tirto.id - Tiket lakon “Presiden Kita Tercinta” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, yang mampu menampung hingga 1.200 penonton telah terjual habis. Dengan gaya bermain yang memang menyindir situasi politik sekarang, pertunjukan yang digawangi oleh Agus Noor ini mampu membuat tawa penonton terbawa sampai akhir pementasan.
Pembukaan dengan nyanyian seriosa dari Daniel Christianto dan Sruti Respati, didukung oleh tarian modern dari grup tari I-Move dengan arahan Rita Dewi Saleh sebagai koreografer cukup membawa penonton larut dalam suasana yang cukup tegang. Terlebih lagi musik gubahan Arie Pekar yang jauh dari kesan ceria, membawa penonton terseret dalam arus situasi yang serius.
Lakon berlanjut dengan kemunculan dua anggota Trio GAM alias Guyonan ala Mataraman, yakni Gareng Rakasiwi dan Marsudi Wiyono yang berprofesi sebagai tentara eksekutor mati. Di sini penonton mulai melupakan situasi serius yang dibangun dengan susah payah, karena Gareng dan Marsudi langsung saja membawa suasana ke arah yang berbeda 180 derajat.
“Koe wae sing nembak. Aku ra wani. Istriku baru hamil. Konon katanya kalau bunuh orang waktu istri hamil, muka anaknya mirip sing ditembak,” alibi Gareng.
“Loh, aku kewalik. Sebelum hamil, katanya lebih baik bunuh orang dulu, biar mirip dia [korban yang dibunuh] aja katanya,” balas Marsudi yang kerap disapa Joned.
Spontan penonton langsung tertawa. Dengan logat jawa yang kental dan ekspresi muka yang tetap serius sembari mengumbar kalimat-kalimat nyeleneh, Trio GAM berhasil membuat penonton terbahak-bahak.
Keseruan pertunjukan berlangsung ketika Cak Lontong dan Akbar dalam tampilannya bak pesulap dengan topi panjang dan busana semi-jas berwarna merah dan ungu yang mentereng masuk ke dalam dagelan. Sejatinya mereka muncul dalam suasana yang sendu, yakni ketika Presiden terdahulu sedang dimakamkan. Lagi, situasi tersebut juga langsung hancur seketika.
“Loh, ini pemakamannya di sini, Bar! Jadi yang kita makamin tadi di dalam siapa?” sergah Cak Lontong kaget mendapati pemakaman Presiden berada di di luar Taman Makam Pahlawan Bukit Kalijodo.”Oh, di dalem angker sih. Jadi mungkin Presiden takut.”
Belum selesai penonton tertawa, Cak Lontong kembali melempar guyonan. Bisa dikatakan bahwa pada lakon kali ini, Cak Lontong tidak perlu melakukan pendalaman karakter sebagai peran penasihat Presiden yang dia lakoni. Sebabnya jelas, karena peran Cak Lontong yang biasa kita lihat dengan khas gaya permainannya mempermainkan logika dibawa seutuhnya ke atas panggung.
“Saya datang ke sini untuk menghibur,” kata Cak Lontong kepada Istri Presiden yang diperankan oleh Febriati Nadira.
“Saya tidak butuh dihibur,” balasnya kesal.Terlihat raut mukanya sendu. Ia masih berkabung atas kematian suaminya. Melihat hal ini Cak Lontong mendekat.
“Anda juga jangan geer. Saya datang untuk menghibur penonton!” Nadira terdiam. Hanya Akbar yang tertawa di atas panggung. Sementara itu, yang di bangku penonton tidak dimungkinkan untuk dihitung, karena sejauh yang terlihat dan terdengar, semuanya tertawa terbahak-bahak dan bertepuk tangan.
Adegan pamungkas Cak Lontong dalam pementasan kali ini adalah ketika ia melempar pertanyaan pada para tentara tentang nama-nama ikan. Meski penonton sudah tahu ke mana arah pertanyaan tersebut, mereka masih saja tergelak, bahkan salah seorang penonton meneriakkan nama-nama ikan dari bangku penonton.
“Ikan kon…,” baru sampai di situ, Cak Lontong langsung memutuskan untuk memberikan hadiah sepeda kepada tentara tersebut.
Menurut Jennifer selaku salah seorang penonton dari Jakarta Selatan, ia sangat puas dengan pertunjukan kali ini. Menurutnya, pertunjukan ini sangat menarik, karena selain menghadirkan sesuatu yang menghibur sambil memaparkan situasi-situasi masa kini.
“Lucu banget! Apalagi tadi pas yang ikan-ikan itu [adegan pertanyaan nama-nama ikan]. Emang nggak pernah mati lawakan itu, apalagi yang bawain Cak Lontong,” ujarnya.
Salah seorang pemain teater senior dari Teater Koma, Budi Ros mengungkapkan bahwa pada pementasan kali ini, sebenarnya banyak adegan yang terjadi berdasar improvisasi. Dalam waktu latihannya yang cuma satu minggu, Budi Ros mengaku agak sulit karena harus menyesuaikan dengan gaya latihan yang memang lebih santai daripada teater pada umumnya.
“Iya agak sulit juga. Apalagi ‘kan adegan-adegan yang melawak itu sering banget improvisasi, gak ada di naskah itu,” katanya kepada Tirto.id hari Jumat (10/3/2017).
Pentas “Presiden Kita Tercinta” dari Indonesia Kita akan diadakan satu kali lagi pada malam mini, Sabtu (11/3/2017) pukul 20.00. Sebagian besar tiket sudah terjual habis dan bagi yang mau menjual atau belum mendapat tiket, banyak calo yang berada dekat pintu masuk siap untuk menampungnya. Tiket pementasan sendiri berkisar dari Rp 200 ribu untuk balkon, Rp 300 ribu untuk kategori VIP, Rp 500 ribu untuk VVIP, Rp 750 ribu untuk kategori Platinum, dan terakhir Rp 1 juta untuk kategori utama.
Lakon “Presiden Kita Tercinta” mengisahkan tentang sebuah negeri yang dilanda isu hilangnya Presiden. Sebagian pihak sudah menerima bahwa Presiden meninggal dan dibunuh, kemudian mereka saling adu jotos untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Dalam garapan Agus Noor, lakon ini dibawa untuk menyentil kehidupan politik Indonesia saat ini, contohnya kasus e-KTP yang tengah terjadi dan Pilkada Jakarta 2017 putaran kedua.
Contohnya saja saat Cak Lontong mengomentari para tentara yang hitungannya berhenti di angka satu.
“Satu, satu terus dari tadi. Padahal di putaran kedua, yang satu sudah nggak ada,” tuturnya.
“Ya nggak apa-apa Pak, tapi lucu,” kata Wisben Antoro yang memerankan Komandan Kopral.
Menanggapi banyaknya kebetulan yang terjadi, termasuk tanggal pertunjukan pada 10 dan 11 Maret, Butet Kartaredjasa berkomentar bahwa semua hal tersebut tidak ada hubungannya.
“Ini memang serba kebetulan,” katanya dalam rilis yang diterima Tirto.id. ”Bukan niat kami memilih tanggal tersebut.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari