tirto.id - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Nasdem meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan hasil revisi UU MD3 yang telah disahkan oleh DPR.
"PPP berharap presiden keluarkan Perppu untuk mengganti ketentuan-ketentuan yang dianggap kontroversial tersebut, dan setelah itu DPR bisa merevisi kembali (UU MD3) dengan membuka ruang konsultasi publik seluas-luasnya secara bijak," kata Sekjen PPP Arsul Sani saat dihubungi Tirto, pada Rabu (21/2/2018).
Berdasar keterangan Menteri Hukum dan Ham, Yasonna Laoly baru-baru ini, Jokowi enggan menandatangani hasil revisi UU MD3 yang sebelumnya telah disetujui oleh DPR dan pemerintah. Hal ini karena hasil revisi itu memuat sejumlah pasal yang kontroversial.
Sementara menurut Arsul, Perppu adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh presiden untuk menghentikan pemberlakuan hasil revisi UU MD3. Sebab, pasal 20 ayat 5 UUD 1945 menyatakan RUU yang telah disetujui oleh DPR dan pemerintah akan tetap berlaku setelah 30 hari usai pengesahan, meskipun tanpa tanda tangan presiden.
"Kalau uji materi di MK kan prosesnya akan cukup lama," kata Arsul.
Sekjen Nasdem, Johnny G Plate juga menilai adanya pasal-pasal kontroversial di hasil revisi UU MD3 sudah memenuhi syarat kegentingan memaksa sehingga Presiden Jokowi perlu menerbitkan Perppu.
"Itu pasal rakyat contempt of parlianment (menghina parlemen) kan menyandera rakyat. Kurang genting apa lagi? Rakyat tidak bisa mengkritik DPR," kata Johnny.
Johnny juga mengapresiasi sikap Jokowi yang tidak mau menandatangani perubahan UU MD3. Dia menilai sikap Jokowi sejalan dengan pendirian Nasdem dan PPP yang sejak awal menolak pengesahan hasil revisi UU MD3.
Saat rapat paripurna DPR, pada Senin (12/2/2018), Fraksi PPP dan Nasdem memang tegas menolak pengesahan revisi UU MD3. Kedua fraksi menilai perubahan itu tidak substansial dan bertentangan dengan hukum. Fraksi PPP dan Nadem menolak perubahan itu dengan melakukan aksi walk out saat sidang paripurna.
Pembatalan Hasil Revisi UU MD3 Melalui MK Dinilai Lebih Tepat
Berbeda dengan kedua politikus PPP dan Nasdem, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti justru menilai penerbitan Perppu bukan solusi terbaik guna menyelesaikan persoalan UU MD3. Menurut Ray, Perppu hanya akan membuka peluang adanya tarik menarik kepentingan kembali di parlemen.
"Kalau Perppu kan nanti kembali ke parlemen lagi. Ada lobi-lobi lagi. Kepentingan lagi," kata Ray, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, hari ini.
Lagi pula, menurut Ray, penerbitan Perppu mengindikasikan pemerintah lari dari kesalahannya karena telah ikut menyetujui hasil revisi UU MD3. "Pasal 73 itu yang mengusulkan perubahan menjadi setiap orang bisa dipanggil paksa, kan pemerintah," ujarnya.
Karena itu, menurut Ray, solusi paling tepat untuk menyelesaikan masalah UU MD3 adalah melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). "Nanti kita lihat apakah MK mau mengabulkan permintaan rakyat ini. Mudah-mudahan MK lebih melihat reaksi rakyat," ujar Ray.
Ray menilai sikap Jokowi yang tidak mau menandatangani hasil revisi UU MD3 politis. "Sebab, kalau kita berpikir apakah itu murni pikirannya, jelas tidak. Karena jelas-jelas waktu pembahasan ini tidak ada sedikitpun nota keberatan pemerintah terhadap pasal-pasal yang masuk," kata dia.
Kemarin, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengungkapkan Presiden Jokowi terkejut dengan isi sejumlah pasal dalam hasil revisi UU MD3. Yasonna mengatakan Jokowi kemungkinan tidak akan menandatangani undang-undang itu.
"Jadi Presiden cukup kaget juga makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan menandatangani (UU MD3)," kata Yasonna seperti diberitakan Antara.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom