Menuju konten utama

"Presiden Harus Punya Itikad Memperbaiki Menu Istana"

Jamuan kenegaraan yang sering digelar di Istana Merdeka, Jakarta, ternyata belum menampilkan sajian menu tradisional Indonesia. Masih sering menyajikan steak dengan pertimbangan agar tamu mancanegara bisa mengonsumsinya. Padahal, sajian kenegaraan bisa menjadi corong untuk memperkenalkan kelezatan masakan Indonesia ke dunia.

William Wongso [Foto/gastronomy-aficionado.com]

tirto.id - William Wongso, pakar kuliner pernah diminta oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mendesain menu bagi jamuan 36 kepala negara pada perhelatan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali, 2013 lalu.

Ia mengungkapkan ada persoalan terkait menu jamuan kenegaraan. Misalnya saat jamuan kenegaraan di Istana, di Jakarta, yang justru berasal dari katering hotel dan menunya belum mencerminkan Indonesia.

“Ini sama saja, ada tamu dari luar negeri datang ke rumah kamu. Lalu kamu sajikan steak. Mengapa tidak sajikan masakan ibu kamu yang selama ini selalu kamu banggakan? Ini konotasi sering kacau-balau,” kata William Wongso kepada Arbi Sumandoyo dan Reja Hidayat dari tirto.id, Selasa (28/9/2016).

Di Istana, Jakarta juga tak memiliki dapur masak yang representatif guna menyiapkan makanan untuk jamuan kenegaraan. Selain itu, istana juga tidak memiliki chef yang khusus mempersiapkan berbagai jamuan kenegaraan atau bahkan melayani menu para presiden sehari-harinya.

Bagaimana Anda melihat jamuan kenegaraan di Istana?

Belum ada menu negara yang bagus.

Anda kabarnya pernah dipanggil ke Istana dan diajak Presiden Jokowi ke AS untuk mendesain menu makanan?

Ya aku yang mengatur. Tapi pelakunya bukan aku. Aku cuma pelaksana.

Seperti apa pengalaman Anda mengatur menu Istana?

Kalau dibandingkan negara lain, kita tidak ada tim kuliner. Kalau pas ada perhelatan, biasanya memanfaatkan outsourcing, seperti memesan makanan dari hotel untuk jamuan kenegaraan. Banyak komentar bahwa menu Istana berbau western seperti steak. Pertimbangannya biar tamu negara bisa makan.

Tapi di negara lain tidak seperti itu. Kalau ada tamu negara, makanannya khas dari negara itu sendiri. Misalnya menu khas Jepang, Korea dan China. Nggak mungkin mereka membuat makanan barat untuk tamu negaranya. Pasti mereka sajikan menu khas negaranya.

Jadi lebih mengedapankan menu makanan khas negara sendiri?

Iya dong, tapi level menunya ditingkatkan.

Saat Anda diminta Istana, menu seperti apa yang Anda sajikan?

Aku bikin hanya sekali. Masalahnya adalah Istana tidak punya dapur sendiri.

Jadi benar jika ada yang mengatakan bahwa dapur Istana hanya punya fasilitas buat memanasi makanan?

Kalau alat memanasinya kecil juga tidak bisa dong. Kalau jamuannya 100 orang, nggak mungkin satu-satu makanan dipanasi. Padahal jadwalnya 45 menit untuk jamuan kenegaraan.

Jadi apa yang Anda lakukan?

Ya, kita bawa tim dari luar. Aku buat menu Indonesia dengan rangkuman seperti sajian di barat dengan waktu singkat. Waktunya 45 menit untuk menyiapkan makanan.

Bagaimana menurut Anda jika menu Indonesia dikolaborasi dengan menu asli tamu negara?

Kita yang punya rumah. Nah, yang punya rumah polanya seperti apa? Kalau Indonesia saat ini polanya adalah bagaimana tamu senang. Pikiran mereka (staf Istana) seperti itu, justru membuat makanan kenegaraan dari asal negara tamu negara atau makanan internasional.

Padahal harusnya tidak begitu. Seharusnya kita justru menghargai makanan lokal milik sendiri. Kita buat dengan kualitas yang lebih baik dan menunya tidak terlalu ribet. Makanan seperti gudeg tidak masalah jika disajikan.

