tirto.id - “Saya akan mengundurkan diri sebagai Presiden World Bank Group pada tanggal 1 Februari 2019. Merupakan pengalaman istimewa terbesar yang dapat saya bayangkan untuk memimpin staf yang berdedikasi pada institusi besar dengan tujuan membawa dunia bebas dari kemiskinan,” tulis Jim Yong Kim di akun twitter-nya pada 7 Januari 2019 pukul 11.52 malam waktu setempat.
Usai mengundurkan diri, Kim akan bergabung dengan sebuah perusahaan peningkatan investasi infrastruktur yang fokus di negara-negara berkembang. Pria kelahiran 8 Desember 59 tahun lalu ini juga memutuskan untuk kembali bergabung dengan Partners in Health, sebuah organisasi nirlaba yang memberikan bantuan kesehatan kepada kaum miskin.
Kim menjabat presiden Bank Dunia pada 2012 saat Amerika Serikat (AS) dipimpin oleh Presiden AS Barack Obama. Ia kembali dipercaya memangku jabatan orang nomor wahid di Bank Dunia setelah memenangkan pemilihan kandidat pada Agustus 2016. Periode kedua kepemimpinan Kim di Bank Dunia dimulai pada Juli 2017 dengan akhir masa jabatan pada 30 Juni 2022.
Kim undur diri tiga tahun lebih cepat ketimbang masa jabatan yang telah ditentukan. Kristalina Georgieva yang merupakan CEO World Bank akan menjabat sebagai Presiden Bank Dunia sementara, yang efektif pada 1 Februari 2019 sampai dengan pengangkatan Presiden World Bank berikutnya pada 2021.
Jim Yong Kim pernah berselisih dengan Presiden AS Donald Trump. Namun, Pria kelahiran Seoul, Korea Selatan ini tidak memperlihatkan perselisihan dengan Donald Trump di depan umum. Kim pernah menyatakan bahwa AS akan membiayai inisiatif energi "hijau" dan menjauh dari ketergantungan terhadap batu bara.
Sepanjang masa jabatan Kim, Bank Dunia mengartikulasikan dua tujuan utama; untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem pada 2030 dan menumbuhkan kemakmuran bersama dengan fokus pada 40 persen populasi termiskin di negara-negara berkembang.
Eswar Prasad, mantan Kepala Divisi Dana Moneter Internasional Cina, mengatakan kepada The New York Times bahwa Kim telah berhasil melakukan tindakan penyeimbangan untuk menjaga AS agar tetap tenang, sambil terus mengerjakan proyek-proyek yang secara administratif ditentang oleh administrasi Trump.
Pemerintah AS pada 2018 kemarin memberikan peningkatan modal sebesar $13 miliar, setelah AS berhasil mengutarakan pendapat bahwa Bank Dunia harus mengurangi jatah nominal pinjaman ke sejumlah negara kaya, termasuk Cina.
“Presiden Bank Dunia yang baru akan menghadapi tantangan yang sulit dalam mempertahankan legitimasi dan relevansi lembaga sambil mengupayakan permusuhan terbuka administrasi Trump terhadap multilateralisme,” ucap Prasad.
Selama di Bank Dunia, Jim Yong Kim telah mereformasi struktur Bank Dunia. Lembaga internasional itu menjauhkan diri dari ketergantungan terhadap negara-negara kaya yang membiayai pembangunan di negara-negara tertinggal. Sepanjang masa jabatannya, Jim Yong Kim telah memfasilitasi kegiatan investasi dan pembiayaan yang nominalnya lebih besar ketimbang sektor swasta.
Nadia Daar, Kepala Kantor Oxfam Washington mengatakan Kim meninggalkan warisan abadi, termasuk komitmennya pada perubahan iklim yang dapat dilaksanakan secara komprehensif. Selain itu kepemimpinan Kim di World Bank dapat mendorong investasi yang lebih besar dalam indeks pembangunan manusia.
“Prestasi Jim Yong Kim yang paling penting adalah memfokuskan kembali Bank Dunia pada tujuan kembar untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem dan meningkatkan kesejahteraan bersama,” ucap Nadia masih melansir New York Times.
Mundurnya Kim memberikan kesempatan bagi AS. Trump akan mempunyai pengaruh kuat dalam pemilihan penerus tongkat estafet pimpinan tertinggi Bank Dunia. Kemungkinan besar Presiden Donald Trump akan menyodorkan nama untuk menggantikan Kim. Ini tak lain karena AS dominan lembaga internasional itu cukup dominan.
Bank Dunia yang Selalu AS dan IMF Eropa
AS merupakan pemegang saham terbesar dan suara mayoritas pada hak pemungutan suara Bank Dunia. Sejak 1946, sebanyak 12 presiden Bank Dunia selalu dipilih oleh pemerintahan Negeri Paman Sam. Laman World Bank menyebut, AS menggenggam 15,82 persen saham di sub Bank Dunia yaitu International Bank of Reconstruction and Development (IBRD) dengan 14,97 persen hak suara.
