tirto.id - Meskipun sudah resmi dibuka sejak Sabtu (4/8/2018), hingga saat ini belum ada kandidat mendaftar sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Masa pendaftarannya masih akan berlangsung hingga Jumat (10/8/2018) tengah malam.
Dalam perkembangan terakhir, hampir dapat dipastikan kandidat yang bakal muncul sebagai calon presiden 2019 adalah nama lama. Joko Widodo (Jokowi) sang petahana dan Prabowo Subianto, rival Jokowi pada Pemilu 2014.
Jokowi sendiri sudah memberi sinyal akan segera mendaftar ke KPU. Namun, ia enggan memberi tahu kapan persisnya.
"Kan sudah saya sampaikan bahwa pendaftaran sudah dibuka pada tanggal 4 sampai 10. Artinya tinggal daftar, daftarnya kapan? Ya, yang sabar nunggu," katanya. Siapa sosok yang akan mendampingi Jokowi pun masih belum definitif.
Di kubu Prabowo, terjadi hal serupa. Bahkan, penentuan sosok cawapres bagi Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu masih dalam proses musyawarah. Beberapa nama sudah beredar, baik dari hasil pertemuan dengan antarpartai hingga mekanisme bernama ijtima ulama.
Berbeda dengan kandidat yang bakal muncul sebagai calon presiden, bursa untuk sosok cawapres relatif terlihat lebih susah ditebak. Beberapa nama sudah muncul melalui survei yang dilakukan berbagai lembaga. Beberapa nama yang muncul relatif sudah dikenal publik karena merupakan ketua umum parpol. Sisanya berasal dari kalangan luar parpol tapi juga cukup dikenal oleh masyarakat.
Menggunakan platform analisis media sosial Drone Emprit yang merekam arsip percakapan dengan kata kunci tertentu berdasarkan asumsi skenario pasangan capres-cawapres di media sosial, khususnya Twitter, Tim Riset Tirto membaca pandangan masyarakat soal itu di ranah media sosial.
Dari kubu Jokowi terdapat "Jokowi-Cak Imin", "Jokowi-Mahfud MD", "Jokowi-Moeldoko" dan "Jokowi-Romi". Sementara dari kubu Prabowo digunakan skenario "Prabowo-AHY", "Prabowo-Salim Segaf" dan "Prabowo-UAS". Percakapan ini dibatasi antara 22 Juli–7 Agustus 2018. Penentuan pasangan ini sendiri dilakukan berdasarkan penelusuran di media ihwal nama-nama yang potensial menjadi pasangan Jokowi dan Prabowo hingga 7 Agustus 2018.
Beda Berita Media Online dengan Media Sosial
Jokowi
Skenario pasangan "Jokowi-Cak Imin" (Cak Imin untuk Muhaimin Iskandar) menjadi percakapan top teratas/paling utama untuk bakal capres-cawapres dari kubu petahana. "Jokowi-Cak Imin" mendapatkan 7,1 ribu total mentions dalam kategori online news (berita) dan 22,4 ribu total mentions dalam kategori percakapan biasa dalam Twitter.
Skenario pasangan "Jokowi-Romi" jadi top kedua dalam kategori online news (berita), tapi rendah dalam percakapan Twitter. Top kedua untuk skenario pasangan dalam percakapan Twitter adalah "Jokowi-Mahfud MD", sebesar 4,9 ribu total mentions.
Prabowo
Dari kubu Prabowo, skenario pasangan "Prabowo-AHY" menjadi top teratas/paling utama dalam percakapan. Dalam kategori total mentions di online news (berita), skenario ini mendapatkan 11,4 ribu total mentions. Namun, pasangan ini tak menjadi yang utama dalam percakapan Twitter.
Skenario pasangan "Prabowo-UAS" (UAS untuk Ustad Abdul Somad) mendapatkan perhatian paling utama dalam percakapan Twitter. Ada 55,1 ribu total mentions yang telah terjadi selama periode pengamatan.
Hal yang sama terjadi untuk skenario pasangan "Prabowo-Salim Segaf". Ia jadi nomor dua dalam kategori total mentions online news (berita), tapi rendah dalam percakapan Twitter, yaitu 14,7 ribu total mentions selama pengamatan.
