Menuju konten utama

Produk Hijab Indonesia Hanya Kuasai 25 Persen Pasar Lokal

Temmy Satya Permana mengatakan produk hijab lokal yang beredar di Tanah Air hanya menguasai 25 persen pangsa pasar.

Produk Hijab Indonesia Hanya Kuasai 25 Persen Pasar Lokal
Pedagang menata jilbab dagangannya di salah satu gerai di sebuah pusat perbelanjaan di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/5). ANTARA FOTO/R. Rekotomo

tirto.id - Asisten Deputi Pembiayaan dan Investasi UKM Kementerian Koperasi dan UKM, Temmy Satya Permana, mengatakan produk hijab lokal yang beredar di Tanah Air hanya menguasai 25 persen pangsa pasar. Total penjualan hijab pada 2022 sebesar Rp1,06 miliar yang terserap ke masyarakat.

“Hijab 2022 Rp1,06 miliar pcs, dibeli oleh masyarakat kita dari sejumlah itu hanya 25 persen produk dalam negeri, miris kan?” kata dia dalam acara Forum Wartawan Koperasi dan UKM (Forwakop), Jakarta, Jumat (17/11/2023).

Ia menjelaskan, produk hijab memang banyak diproduksi di dalam negeri. Namun, banyak produk luar secara cross border masuk ke dalam negeri secara bebas, bahkan dengan harga yang tidak bersaing.

“Kita tahu kita produksi hijab tapi faktanya banyak produk luar yang masuk ke kita dan itu free flow banget masuknya [harga] Rp5.000-10.000 masuk ke kita,” ucap dia.

Temmy memproyeksikan jika pangsa pasar hijab bisa dikuasai produk dalam negeri dan bisa berkembang pesat untuk ekspor ke pangsa internasional maka nilainya akan besar, bahkan tembus Rp6 triliun. Hal ini yang sedang didorong oleh pemerintah dengan menutup laju produk cross border.

“Kita kan negara dengan produk muslim di dunia dan lebih dari satu orang dalam satu bulan pasti ada hijab, kebayang kan produk Indonesia dari dalam dan luar negeri ini potensi yang cukup besar, senilai kurang lebih Rp6 triliun sekian untuk pasar hijab di indonesia,” kata dia.

Meski laju cross border telah disetop melalui aturan Permendag Nomor 31 Tahun 2023, namun Temmy menilai, banyak produk yang terlanjur sudah masuk pasar lokal dan menyebar di platform e-commerce. Untuk itu, pemerintah akan meningkatkan sistem pegawasan.

Pengawasan produk impor, kata Temmy, masih melalui sistem manual. Diperlukan sistem digital yang dalam hal ini mampu melihat produk-produk yang dijual di bawah harga pokok penjualan (HPP).

“Terkait harga pokok penjualan (HPP) pun kita belum atur, belum ada aturannya, sebetulnya hijab itu berapa sih HPP-nya, harus sudah diregulasi, di Cina saja itu ya HPP diatur. Platform yang menjual di atas HPP itu kena sanksi, jadi kita punya satu PR lagi nih,” ucap dia.

Baca juga artikel terkait PRODUK LOKAL atau tulisan lainnya dari Faesal Mubarok

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Faesal Mubarok
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Anggun P Situmorang