AS juga mengempit 10,46 persen kekuatan hak suara di sub World Bank lainnya yaitu International Development Association (IDA). Negeri Paman Sam setidaknya memiliki 23,73 persen saham dan 22,45 persen kekuatan suara di International Finance Corporation (IFC), yang merupakan sub sektor swasta Bank Dunia. Di sub Multilateral Investment Guarantee Agency atau Badan Penjamin Investasi Multilateral, AS memiliki 18,39 persen saham dan 15 persen hak suara.
Besarnya kepemilikan saham AS di World Bank memengaruhi pemilihan pucuk pimpinan lembaga tersebut sehingga secara tradisional Presiden World Bank selalu warga negara AS yang dinominasikan oleh Presiden AS, meski anggota kelompok Bank Dunia hampir mencapai 200 negara. Nantinya, nama calon Presiden World Bank yang dinominasikan Presiden AS tetap akan mendapat persetujuan terlebih dahulu dari jajaran Direktur Eksekutif Bank Dunia.
Mirip dengan Bank Dunia, pelaksanaan pemilihan Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) juga lazimnya berasal dari negara Eropa. Perancis menjadi negara pemasok Direktur Pelaksana IMF terbanyak dan terlama. Setidaknya ada setengah lusin warga negara Perancis yang didapuk menjadi Direktur Pelaksana IMF.
Miles Kahler, Profesor Hubungan Internasional Pasifik di Universitas California menjelaskan, tidak pernah secara eksplisit pucuk pimpinan World Bank dipegang oleh AS dan IMF oleh negara-negara Eropa. Kebijakan itu merupakan ‘gentlemen’s agreement’ dari negara-negara kaya dan adikuasa. Kahler bilang, butir-butir artikel perjanjian IMF tidak menyebut secara eksplisit bahwa kewarganegaraan Direktur Pelaksana IMF harus berasal dari Eropa.
Artikel Perjanjian IMF hanya menyatakan bahwa Direktur Pelaksana ditunjuk oleh dewan eksekutif organisasi IMF. Pemungutan suara memiliki aturan negara-negara yang memiliki kuota tinggi–berupa ukuran ekonomi dan kelayakan ekonomi seperti besaran pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), diberikan preferensi untuk menjadi anggota dewan.
Di IMF, AS memiliki 16,74 persen hak suara, diikuti oleh Jepang 6,01 persen, Jerman dengan 5,87 persen, serta Inggris dan Perancis sebesar 4,85 persen. Besarnya persentase hak suara yang dimiliki, membuat AS dan Eropa memiliki kekuatan untuk ‘mengatur’ keputusan. “Dalam praktiknya, untuk sebagian besar sejarah IMF, negara-negara Eropa Barat dan juga AS telah mendominasi anggota dewan,” tulis Kahler melansir Foreign Policy.
Asal usul ‘gentlemen’s agreement’ ini terjadi tak lama setelah konferensi Bretton Woods 1944, yang merupakan cikal bakal pembentukan World Bank dan IMF. Kesepakatan tidak tertulis Presiden World Bank harus berasal dari AS dan Direktur Pelaksana IMF harus warga negara Eropa ini, mendapat kecaman dalam beberapa tahun terakhir.
Praktik duopoly yang dijalankan World Bank dan IMF mendapat kecaman terbuka dari mantan kandidat pucuk pimpinan masing-masing lembaga dari Nigeria, Kolombia, dan Meksiko. Pada 2012, AS menghadapi tantangan dalam menunjuk Presiden Bank Dunia. Nominasi Kim oleh AS menghadapi pesaing dari Nigeria dan Kolombia. Banyak pejabat berpendapat bahwa peran Bank Dunia dalam keuangan pembangunan menjamin kepemimpinan, setidaknya kadang-kadang- bisa datang dari negara-negara di dunia selatan.
“Pemilihan Jim Kim kontroversial, sebagian besar karena sebagian besar dunia tidak lagi puas dengan pengaturan yang telah ditentukan sebelumnya di mana seorang Amerika memimpin bank dan orang Eropa memimpin Dana Moneter Internasional,” kata Scott Morris, pejabat senior di Center for Global Development melansir The Wall Street Journal (WSJ).
Indonesia bahkan pernah memprotes pencalonan Emile van Lennep asal Belanda sebagai kandidat Direktur Pelaksana IMF. Bersama Iran, Indonesia menghalangi pencalonan tersebut karena dianggap terlalu dekat dengan negara-negara kaya. Ini karena, Emile van Lennep merupakan mantan Sekretaris Jenderal Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi.
Para pemimpin negara-negara maju dan berkembang utama G20 telah berulang kali mengatakan dalam pertemuan puncak bahwa kepemimpinan semua lembaga keuangan internasional harus dipilih dengan cara yang terbuka, transparan, dan didasarkan pada prestasi. Keterbukaan dan prestasi tidak mengesampingkan kandidat dari Eropa, tetapi mereka tidak duduk dengan anggapan bahwa Eropa akan memasok bos IMF berikutnya.
Editor: Suhendra