Bagaimana jamuan perhelatan besar seperti APEC?

Itu aku yang komposisikan menunya.

Menunya seperti apa?

Aku punya standar menu baku. Misalnya asinan Jakarta itu makanan yang bagus. Dikasih pindang, udang yang bagus dan gede, atau kepiting soka. Sup, ikan salmon, sop buntut tapi yang tidak ada tulangnya. Terus makanan utamanya tumpeng karena lebih tradisional. Rendang ya rendang, kari ayam ya kari ayam. Lalu lalap urap itu khas Indonesia. Waktu itu kita bikin kontemporer, nasi kuning dengan steak daging, sausnya rendang. Itu baru pakem yang coba kita bikin.

Selanjutnya mesti dibawakan sebagai bekal pulang buat tamu negara. Supaya orang pulang ke negaranya bakal terus ingat. Kalau sajiannya makanan kita, pasti diingat. Kalau enak, mereka akan ingat makanan dari Indonesia.

Apa pengalaman menarik saat APEC di Bali?

Saat APEC di Bali, aku langsung persentasikan menu sajian ke Presiden SBY. Tiga menu makanan. Beliau yang pilih steak, terus aku ganjal dengan menu klasik. Nasi kuning dicampur saus dengan kentang.

Sukses sajiannya?

Hahaha.... Itu acaranya diikuti 36 kepala negara. Protokolnya terlalu menggampangkan. Aku minta daftar semua makananan yang boleh dimakan atau tidak dimakan oleh para kepala negara. Tetapi protokol Istana mengatakan gampang, kan cuma sehari selesai. Gimana satu hari? Aku maunya persiapan dua minggu.

Benar saja, belakangan baru ketahuan, pihak asing kasih tahu sehari sebelumnya, bahwa presiden mereka tidak makan seafood dan unggas. Padahal makanan yang disediakan sop seafood. Akhirnya diganti. Tak hanya itu, kurang dari berapa jam, baru tahu lagi kalau ada seorang presiden yang alergi bunga. Padahal ada bunga 70 meter panjangnya di depan dia. Jadi saya melihat protokolernya tidak detail.

Menurut Anda bagaimana seharusnya mempersiapkan menu jamuan kenegaraan?

Contohnya Presiden Perancis lakukan kunjungan, chef-nya nggak boleh ego. Harus simpel tapi merefleksikan kekhasan mereka. Jadi untuk kita, memang lebih ke Presiden Jokowi. Ada apa ini? Kalau nggak, menu Indonesia tak pernah tampil. Coba ada nggak disebut jamuan kenegaraan dengan bangga menyajikan makanan Indonesia? Kan tidak.

Oke, Presiden bisa kasih rekomendasi hidangannya, tetapi enggak bisa dong karena ini jamuan kenegaraan. Misalnya SBY suka makan kacang rebus, lalu dikeluarin kacang rebus. Nanti tamu kehormatan saat makan mesti bukain kulit kacang. Itu tidak pada tempatnya.

Apalagi waktunya pendek?

Iya waktunya pendek. Tapi kita harus memastikan bahwa makanan yang disajikan bercita rasa Indonesia. Minumannya bisa jambu atau kunyit asem. Itu minuman negara kita.

Jadi maksud Anda jamuan kenegaraan jangan berpaku ke Eropa?

Kita harus berpaku ke Indonesia. Tapi pola jamuannya boleh Eropa. Duduk bukan lesehan. Duduk di dekor, pakai sendok, garpu dan sama semua berjejer. Kalau di China, satu presiden banyak perangkatnya. Piringnya dibikin khusus dari emas, untuk menteri dibuat dari perak.

Anda pernah dimintai masukan buat konsep menu Istana. Apakah masih diteruskan?

Mungkin karena takut presiden bosan menunya diganti-ganti terus. Harusnya nggak seperti itu.

Apakah banyak perpaduan makanan tradisional yang bisa dijadikan jamuan buat tamu kenegaraan?

