Menuju konten utama

Nilai Tukar Rupiah Melemah, Momentum Tepat Cintai Produk Lokal

Melemahnya nilai tukar rupiah adalah momentum tepat untuk menguatkan ekonomi nasional dengan mencintai dan membeli produk lokal.

Nilai Tukar Rupiah Melemah, Momentum Tepat Cintai Produk Lokal
Header INSIDER Momentum Cinta Produk Lokal. tirto.id/Fuad

tirto.id - Tekanan ekonomi akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi peluang bagi kebangkitan produk lokal. Ini momentum tepat untuk merealisasikan Gerakkan ‘Cinta Produk Dalam Negeri’ demi kokohnya perekonomian nasional.

Kecintaan masyarakat terhadap produk lokal ini sangat penting artinya bagi pelaku usaha nasional yang mayoritas skala usahanya UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Menurut Kementerian UKM dan Koperasi pada 19 Maret 2024, jumlah pengusaha skala UKM mencapai 67 juta dengan kontribusi mencapai 61 persen dari PDB (Product Domestic Bruto) Indonesia dan penyerapan tenaga kerjanya 97 persen dari total penyerapan tenaga kerja.

Artinya, jika masyarakat mau membeli produk lokal, dia turut menyelamatkan perekonomian keluarga dan bangsanya sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli dengan produk bangsa sendiri.

Sampai hari ini, sejujurnya kita hanya mampu menjadi penonton di negeri sendiri. Berbagai produk dan merek asing masih dikonsumsi luas oleh masyarakat. Kenyataan ini berbanding terbalik, dengan ambisi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045.

Ciri-ciri negara maju sebagaimana dilansir dari berbagai sumber, diantaranya adalah memiliki pendapatan per kapita tinggi, kesehatan dan keamanan terjamin, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), angka pengangguran kecil, dan tingkat ekspor lebih tinggi dari impor. Bagaimana cara mencapainya?

Pertama, masyarakat harus punya pola pikir yang positif terhadap produk bangsa sendiri. Kegemaran masyarakat berbelanja produk asing, karena menganggap lebih berkualitas itu harus diubah. Faktanya, kualitas produk kita sudah diakui internasional. Jika bepergian ke luar negeri banyak ditemukan barang yang kita beli ternyata buatan Indonesia.

Kedua, edukasi terus menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mencintai produk lokal. Dengan cara ini, kita bisa mendorong perekonomian yang kokoh sekaligus membangun kedaulatan bangsa.

Bila kita terus bergantung pada barang impor, tentu hidup kita akan terus cemas. Setiap rupiah melemah, kita dihantui oleh beban hidup yang meningkat, karena harga-harga akan naik. Pilihan untuk berhemat adalah dengan membeli produk lokal yang harganya lebih murah dari impor.

Bagaimana bila harga produk impor ternyata masih banyak yang lebih murah dari produk lokal (misalnya produk-produk dari China)? Tentu, ini keputusan yang sulit, karena dengan harga murah, pengeluaran bisa hemat.

Namun, sadarilah ini hanya manfaat sesaat. Jika masyarakat mau berkorban dengan membeli produk lokal yang harganya sedikit lebih mahal, maka uangnya akan bermanfaat lebih banyak.

Kesadaran membeli produk lokal akan memberikan banyak manfaat, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi jumlah penduduk miskin, mengurangi angka kriminalitas, dan meningkatkan pendapatan negara. Produk kita akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri, negara kita lebih bermartabat dan Indonesia akan menjadi negara maju.

Kita bisa mencontoh Warga Jepang dan Korea Selatan (Korsel) yang menunjukkan jiwa nasionalisme yang tinggi dengan bangga membeli produk lokal, apapun kondisinya. Dan, terbukti perekonomian kedua negara itu tumbuh kokoh dan bangsanya disegani oleh dunia.

Belajar dari Jepang dan Korsel

Warga Jepang yang negerinya pernah hancur lebur karena dibom oleh Amerika Serikat di Perang Dunia kedua ini memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Mereka sampai tidak mau membeli produk asing jika produk lokalnya ada, meski harganya lebih murah.

Barang-barang impor sampai tidak laku di negeri Sakura itu. Atas desakkan Amerika Serikat saat itu, Perdana Menteri Yosuhiro Nakasone yang berkuasa tahun 1982-1987 sampai melakukan kampanye dengan mendatangi pusat perbelanjaan demi membujuk warganya agar mau membeli produk asing.

Kecintaan Jepang terhadap produk lokal memang luar biasa. Dari soal makanan dan minuman pun, mereka sangat mengutamakan produk lokal. Jika ingin minum alkohol saja, mereka memilih produk lokal sake (minuman beralkohol tradisional Jepang) daripada yang impor.