Melihat hasilnya, baik untuk Jokowi ataupun Prabowo, terlihat bahwa isu skenario pasangan berbeda antara respons total mentions hasil berita online dengan percakapan murni di Twitter. Percakapan berita mengarahkan pada model skenario pasangan tertentu, sementara dinamika media sosial berkeinginan berbeda.
Percakapan juga memperlihatkan bahwa porsinya jauh lebih banyak untuk kubu Prabowo. Percakapan tertinggi skenario pasangan kubu Jokowi hanya berasal dari model "Jokowi-Cak Imin", sedangkan ketiga skenario pasangan kubu Prabowo benar-benar diperbincangkan.
Skenario Duel Capres-Cawapres
Sejauh ini, setidaknya ada tiga atau empat nama yang santer diberitakan akan dipilih Jokowi. Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding pernah menyatakan kepada Tirto bahwa Jokowi memiliki paket lengkap. Ia dapat memilih Muhaimin Iskandar sebagai sosok kelompok santri dan milenial, nama Moeldoko dengan latar belakang militer, dan Mahfud MD untuk sosok akademisi. Bahkan, nama pemuka NU Ma'aruf Amin turut muncul dan menjadi rumor, setelah adanya pertemuan Jokowi dengan 9 sekjen partai pendukung, 31 Juli lalu.
Sementara itu, nama AHY (Agus Harimukti Yudhoyono) ramai menjadi sosok kandidat cawapres setelah pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Prabowo, 24 Juli 2018, meski Prabowo mengatakan SBY tidak meminta AHY sebagai syarat dukungan politik itu.
"Apakah Pak SBY memberi suatu permintaan harga mati bagi AHY? Saya katakan di sini secara tegas, Pak SBY tidak meminta AHY sebagai cawapres sebagai harga mati," kata Prabowo. Informasi pada 6 Agustus 2018 menunjukkan kandidat cawapres untuk Prabowo sudah mengerucut menjadi dua nama.
Kami mencoba membaca perbandingan skenario pasangan dengan model “popularity-favorability chart” (PF). PF menggunakan dua indikator baca. Pertama, popularity, yaitu seberapa besar skenario pasangan—sebagai kata kunci dalam percakapan, muncul di dunia cyber (totalmentions). Kedua, favorability, dengan mengukur analisis sentimen atas percakapan skenario capres-cawapres tersebut.
Sentimen menyangkut “nilai” atas percakapan yang ada. Kategorinya berada dalam penilaian sentimen positif, negatif, dan netral. Ukurannya mengikuti asosiasi jenis kata yang muncul dalam percakapan.
Popularity ditunjukkan dengan garis X (ke arah atas), sementara favorability dengan garis Y (ke arah kanan). Artinya, semakin titiknya ke arah atas, berarti skenario pasangan tersebut semakin banyak muncul dalam percakapan. Sementara itu, semakin titiknya ke arah kanan, semakin skenario pasangan itu memiliki sentimen yang besar. Besar kecil volumenya diperlihatkan dengan besar kecil titik (bundaran) yang tampak.
Arti lainnya adalah, jika sebuah titik semakin ke arah kanan, dan ke atas serta titiknya membesar, skenario pasangan tersebut paling kuat dalam percakapan di dunia siber. Atau dengan kata lain, ia mendapatkan perhatian paling besar dibandingkan skenario lainnya.
Selain itu, hasil PF perlu dicatat sebagai nilai agregrat selama periode pengamatan, 22 Juli–7 Agustus 2018. Posisinya juga dinamis, berubah mengikuti volume dan tren dari percakapan itu sendiri.
Skenario pasangan dari kubu Jokowi dengan nilai PF terbaik sejauh ini muncul melalui “Jokowi-Cak Imin”. Sementara itu, dari kubu Prabowo, nilai PF terbaiknya ditunjukkan oleh skenario “Prabowo-UAS” (lihat perbandingannya dalam Tabel 6). Nilai ini merupakan percakapan total dari online news (berita) dan percakapan Twitter.
Bahkan, andaikan dengan skenario “Cak Imin” tidak berpasangan dengan Jokowi, kandidat “Prabowo-UAS” masih tetap terlihat unggul. Menariknya, andaikan skenario poros baru “Cak Imin-Gatot” benar terjadi; nilainya tak bisa dilampaui oleh nilai skenario pasangan Jokowi lainnya.
