tirto.id - Laga seru akan terjadi di babak perempatfinal Piala Dunia 2018: Brasil versus Belgia. Secara sederhana, laga ini dapat digambarkan sebagai pertarungan antara tim yang membawa dendam membara melawan generasi emas sebuah bangsa.
Brasil tak mungkin melupakan partai semifinal Piala Dunia 2014. 1.437 hari lalu. Di hadapan publik sendiri yang memadati stadion Mineirao, Selecao dipermak Jerman 1-7. Sam Wallace, jurnalis Independent, dalam laporannya menggambarkan pertandingan tersebut dengan ironi yang tepat: “'Ordem e Progresso' yang tertulis di bendera. Kekacauan dan khaos yang terjadi di lapangan.” Ordem e Progresso = Keteraturan dan Kemajuan.
Itulah penampilan terburuk Brasil sepanjang sejarah sepakbola. Saking buruknya, para suporter Brasil sampai membakar jersey Neymar yang tidak bermain karena cedera setelah laga. Sementara pelatih Luiz Felipe Scolari hanya mampu menyalahkan dirinya sendiri sebagai "catastrophic”, malapetaka.
Kini banyak hal telah berubah dalam tim Brasil. Mereka bahkan menjadi negara pertama yang lolos ke putaran final Piala Dunia 2018. Hal itu dipastikan setelah pasukan Tite meraih kemenangan 3-0 atas Paraguay di Arena Corinthians berkat lesakan gol Philippe Coutinho, Neymar, dan Marcelo. Sementara di babak penyisihan grup, mereka juga sukses menjadi juara Grup E dengan poin 7, hasil dari 2 kemenangan dan 1 imbang.
Dengan penampilan tersebut, Opta memprediksi Brasil sebagai negara terfavorit untuk memenangkan Piala Dunia 2018. Mereka mendulang probabilitas 14,2%, diikuti Jerman dengan 11,4%, Argentina 10,9%, Prancis 10,5%, lalu Spanyol yang berada di tempat kelima sebesar 9,3%. Prediksi serupa bahkan turut diamini para bandar judi.
Namun demikian, semua itu “hanyalah” catatan statistik belaka. Masih ada tiga pertandingan bagi Brasil untuk membuktikan bahwa mereka memang layak menjadi juara. Dan laga kontra Belgia dengan generasi emasnya adalah ujian yang tepat sebelum mereka betul-betul berhasil merengkuh trofi Piala Dunia untuk ke-enam kalinya.
Pembuktian Neymar di Hadapan Generasi Emas Belgia
Bagi kolumnis The Guardian, Barney Ronay, Neymar adalah entitas berbeda yang tak pernah muncul sebelumnya dari lapangan hijau. Seorang pesepakbola zaman now.
Dengan citra gold-plated douchebag-playboy yang ia tonjolkan, dengan segala keasyikannya di media sosial, dan dengan segala pergaulan luasnya hingga ke artis dan talkshow papan atas Amerika, Neymar adalah wujud ideal seorang pesepakbola popstar masa kini yang tak ingin dianggap semata hanya jago mengolah si kulit bulat.
“Neymar bukan hanya seorang pesepakbola yang hebat, tetapi ia juga memiliki kualitas lain yang lebih menarik. Mungkin bagian terbaik darinya adalah bagaimana ia menunjukkan caranya untuk tetap eksis, bahagia, sebagai seorang superstar modern. Dia adalah satu-satunya pemain sepakbola cutting edge saat ini yang kita miliki. Seorang pemain yang hampir tidak ada sebelumnya,” demikian tulis Ronay di kolomnya di Guardian yang berjudul "Neymar is no Messi or Pelé but The World’s Greatest Sub-Genius Footballer".
Terlepas perangainya di luar lapangan, Neymar adalah wajah sepakbola Brasil era sekarang. Di pundaknya Brasil menaruh beban untuk kembali ke puncak podium. Ia sebetulnya punya peluang besar untuk mewujudkan hal tersebut ketika empat tahun lalu Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Namun, sebagaimana kita tahu, Brasil dibantai, Neymar sendiri hanya bisa terkapar di ranjang karena cedera.
Kini, diakui atau tidak, penyerang Paris Saint Germain tersebut sudah pasti memiliki dendam pribadi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya bukan sekadar Youtube Footballer dengan banderol selangit. Terlebih, dua pemain terbaik lainnya, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo sudah lebih dulu pulang kampung. Aksi Neymar jelas dinanti.
Repotnya, penampilan Neymar sejauh ini standar saja, kendati telah mencetak dua gol (lawan Costa Rica di fase grup dan Meksiko di babak perdelapan final) dan hanya membungkus 1 asist. Ia justru lebih sering mendapat olok-olok di lapangan karena aksi teatrikalnya yang kelewat lebay dan gaya rambutnya yang, bagi Eric Cantona, disebut mirip spaghetti al dente.