Daging sapi Jepang, Wagyu, hingga mie lokal juga lebih disukai daripada merek asing. Begitu pula, dengan produk fashion, kecantikan hingga elektronik dan otomotif, warga Jepang lebih memilih merek lokal.

Mirip dengan Jepang, Warga Korsel juga sangat mencintai produk lokal. Negeri yang awalnya miskin itu, kini telah tumbuh menjadi negara maju yang disegani dunia.

Saat penulis berkunjung ke beberapa kota di Korea Selatan beberapa tahun lalu, kita bisa menyaksikan mobil-mobil yang berseliweran di sepanjang jalan adalah merek-merek produksi Korea sendiri, seperti Hyundai, KIA, Daewoo, dan lainnya.

Begitu pula, produk fashion dan kecantikan merek lokal yang mendominasi etalase di berbagai pusat perbelanjaan. Bahkan gaya fashion Artis K-Pop Korsel berhasil digemari oleh remaja di berbagai belahan dunia.

Seperti halnya Jepang, Negeri Gingseng juga memiliki budaya yang kuat terhadap makanan dan minuman lokal. Produk asinan Korsel, kimchi (sayur segar yang difermentasi), bulgogi (daging sapi panggang), dan soju (minuman beralkohol) dihargai dan dikonsumsi secara luas oleh Warga Korsel.

Bandingkan dengan perilaku konsumen Indonesia. Makanan asinan bogor, asinan Betawi, jamu, bir pletok atau Arak Bali justru mulai tidak dikenal di kalangan anak muda. Mereka lebih memilih makanan western.

Sejarah Gerakkan Cinta Produk Lokal

Gerakkan “Cinta Produk Dalam Negeri” itu sebenarnya sudah ada sejak era Presiden Sukarno hingga Presiden Joko Widodo. Sayangnya, gerakkan tersebut baru sebatas slogan atau belum konsisten diimplementasikan dalam kebijakan ataupun perilaku belanja masyarakat.

Kendati mengaku sebagai negara agraris, Indonesia faktanya belum bisa swasembada pangan. Bahan pangan utama, seperti beras, kedelai, bahkan gandum masih impor.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indonesia masih mengimpor beras. Bahkan, volume impornya naik pesat dari 444,51 ribu ton di tahun 2019 menjadi 3,06 juta ton di tahun 2023.

Impor gandum dan meslin Indonesia di tahun 2023 yang dirilis oleh BPS pada 21 Maret 2024 juga menunjukkan angka yang tinggi, yaitu 10,87 juta ton dengan total nilai mencapai 3,66 miliar dolar AS. Sedangkan impor kedelai mencapai 2,27 juta ton senilai 1,47 miliar dolar AS.

Tahun 2023, Amerika Serikat menjadi pemasok kedelai terbesar, yaitu 85,47 persen dari total volume impor nasional.

Hingga menjelang Perayaan Kemerdekaan RI yang ke-79 tahun, Indonesia masih belum mampu mencukupi kebutuhan pangan warganya. Tak heran jika nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar AS, dipastikan harga tempe, mie instan dan semua harga komoditas akan naik. Tak hanya di bidang pangan, hampir sebagian besar kebutuhan Warga 62+ ini dikuasai oleh produk asing.

Lalu, apa yang harus dilakukan agar membantu meningkatkan nilai tukar rupiah? Selain dengan membeli produk lokal dan menahan diri tidak beli produk impor, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyarankan masyarakat untuk tidak menimbun dolar dengan kata lain menukar uang rupiah ke dolar.

Berikutnya, berwirausaha dengan orientasi ekspor. Memilih tujuan wisata di dalam negeri, berinvestasi di dalam negeri, berhemat dengan menggunakan transportasi publik, dan memupuk jiwa nasionalisme dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang bisa menekan nilai tukar rupiah.

Infografik INSIDER Momentum Cinta Produk Lokal

Infografik INSIDER Momentum Cinta Produk Lokal. tirto.id/Fuad

Langkah-langkah memperkokoh perekonomian itu diharapkan membantu memperkuat rupiah. Di sisi lain, kecintaan rakyat terhadap produk lokal akan membantu bangsa ini menjadi mandiri. Sejak era Presiden Sukarno berkuasa, mereka sudah menyadari bahwa ketergantungan kepada produk impor dan bantuan negara lain itu bisa membahayakan kedaulatan bangsa.

Bung Karno pun mengusung konsep berdikari (berdiri diatas kaki sendiri). Dia menganjurkan rakyat Indonesia agar bisa menolong diri sendiri, berdiri diatas kaki sendiri, dan bergantung pada tenaga (kemampuan) sendiri.