Beda Saluran Media, Beda Atensi
Nilai data PF di atas akan berbeda jika percakapan total dari online news (berita) dipisahkan dari percakapan Twitter. Skenario pasangan “Prabowo-AHY” memiliki nilai PF tinggi jika dilihat hanya dari medium online news (berita) saja. Sementara itu, skenario “Prabowo-UAS” punya nilai paling tinggi dari medium percakapan Twitter. Artinya, atensi dan isu yang berkembang terkait pasangan capres-cawapres dalam medium percakapan berita dengan percakapan media sosial cenderung berbeda.
Segmen berita terlihat memberi tempat yang besar untuk pembicaraan mengenai skenario “Prabowo-AHY” dan “Prabowo-Salim Segaf”. Sementara itu, skenario pasangan “Jokowi-Cak Imin” turut menjadi salah satu opsi yang muncul dari kubu Jokowi (lihat dalam Tabel 7). Skenario pasangan "Jokowi-Mahfud MD" terlihat lemah dalam data online news (berita), bahkan nilainya minus.
Skenario pasangan "Jokowi-Romi" terlihat lemah dalam percakapan Twitter. Artinya, pasangan ini terasa tidak melakukan promosi secara kuat di media sosial. Berbeda jika dibanding dengan nilai yang diperoleh dari skenario pasangan “Jokowi-Cak Imin”.
Skenario dengan pengandaian Cak Imin keluar dari skema koalisi Jokowi turut disokong melalui percakapan Twitter. Bahkan, formasi ini muncul serta menjadi bayang-bayang bagi skenario pasangan "Prabowo-AHY".
Kesimpulan
Kubu Prabowo mendapatkan lebih besar atensi dalam percakapan di dua saluran media, baik dalam pemberitaan maupun percakapan Twitter, tak peduli siapa pun skenario cawapresnya. Dari semua bakal cawapres untuk Prabowo, atensi tertinggi didapat dari skenario pasangan “Prabowo-UAS”. Atensi yang didapat oleh skenario paslon ini jauh mengungguli semua skenario kubu Jokowi.
Pemantauan juga memperlihatkan bahwa skenario pasangan “Prabowo-AHY” muncul kuat melalui saluran berita online. Dengan kata lain, skenario ini muncul sebagai bagian dari dinamika kesepakatan politik. Berita umumnya merekam konsolidasi politik tataran elit yang sedang terjadi.
Sementara itu, Jokowi sebagai petahana pada akhirnya dapat dibaca sedang memainkan momen batas akhir waktu pendaftaran. Hal itu bukan saja strategi untuk bertahan, tapi sekaligus mencegah lawan politiknya memastikan formasi akhir yang akan jadi kandidat. Atensi atas semua skenario pasangan dari kubu Jokowi terlihat masih kalah jauh dalam percakapan, baik berita maupun media sosial.
Perlu dicatat pula bahwa bursa cawapres yang beredar dari kedua kubu memperlihatkan nama-nama yang relatif baru, dalam arti tak pernah berkontestasi dalam pilpres. Segala dinamika yang muncul wajar terjadi, karena kekuatan politik yang dimiliki oleh masing-masing nama itu relatif sama.
Di sisi lain, dari formasi dari skenario-skenario yang muncul juga tersirat bahwa penentuan capres-cawapres menimbang kombinasi identitas yang sejak lama menjadi pola: nasionalis-agama. “Prabowo-UAS” atau “Jokowi-Cak Imin” adalah contohnya. Termasuk dalam skenario “Jokowi-Ma'ruf Amin” yang muncul belakangan (tidak ada dalam pemantauan ini).
Catatan lainnya adalah syarat presidential threshold sebesar 20 persen dalam pencalonan. Syarat ini membuat kandidat serta partai politik perlu melakukan koalisi. Penentuan hasil akhir atas sebuah kesepakatan politik untuk berkoalisi jelas menjadi tantangan tersendiri.
Semua kepentingan mesti terakomodasi ketika menentukan pasangan capres-cawapres. Hal tersebut, bersama elektabilitas dan faktor pendukung lainnya, menjadi faktor pertimbangan yang membuat khalayak menunggu siapa capres-cawapres yang akan berlaga pada 2019 nanti. Bukan hal yang mustahil jika nanti nama yang muncul justru nama yang sama sekali lain dari yang terasumsikan dan terekam dalam periksa data ini.
Editor: Maulida Sri Handayani