Dalam dua partai awal kontra Swiss dan Costa Rica, Neymar dinilai masih belum mampu menunjukkan penampilan terbaiknya. Ia memang mencetak satu gol kontra Costa Rica, namun baru ketika melawan Serbia di matchday ketiga, Neymar mulai bermain apik. Lewat satu umpan yang berbuah gol bagi Thiago Silva dan mampu menyelesaikan sembilan dribble sukses, ia didapuk sebagai Man of The Match versi Whoscored dengan rating yang tinggi: 9,25.Penampilan Neymar makin membaik saat Brasil bertemu Meksiko di babak 16 besar. Dengan mencetak satu gol dan sukses membuat peluang hingga berbuah gol kedua Selecao yang dicetak Roberto Firmino, Neymar terpilih sebagai MoTm versi FIFA. Dalam laga tersebut, ia turut membuat tembakan paling banyak di antara pemain Brasil lain, yakni tujuh kali dan mendapat rating 8,54 dari Whoscored.
Dalam laga kontra Belgia nanti di perempatfinal, Neymar diperkirakan tidak akan mendapat banyak perlakuan keras sebagaimana yang ia terima di laga-laga sebelumnya. Hal ini dimungkinkan mengingat Belgia bermain dengan pendekatan yang ofensif, bahkan mengungguli Brasil.
Belgia sejauh ini menjadi tim paling produktif di Piala Dunia 2018 dengan torehan 12 gol. Empat gol di antaranya dicetak oleh striker mereka yang bermain di Manchester United, Romelo Lukaku. Adapun Brasil justru menjadi salah satu tim yang paling sedikit kebobolan, yakni satu gol. Fakta ini menarik sebab Brasil selama ini justru dikenal sebagai tim yang lebih mengandalkan serangan ketimbang pertahanan.
Hal lain yang mesti diwaspadai anak buah Tite dan juga perlu dipahami Neymar adalah: mereka akan melawan generasi emas Belgia.
Duel Terbuka 3-4-2-1 vs 4-3-3
Dari posisi penjaga gawang hingga ke lini serang, Belgia berisikan nama-nama mengerikan yang menjadi sosok kunci di klub mereka masing-masing. Sebut saja: Thibaut Courtois dan Eden Hazard (Chelsea), Jan Vertonghen (Tottenham Hotspur), Kevin de Bruyne (Manchester City), Dries Mertens (Napoli), hingga Lukaku (Manchester United).
Perjalanan mereka lolos dari fase grup pun termasuk sensasional. Menang 3-0 dari Panama, mencukur Tunisia 5-2, hingga mengalahkan Inggris 1-0 “hanya” dengan skuat lapis kedua. Di babak 16 besar, Belgia memang nyaris kalah dari Jepang setelah kebobolan dua gol terlebih dahulu. Namun, secara dramatis mereka berhasil membalikkan keadaan menjadi 3-2.
Pelatih Belgia, Roberto Martinez, sejauh ini mampu mengeluarkan kemampuan terbaik para pemainnya lewat formasi 3-4-2-1. Lini belakang diisi oleh trio Toby Alderweireld-Vincent Kompany-Vertoghen. Dua gelandang tengah ada Alex Witsel dan Kevin de Bruyne. Sementara di sisi kanan ada Thomas Meunier dari PSG, lalu di kiri ada Yannick Carrasco dari Atletico Madrid. Keduanya berperan sebagai wingback yang menjadi katalis di sektor sayap. Untuk gelandang serang, Martinez memilih Hazard dan Mertens untuk menopang Lukaku sebagai striker tunggal.
Permainan bola-bola pendek dan serangan balik cepat yang dipadukan dengan kualitas individu menjadi ciri utama Belgia. Martinez tidak mengharamkan para pemain-pemain yang memiliki kemampuan dribble apik seperti Hazard, Mertens, atau Carrasco untuk menahan bola atau melakukan penetrasi ke kotak penalti jika dimungkinkan.
Adapun keunggulan lain dari Belgia adalah mereka punya variasi serangan lain yang betul-betul berguna ketika dibutuhkan: memainkan banyak umpan silang. Sebagaimana terlihat ketika melawan Jepang. Usai ketinggalan dua gol, Martinez segera merespon dengan memasukkan Marouane Fellaini dan menempatkannya bersama Lukaku sebagai tower kembar di lini depan.
Strategi tersebut berhasil. Fellaini berhasil mencetak gol untuk menyamakan kedudukan 2-2 setelah memanfaatkan umpan silang Hazard dari sisi kiri. Sementara gol pembalik keadaan diciptakan Belgia dengan taktik blietzkrieg yang metodikal pada menit 94. Tercatat hanya 3 sentuhan yang diperlukan Belgia dalam gol ketiga mereka.Berawal dari bola sepakan pojok Keisuke Honda yang berhasil ditangkap Courtois, kiper Chelsea tersebut segera menyodorkan bola kepada Kevin De Bruyne. Dengan melakukan sprint, ia sudah sudah berada di final third, dan segera mengoperkan bola kepada Meunier yang berada di kanan. Bola itu langsung diteruskan lewat umpan silang mendatar ke kotak penalti untuk kemudian diceploskan Nacer Chadli ke gawang Eiji Kawashima.
Jika melihat dua gol Jepang, tercatat ada dua faktor kelemahan Belgia dalam formasi 3-4-2-1 mereka: garis pertahanan tinggi dan tidak adanya figur dengan kualitas holding midfielder yang mumpuni.