Banyak. Begini ya, aku nggak tahu lagi kalau negara ini merasa minder untuk menyajikan makanan khasnya. Ini sama saja, ada tamu dari luar negeri datang ke rumah kamu. Lalu kamu sajikan steak. Mengapa tidak disajikan masakan ibu kamu yang selama ini selalu kamu banggakan? Ini konotasi sering kacau-balau. Kalau Presiden harus turun tangan mengatur menu, ya nggak mungkin.

Bagaimana seharusnya koki di Istana?

Di Istana itu orangnya gonti-ganti. Di dunia itu ada Le Club des Chefs des Chefs yang membernya 25 orang atau lebih. Chef-nya Presiden AS masuk dalam klub tersebut. Presiden berganti, chef-nya tidak berganti sampai mati. Chef White House sekarang diganti cewek dari Filipina, karena yang sebelumnya baru saja meninggal.

Beda dengan Indonesia yang chef-nya selalu ganti. Lihat saja dapur Istana, nggak memadai. Alasannya kalau mau diperbaiki adalah gedung cagar budaya. Padahal sekarang sudah memakai teknologi semua. Jadi niatnya yang nggak ada.

Apakah White House punya dapur sendiri?

Ya. Mereka bahkan ada eksekutif chef yang masuk Le Club des Chefs des Chefs. Kalau kita cuma kepala rumah tangga yang paham administrasi. Punya kuasa tapi soal menu nggak ada wawasan. Contohnya, Presiden SBY dulu ada acara resmi. Tahu nggak protokol minta apa? Minta popcorn. Alasanya, Ibu dan Bapak di rumah kalau nonton TV minta popcorn. Apa relevansinya? Kalau pribadi sih nggak masalah. Presiden SBY ke Berlin bawa kacang, jagung dan singkong mentah, ya nggak apa-apa. Kan buat dimakan sendiri.

Jadi Istana perlu chef khusus?

Iya dong yang profesional dan mengerti. Bukan sekadar koki biasa. Kan peruntukkannya untuk jamuan kenegaraan.

Apakah termasuk bartender?

Nggak usah ngomong bartender. Untuk fasilitas dapur saja belum lengkap. Bayangkan, untuk tamu 100 orang saja, pihak Istana bingung. Ini kelas Istana lho. Kalau masalah dapur nggak diperhatikan, tapi kalau untuk hal lain habis-habisan sampai triliunan rupiah.

Menurut Anda, seharusnya seperti apa menu keseharian Presiden Indonesia?

Kepala negara ya sama seperti kita. Kalau lagi mau makan gado-gado, ya makan gado-gado. Nggak ribet. Dirapikan dan disajikan. Makanannya diladeni, kemarin aku dengar Presiden Jokowi komplain.

Komplain soal apa?

Makanannya nggak karu-karuan. Makanan untuk tamu negara itu lho, tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Jadi di sana, makanan itu ibaratnya dari pihak ketiga. Polanya selalu begitu dari zaman ke zaman.

Sepertinya terkesan tak mau berubah?

Kalau melihat formasi persiapan dapur sajinya saja, fasilitasnya nggak ada yang diperhatikan. Kita itu orang Asia. Kalau sampai menyajikan untuk tamu kehormatan saja nggak mau tahu, ya kelewatan. Lihat saja piring yang ada, itu malu-maluin. Apa menteri-menteri nggak mengerti? Aku sering dikirim foto sajian tamu negara oleh orang-orang. Kok, makanannya seperti itu? Ini tamu negara lho, di Istana masa amburadul. Malu-maluin saja.

Apa memang kita nggak punya tradisi menyajikan buat tamu negara?

Kita nggak punya budaya itu. Beda dengan Thailand yang dulu punya Thaksin Shinawatra (perdana menteri) yang mendorong makanan khas tradisionalnya.

Masukan Anda untuk menu dan dapur di istana?

Harus ada keinginan dari Setneg (Sekretariat Negara) dan semua elit. Presiden juga harus punya itikad memperbaiki menu Istana. Harus memperbaiki, sebab salah satu corong pemerintah dalam memperkenalkan makanan Indonesia ke luar negeri.

Baca juga artikel terkait DAPUR ISTANA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo, Reja Hidayat & Nurul Qomariyah Pramisti
Penulis: Suhendra