Menuju konten utama

Minimnya Identitas Indonesia dalam Jamuan Kenegaraan

Makanan sudah lama menjadi alat diplomasi. Nyaris semua bangsa punya tradisi menjamu tamu dengan pesta yang menghadirkan makanan khas mereka. Hingga sekarang, tradisi menjamu tamu masih menjadi kebiasaan negara.

Minimnya Identitas Indonesia dalam Jamuan Kenegaraan
Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) berbincang dengan PM Australia Malcolm Turnbull (keempat kiri) dalam pertemuan bilateral di Asem Villa, Vientiane, Laos, Kamis (8/9). Pertemuan itu membahas kerjasama kedua negara terkait impor sapi dan pengembangbiakan ternak, penanggulangan terorisme, serta peningkatan keamanan dan kemakmuran maritim. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pd/16

tirto.id - Jean Anthelme Brillat-Savarin mungkin adalah salah satu manusia Prancis paling bahagia pada masanya. Pria kelahiran 1826 ini tubuh besar di kota Belley, sebuah desa kecil dengan sungai Rhone mengalir di tengah, memisahkan desa itu dengan Savoy, pedesaan di bawah kaki gunung Alpen. Savarin lahir di tengah lingkungan pengacara. Dia belajar hukum, kimia, juga pengobatan di kota Dijon. Belakangan, saat Revolusi Prancis bermula, Savarin kembali ke kampung halaman dan menjalani hidup sebagai pengacara.

Di kampung halamannya itu, Savarin rutin menulis esai pun buku. Tidak hanya buku perihal hukum, Savarin juga menulis esai terkait ekonomi, beberapa cerita erotis, juga buku tentang rasa. Bukunya yang paling terkenal adalah Physiologie du goût, alias The Physiology of Taste.

Kecintaannya terhadap makanan memang penuh seluruh. Dia mirip seperti filsuf di dunia boga. Banyak perenungannya, tampak sepele, namun mengandung kebenaran. Misalkan, suatu saat, dia berucap: makanan penutup tanpa keju itu ibarat perempuan cantik yang hanya punya satu mata. Maklum, sebagai pria Prancis, vin (anggur) dan fromage (keju) adalah dua hal yang begitu ia puja.

Tapi tak ada kalimatnya yang begitu dikenang hingga sekarang selain, "Tell me what you eat, and I will tell you what you are." Aku bisa menjelaskan siapa dirimu dari apa yang kamu makan. Dengan kata lain: makanan serupa dengan identitas. Sebagai seorang yang mendalami hukum, politik, juga makanan, Savarin juga sadar bahwa makanan dan negara --juga kenegaraan-- adalah hal yang amat erat kaitannya.

"Takdir suatu bangsa itu tergantung dari apa yang mereka makan," katanya lagi.

Makanan sudah lama menjadi alat diplomasi. Nyaris semua bangsa punya tradisi menjamu tamu dengan pesta yang menghadirkan makanan khas mereka. Hingga sekarang, tradisi menjamu tamu masih menjadi kebiasaan negara.

Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan sajian kenegaraan yang menarik, sekaligus terbuka. Masyarakat kebanyakan pun bisa mengetahui menu apa saja yang disajikan para juru masak White House.

Misalkan makan malam kenegaraan yang diadakan pada Maret 2016 untuk menjamu Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau. Ada empat set menu yang disajikan untuk para tamu.

Hidangan pertama adalah Alaskan halibut casseroles, sejenis pie yang dibuat dari kentang dengan isi ikan halibut Alaska, yang disajikan bersama cepes, asparagus, chanterelle, baby onion, dan mentega Lardon. Disusul dengan hidangan kedua, yakni galette (roti ceper ala Prancis) dengan isian aprikot panggang, disajikan dengan keju Appalachian, selada heirloom, dan kacang, yang dilengkapi dengan anggur Pence Chardonnay Sebastiano 2013. Hidangan utama adalah lamb chop dengan dauphinoise kentang Yukon dan aneka sayuran musim semi. Penutupnya adalah kue maple dengan wafer cokelat dan es krim butterscotch.

Dari menu itu, kita bisa tahu bahwa Gedung Putih amat terbuka dengan pilihan menunya. Mereka tak bersikeras menyajikan menu yang khas Amerika Serikat. Para juru masak Gedung Putih memasukkan berbagai hidangan yang berakar dari Perancis, semisal galette atau dauphinoise. Ini tentu untuk membuat Trudeau, yang memiliki darah Perancis Kanada, merasa seperti di rumah.

