yang mengutip banyak RCT, mengangkat kekhawatiran tentang kesimpulan yang menyesatkan,” sebut Deaton dan Cartwright dalam makalah yang diterbitkan Princeton University pada 2016 (PDF).
Ekonom Australia sekaligus profesor ekonomi di Universitas Georgetown, Martin Ravallion, juga mempertanyakan metodologi RCT dapat menghasilkan bukti yang tepat. “RCT pada praktiknya menghadapi masalah kesalahan pengukuran, kepatuhan dan kontaminasi selektif. Maka menjadi jelas bahwa alat tersebut tidak dapat mengatasi pertanyaan tentang kemiskinan dan kebijakan untuk memeranginya,” tulis Ravallion dalam makalah berjudul "Should the Randomistas (Continue to) Rule?" (PDF).
Editor: Ivan Aulia Ahsan