Gol pertama Jepang bermula dari umpan terobosan Gaku Shibasaki yang melewati penjagaan Kompany dan Vertonghen. Ketika bola kemudian diterima Genki Haraguchi, ia segera menggiring ke kotak penalti dan melepaskan tembakan mendatar ke sudut gawang yang tak bisa diantisipasi Courtois. Sementara gol kedua Jepang berasal dari renggangnya penjagaan terhadap Takashi Inui sehingga ia dapat menembak dari luar kotak penalti.
Axel Witsel yang dipilih Martinez, dengan meninggalkan Radja Nainggolan, bisa diandalkan dalam duel satu lawan satu. Ia juga lebih disiplin melindungi para bek tengah. Namun ia kerap keteteran karena, biar bagaimana pun, ia kerap sendirian saja berdiri di depan pertahanan. De Bruyne bukannya pemain yang tidak sudi melakukan tindakan bertahan, namun bukan di situ keunggulannya.
Dengan berkaca dari situasi tersebut, Brasil yang bermain dengan 4-3-3 dan menempatkan dua pivot di depan lini pertahanan dapat memberi ancaman serius terhadap Belgia. Di sisi kiri, duet Neymar dan Marcelo yang cenderung kuat secara ofensif akan membuat Meunier bermain lebih defensif demi melapis pertahanan.
Di tengah, Paulinho yang diplot sebagai pemain nomor 8 dan Coutinho yang memiliki kemampuan dalam melepaskan tembakan jarak jauh akan membuat sibuk duet Witsel dan De Bryune. Di sektor inilah Brasil semestinya dapat mengeksploitasi kelemahan Belgia yang tidak memiliki gelandang tengah dengan kualitas bertahan apik dan juga bermain dengan garis pertahanan tinggi.
Duel menarik sesama kompatriot Chelsea akan terjadi di di sektor sayap. Willian di sisi kanan Brasil akan berhadapan langsung dengan teman baiknya, Hazard, di sisi kiri Belgia. Willian sepertinya akan mendapat tugas khusus dari Tite untuk menempel Hazard mengingat di posisi bek kanan Brasil, Fagner, yang menggantikan Danilo karena cedera, masih belum menampilkan permainan terbaik.
Firmino Bisa Menjadi Truf?
Sedang persoalan utama Brasil terletak di posisi striker. Tite tampaknya harus memberikan kesempatan bagi Firmino sejak menit awal untuk menggantikan Gabriel Jesus yang belum menunjukkan performa optimal. Firmino sendiri sudah mencetak satu gol sejauh ini di Piala Dunia 2018, sementara Jesus masih nol.
Firmino lebih banyak tampil secara reguler di Premier League bersama Liverpool, dibanding Jesus bersama City. Catatan statistik memperlihatkan: Jesus bermain sebanyak 29 kali (10 kali sebagai pengganti) dengan torehan 13 gol. Sedangkan Firmino tampil 37 kali (5 kali sebagai pengganti) dan mencetak 15 gol.
Selain lebih sering tampil reguler, Firmino juga bermain konsisten dalam pakem 4-3-3 yang digunakan Juergen Klopp di Liverpool. Hal tersebut tidak didapat Jesus di City mengingat Pep kerap mengubah formasi di City. Jangan lupakan pula jika musim lalu The Reds berhasil melaju ke final Liga Champions.Masih belum jelas sebetulnya apa alasan Tite memilih Jesus daripada Firmino. Bisa jadi ia secara pribadi memang lebih menyukai Jesus ketimbang Firmino. Seperti terlihat saat Brasil melakoni laga persahabatan kontra Kroasia pada 3 juni 2018 di Anfield, Tite bahkan menjadikan Jesus sebagai kapten. Namun justru Firmino yang mencetak gol kedua Brasil setelah menggantikan Jesus pada menit 60.
Karakter permainan Firmino yang secara natural kerap bergeser ke kiri tampaknya juga menjadi faktor mengapa Tite masih enggan memainkan Firmino sejak awal. Ia bisa jadi tak ingin konsentrasi Neymar, yang bermain di sektor tersebut, menjadi terganggu. Hal ini semestinya bukan kendala serius karena Firmino terbukti bukan pemain yang egois. Di Liverpool, ia justru kerap berperan sebagai fasilitator agar rekan-rekannya di lini depan mencetak gol lebih banyak: Mo Salah (44 gol) dan Sadio Mane (20).
Jika Brasil memiliki problem di sektor serangan, tidak demikian dengan Belgia. Penampilan Lukaku sebagai striker sejauh ini terbukti ampuh dengan torehan empat gol. Michy Batshuayi yang menjadi pelapis juga telah mencetak satu gol saat Belgia menghajar Tunisia. Hazard juga telah menyumbang dua gol. Sementara Mertens, Fellaini, Vertoghen, Chadli, dan Adnan Januzaj masing-masing mencetak satu gol.
Secara teoritis, duel Brasil versus Belgia akan menghadirkan permainan terbuka dengan pameran skill individu dari masing-masing skuat.
Editor: Zen RS