Pilihan serupa juga tampak ketika Gedung Putih menjamu Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, pada 2015 silam. Mereka sampai merasa perlu mengajak Masaharu Morimoto, juru masak selebriti asal Jepang, untuk merancang menu bagi Abe. Selain menghadirkan toro tartare, hidangan khas Morimoto yang berupa tartar dari lemak tuna mentah, Gedung Putih juga menyajikan salad sashimi dan tempura nanas, serta tahu sutra dan susu kedelai untuk makanan penutup.

Keluwesan memilih menu memang menjadi salah satu karakter hidangan kenegaraan. Tapi akan sangat cilaka kalau sebuah negara nyaris tak pernah menghidangkan menu nasionalnya untuk hidangan kenegaraan.

Makanan yang Tak Pernah Dimunculkan

Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, jang masih sadja mereka pegang teguh setjara tidak sadar. Hal ini menjebabkan kemarahanku baru-baru ini. Wanita-wanita dari kabinetku selalu menjediakan djualan makanan Eropa. 'Kita mempunjai panganan enak kepunjaan kita sendiri,' kataku dengan marah. 'Mengapa tidak itu saja dihidangkan?' 'Ma'af, Pak,' kata mereka dengan penjesalan, 'Tentu bikin malu kita sadja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita jang melarat.' Ini adalah suatu pemantulan-kembali daripada djaman dimana Belanda masih berkuasa. Itulah perasaan rendah diri kami jang telah berabad-abad umurnja kembali memperlihatkan diri.

Paragraf itu adalah omelan Sukarno yang dimuat dalam buku biografinya karya Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Saat itu Sukarno sedang giat-giatnya membangun mentalitas Indonesia. Selain melarang musik ngak ngik ngok, Sukarno juga berusaha mengangkat harkat makanan Indonesia. Salah satu usaha Sukarno tampak dalam penerbitan buku Mustika Rasa (1967), buku masak pertama sekaligus satu-satunya yang dicetak oleh negara.

Tapi ternyata berpuluh tahun kemudian, usaha Sukarno masih menemui hambatan berarti. Setidaknya jika membicarakan hidangan kenegaraan. William Wongso, ahli kuliner Indonesia, mengatakan bahwa pemerintah tak pernah menyajikan makanan lokal sebagai menu utama.

"Saya tak tahu lagi kalau negara itu merasa minder untuk menyajikan makanannya. Ini sama saja tamu luar negeri ke rumah kamu, lalu dihidangkan steak," kata William pada tirto.id.

Berbeda dengan katakanlah Jepang, atau Thailand, yang kulinernya sudah amat mendunia, Indonesia saat ini masih berusaha keras mempopulerkan masakan khasnya ke dunia internasional. Salah satu usahanya bisa dengan menyajikan makanan khas Indonesia di acara-acara negara.

Tapi ternyata masalahnya memang lebih pelik ketimbang kemauan menghadirkan makanan lokal. Istana bahkan nyaris tak punya banyak fasilitas pendukung. Menurut William, kondisi dapur istana memang tak memungkinkan untuk membuat jamuan yang mengesankan. Karenanya, setiap ada jamuan kenegaraan, makanan yang disajikan untuk para tamu dibuat oleh hotel rekanan Istana negara.

"Kalau udah 100 tamu lebih, istana kebingungan karena tidak memiliki piring. Biasanya piring bagus itu didapat oleh Presiden, sementara yang di belakang piring sudah tidak lengkap seperti sendok dan garpu. Kasihan banget, negara kaya tapi kok gini," tutur William.

Infografik Dapur Istana

Beda Dengan Negara Tetangga

Jika Indonesia tak menonjolkan makanan khas kepada tamu negara dan tidak memiliki fasilitas lengkap, negara Asia lain menyadari pentingnya food diplomacy, atau diplomasi melalui makanan.

Cina, misalnya. Pada perhelatan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), pemerintah Negara Tirai Bambu itu menyediakan perkakas khusus untuk masing-masing Presiden. Untuk Presiden, piringnya terbuat dari emas. Sedangkan untuk tingkat menteri piringnya terbuat dari perak. Mereka membuat ini untuk memberi kesan kepada Presiden dalam jamuan kenegaraan di Cina. Untuk menu khasnya, tak perlu diragukan lagi. Ada bebek Peking yang sudah terkenal seantero dunia.

Tak hanya Cina, Jepang juga menonjolkan makanan khas negeri matahari tersebut. Untuk kudapan, mereka kerap menyajikan takoyaki: kue berbentuk bundar yang terbuat dari adonan tepung terigu, dengan isian potongan daging gurita. Belum lagi sushi. Saat Presiden Barack Obama ke Jepang, orang nomer satu di Amerika Serikat itu meminta sushi dari Sukiyabashi Jiro, restoran sushi milik Jiro Ono yang mendapat tiga bintang Michelin.