“Berdikari, percaya pada kekuatan sendiri, tidak mengemis-ngemis,” kata Sukarno dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 yang ditulis oleh ajudannya H. Mangil Martowidjojo.

Menurut Mangil, Soekarno mengingatkan negara yang hidup mentereng karena hidup dari pertolongan atau bantuan uang negara lain, negara itu suatu saat akan hancur lebur ketika tidak menerima bantuan lagi.

Selain Presiden Sukarno, pada tahun 1980-an, Presiden Suharto juga mengingatkan rakyat untuk cinta produk dalam negeri dengan membuat Gerakan Aku Cinta Buatan Indonesia. Lagu untuk kampanyenya saat itu populer dinyanyikan oleh Penyanyi Bimbo Bersaudara.

Saat kekuasaan beralih ke Presiden Megawati Sukarnoputri di tahun 2001, Gerakan Cinta Produk Indonesia diwujudkan dengan menggelar Pameran Produk Indonesia (PPI) yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional atau Harkitnas yang ke-95.

Kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa dari tahun 2004-2012 mengusung slogan,”100% Cinta Indonesia.”

Semua iklan, materi promosi hingga kemasan produk saat itu diwajibkan memasang logo “100% Cinta Indonesia.” Bahkan, bangunan dan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta yang memakai nama asing harus mengubah namanya menjadi nama Indonesia.

Sedangkan di era Presiden Joko Widodo meluncurkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gemas BBI) pada 14 Mei 2020. Pada 2023, gerakan tersebut diperluas dengan Bangga Berwisata di Indonesia.

Gerakkan ini sebagai wujud gotong royong untuk mendorong ekonomi nasional dengan menyediakan ruang yang lebih besar lagi bagi pelaku usaha untuk berkarya dan memasarkan produknya.

Presiden pada Aksi Afirmasi Gerakkan BBI tahun 2022 menekankan pentingnya merealisasikan aksi beli produk lokal tersebut. Komitmen kementerian/lembaga dan pemrintah daerah untuk membeli produk lokal senilai Rp802 triliun disambut baik. Sayangnya, realisasinya masih sangat kecil, yaitu dibawah 10 persen atau baru Rp.110,2 triliun.

Instansi pemerintah, kata presiden, justru membelanjakan semua anggarannya untuk beli produk impor. Padahal dengan anggaran ratusan triliun tersebut, bila mereka mau membeli produk lokal, tentu dampaknya akan menggerakkan perekonomian rakyat dan membuka peluang lapangan kerja yang banyak untuk mengatasi pengangguran.

Sayang sekali gerakkan yang bertujuan mengangkat produk lokal tersebut belum terlihat berdampak besar. Semuanya baru sebatas seremonial, terbukti BPS mencatat aktivitas impor masih tinggi. Sampai saat ini, Indonesia masih terus dibanjiri oleh barang-barang impor, dan warganya masih memuja barang atau merek-merek luar negeri daripada karya anak bangsa.

Ajakkan pemerintah untuk membeli produk lokal terlihat baru sebatas slogan. Jika serius, pemerintah seharusnya bisa membuat kebijakan yang berpihak pada produk lokal dan menegakkannya dengan sanksi. Pemerintah memang sudah mewajibkan instansi pemerintah untuk belanja produk lokal, tapi pelaksanaannya belum sesuai harapan.

Langkah berikutnya dengan memberi insentif pajak untuk produk lokal, sehingga harganya bisa bersaing dengan produk impor. Sayangnya dalam beberapa hal, kebijakan pemerintah kadang-kadang justru merugikan pelaku usaha lokal.

Di bidang pertanian, misalnya, profesi petani semakin tidak populer, karena kehidupan petani makin sulit. Petani sering dirugikan oleh kebijakkan pemerintah yang memasukkan barang impor justru di saat panen raya tiba.

Akibatnya, harga jual pangan lokal jatuh, karena stok barang melimpah. Belum lagi harga obat-obat pertanian yang semakin mahal, dan sulitnya mendapatkan pupuk subsidi.

Sementara dalam pengembangan produk teknologi, Presiden BJ. Habibie telah membangun PT Dirgantara Indonesia, sehingga putera dan puteri Indonesia mampu membuat pesawat terbang. Namun anehnya, upaya membuat mobil nasional yang teknologinya lebih sederhana tak kunjung terwujud.

Mobil Esemka yang dipopulerkan Presiden Jokowi sebagai produk anak bangsa sejak lebih dua dekade lalu, sampai jabatannya akan berakhir pada Oktober 2024 ini juga masih menjadi misteri.

Mencintai produk lokal itu penting karena wujud cinta kita pada bangsa sendiri. Dengan membeli dan menggunakan produk lokal, kita juga turut melestarikan warisan budaya kita, pelestarian lingkungan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Insider
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas