tirto.id - Pada 15 Juni 2014, atau ketika belum jadi Presiden RI, Joko Widodo yakin pertumbuhan ekonomi bisa di atas tujuh persen. Dengan catatan, seperti dikutip dari Kompas, “iklim investasi beserta regulasinya itu betul-betul terbuka dan memberikan kesempatan untuk investor lokal bergerak.”
Namun target itu tak sekalipun terealisasi hingga periode pemerintahannya yang pertama hampir selesai Oktober nanti. Pertumbuhan ekonomi mentok di angka lima persen, bahkan pernah menyentuh angka 4,79 persen pada 2015. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi tahun lalu, sebesar 5,17 persen.
Pertumbuhan ekonomi tahun ini diprediksi sama seperti yang sudah-sudah. Proyeksi Bank Indonesia (BI), pertumbuhan ekonomi hanya di rentang 5-5,4 persen.
Target pertumbuhan ekonomi Jokowi pun hampir dipastikan gagal.
Meski begitu, Jokowi toh bersikeras mengejar target tersebut pada periode kedua pemerintahannya. Jokowi, kini bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin, menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari tujuh persen pada 2023.
Persoalan Klasik
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai setidaknya ada dua persoalan utama yang membuat pertumbuhan ekonomi mentok di angka lima persen. Pertama, belum sejalannya kebijakan ekonomi antara instansi. Mereka terkesan bergerak sendiri-sendiri.
Kondisi ini membuat arus investasi tidak maksimal, dan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi minim.
“Kebijakan masih parsial. Jadi sampai sekarang belum ada yang sifatnya mengintegrasikan berbagai kebijakan dalam rangka mendorong investasi masuk lebih besar,” kata Tauhid kepada reporter Tirto, Selasa (15/10/2019).
Namun, tren pertumbuhan PDB dari investasi atau pembentukan modal tetap bruto terus meningkat. Pada 2015, pertumbuhan PDB dari investasi mencapai 5,07 persen dan mencapai 6,67 persen pada 2018. Kinerja investasi ini lebih baik ketimbang konsumsi rumah tangga.
Persoalan kedua datang dari melambatnya kinerja ekspor. Kondisi tersebut diperparah dengan serbuan barang impor yang semakin besar. Akibatnya, lanjut Tauhid, devisa negara tergerus, neraca dagang terganggu, dan akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi.
Selama 2014-2018, pertumbuhan impor Indonesia secara kumulatif mencapai 4,56 persen. Di lain pihak, ekspor hanya naik 3,76 persen. Menurut Tauhid, pertumbuhan impor yang lebih tinggi dari ekspor bisa menyebabkan ekonomi terdegradasi.
“Jika melihat kinerja ekspor impor seperti sekarang ini, saya kira ini akan menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia, terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi untuk lima tahun ke depan,” ujarnya.
Kebijakan antar instansi yang parsial juga diakui Piter Abdullah, Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE). Piter menilai 16 paket kebijakan ekonomi yang telah dirilis Jokowi gagal meningkatkan konsumsi masyarakat.
“Utamanya karena [kebijakan ekonomi] itu enggak [bertujuan] untuk mendorong konsumsi dan investasi di tengah kondisi global saat ini yang menghambat pertumbuhan ekspor,” kata Piter kepada reporter Tirto.
Imbasnya, target yang dikejar pemerintah selama ini, penciptaan lapangan kerja dari investasi baru, tidak sesuai harapan. Kegagalan ini juga membuat daya beli dan belanja warga menjadi rendah.
Alhasil, pertumbuhan PDB dari konsumsi masyarakat juga mentok di kisaran lima persen selama periode pertama pemerintahan Jokowi. Padahal, kontribusi konsumsi masyarakat terhadap PDB paling besar ketimbang investasi atau konsumsi pemerintah.
“Kontribusinya (konsumsi masyarakat) sekitar 80 persen. Nah, kalau pemerintah gagal untuk mendorong pertumbuhan konsumsi, otomatis pertumbuhan ekonomi kita juga stagnan,” jelas Piter.
Oleh karena itu, Piter menilai persoalan tumpang tindih kebijakan harus menjadi masalah utama yang perlu segera ditanggulangi pemerintah. Apabila tidak, Indonesia akan sulit keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi lima persen.
Tirulah Vietnam
Persoalan klasik kebijakan yang tumpah tindih juga dikeluhkan pelaku usaha, salah satunya Direktur Utama PT Martina Berto Tbk. Bryan Tilaar. Menurutnya, ini bisa selesai jika reformasi birokrasi dipercepat.
“Sistem di birokrasi juga, supaya investasi lebih hebat lagi. Presiden kita sampai kesal kenapa banyak perusahaan yang pindah dari Cina ke Vietnam semua, dan enggak ada yang ke Indonesia," tutur Bryan.
Menurut Bryan, Vietnam merupakan salah satu contoh negara yang bisa dicontoh Indonesia. Di sana, kata Bryan, kemudahan investasi dan aturan yang berlaku tidak menghalangi pengusaha asing untuk tanam modal di Vietnam
“Menurut saya, mau enggak mau koordinasinya harus lebih bagus ke depannya. Begitu juga dari sisi produktivitas SDM kita yang juga masih ada masalah,” jelasnya.
Indonesia sebenarnya masih lebih baik ketimbang Vietnam, terutama jika terkait daya saing global. Saat ini, peringkat daya saing global Indonesia berada di posisi 50, dan Vietnam di posisi 67.
Walau peringkat daya saing global Indonesia lebih baik, toh Vietnam lebih unggul jika terkait pertumbuhan ekonomi. Selama 2016-2018, rata-rata pertumbuhan ekonomi Vietnam sekitar tujuh persen per tahun.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Ringkang Gumiwang