Sementara itu, Raja dan Perdana Menteri Thailand mendorong makanan khas tradisional dalam jamuan kenegaraannya. Mereka menilai makanan tradisional sebagai perlambang ekonomi kerakyatan. Tom Yum menjadi salah satu hidangan khas yang tak pernah absen dalam hidangan kenegaraan.

Mereka juga mencanangkan program Global Thai, yakni sebuah kerja sama antara pemerintah dan swasta untuk menyebarkan restoran dan makanan Thailand ke seluruh dunia. Pada 2002, ada sekitar 5.500 restoran Thailand di seluruh dunia. Setahun kemudian, jumlah itu melonjak sekitar 8.000 restoran. Kini, menurut situs Thai Select, ada sekitar 15.000 restoran Thailand di seluruh dunia.

Apakah usaha itu memiliki arti? Tentu saja. Dengan semakin banyaknya restoran Thailand di seluruh dunia, ini artinya rasa khas mereka akan semakin dikenal warga dunia. Maka wajar kala CNN membuat polling World's 50 Most Delicious Foods, Thailand memiliki jumlah makanan terbanyak yang masuk dalam daftar. Yakni tom yum (peringkat 4), pad Thai (5), som tam (6), kari massaman (10), kari hijau (19), nasi goreng Thai (24), dan moo nam tok (36).

Kala Dapur Negara Tak Punya Chef

Semua dapur negara pasti punya juru masak khusus. Tapi tidak dengan di Indonesia. Semua makanan yang disajikan kepada Presiden atau tamu kenegaraan dipesan Kepala Rumah Tangga kepada hotel berbintang. Pemesanan tersebut sesuai dengan permintaan Presiden atau Kepala Rumah Tangga Istana.

"Ya, kan ada kepala rumah tangga Istana. Kalau ada request, saya kirim daftar menu dulu kepada pihak Istana melalui marketing hotel, setelah disetujui baru saya membuat makanannya," kata Sukijo, mantan chef Hotel Gran Melia yang menyediakan makanan untuk Presiden dan tamu negara saat ditemui tirto.id di restorannya di Tangerang, akhir September lalu.

Jamuan makan untuk tamu negara dibuat oleh hotel, sebab dapur istana berukuran kecil untuk membuat jamuan besar. Dapur ini, menurut Sukijo, hanya berfungsi untuk menyiapkan makanan saja. Itu pun dalam jumlah yang terbatas. Untuk tamu dengan jumlah besar, para juru masak hotel menginap di tempat kerja dan menyiapkan segala sesuatunya di hotel.

"Jadi enggak ada istilah koki istana," kata Sukijo.

William Wongso mengatakan bahwa di dunia boga, ada perkumpulan bernama Le Club des Chefs des Chefs, yang didirikan oleh Gilles Bragard pada 1971. Ini adalah organisasi perkumpulan juru masak Istana Negara. Saat ini anggotanya antara lain adalah Cristeta Comerford (Chef Eksekutif Gedung Putih), Mark Flanagan (Buckingham Palace), Shalom Kadosh (chef Presiden Israel), Ulrich Kerz (chef Kanselir Jerman), hingga Hilton Little (chef Presiden Afrika Selatan). Total, ada chef dari 22 negara yang bergabung di organisasi ini.

"Presiden berganti, chefnya tidak berganti kecuali mati. Chef White House sekarang baru diganti karena chef sebelumnya baru saja meninggal," ujar William

Menurut lelaki yang menjadi penasihat kuliner untuk Garuda Indonesia ini, seharusnya Istana Presiden memiliki chef eksekutif sendiri yang tugasnya menangani jamuan kenegaraan. William mengaku sering mendapat foto sajian kenegaraan di Istana Presiden. Menurutnya: amburadul.

"Malu-maluin saja," katanya.

Semua usaha Sukarno untuk mengangkat kekayaan kuliner Indonesia, jadi terasa sia-sia. Aneka peralatan makan apik yang dulu disediakan oleh Soekarno pun sudah hilang. Sekilas hal ini memang terkesan sepele. Tapi negara yang besar adalah negara yang menghargai kebudayaannya sendiri, termasuk kulinernya. Jamuan kenegaraan adalah wajah penting dalam dunia diplomasi. Kalau wajahnya bopeng, maka tak mengherankan kalau negara ini akan dipandang sebelah mata. Atau kulinernya dicaplok negara lain.

Kalau saja Savarin masih hidup, dia mungkin akan menggerutu sekaligus tertawa meremehkan saat menghadiri jamuan kenegaraan Indonesia. "Yah, dari makanan yang kalian sajikan, aku bisa menilai seperti apa kalian."

Baca juga artikel terkait HIDANGAN KENEGARAAN atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat & Arbi Sumandoyo
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Artikel Terkait