tirto.id -
Toto merespons pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly yang menyampaikan Jokowi kemungkinan tidak akan menandatangani UU MD3 karena terdapat beberapa pasal kontroversial di dalamnya. Menurut Toto, mestinya presiden berkomunikasi dengan DPR apabila ia merasa ada pasal-pasal di UU MD3 yang tidak bisa diterima. Hubungan DPR dan pemerintah, menurutnya, harus dijaga kondusif menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
"Jadi, Pak Yasonna bisa ketemu dengan pimpinan Baleg, pimpinan dewan, untuk membahas mana bagian-bagian yang membuat Pak Presiden itu kurang berkenan," kata Toto.
Politikus PAN ini menolak anggapan DPR tidak transparan dengan pasal-pasal yang dinilai kontroversial. Semua pasal UU MD3 menurutnya dibahas dan disahkan bersama pemerintah. "Karena pemerintah secara formal sudah setuju, ya kami ikut prosedur saja. Sebetulnya seperti itu," kata Toto.
Hal senada juga disampaikan Ketua Baleg Firman Soebagyo. Menurutnya, seluruh pasal yang ada di dalam UU MD3 telah melalui pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah dari mulai tahap Panja, Raker, sampai pengesahan di Paripurna.
"Jika Presiden tidak tanda tangan, berlaku ketentuan Pasal 73 ayat 1 dan 2 UU No 12 tahun 2011: tetap berlaku walaupun tidak disahkan Presiden terhitung 30 hari sejak disetujui DPR," kata Firman.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menganggap wajar sikap Presiden Jokowi. Menurutnya, bukan kali ini saja presiden tidak mau menandatangani undang-undang yang telah disahkan DPR. "Misalnya waktu Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP), tim aspirasi dapil. Sudah diketok di paripurna juga tapi presiden enggak setuju. Itu menjadi salah satu bagian dinamika," kata Taufik.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan sikap Jokowi menolak menandatangani draf revisi UU MD3 tidak lagi berpengaruh. Menurutnya, konstitusi UUD 1945 Pasal 20 ayat (5) menyatakan undang-undang yang telah disahkan otomatis berlaku setelah 30 hari meskipun tidak ditandatangani presiden.
"Ini konstitusi lho yang menyebutkan," ujar Bivitri.
Menurut Bivitri, penolakan semestinya dilakukan sejak proses pembahasan dilakukan antara DPR dengan pemerintah. "Ya ini [penolakan Jokowi] pencitraan saja," ujarnya.
Bivitri mengatakan UU MD3 banyak bermasalah bukan saja karena terdapat kesepakatan untuk menambah satu kursi pimpinan DPR, MPR, dan DPD, tetapi juga karena terdapat beberapa pasal kontroversial. Misalnya Pasal 245 yang mengatur diperlukannya izin presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang ingin memeriksa anggota DPR pelanggar hukum pidana.
Pasal 122 yang menyatakan kewenangan MKD mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan parlemen.
Kemudian, Pasal 73 yang mengatur kewenangan DPR memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara paksa melalui kepolisian.
DPR dalam rapat paripurna DPR pada Senin (12/2) sepakat menyetujui revisi kedua UU MD3. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengungkapkan Presiden Joko Widodo terkejut dengan sejumlah pasal dalam revisi Undang-Undang No.17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Yasonna mengatakan Jokowi kemungkinan tidak akan menandatangani undang-undang yang telah direvisi dan disahkan oleh DPR bersama pemerintah itu.
"Jadi, Presiden cukup kaget juga makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan menandatangani (UU MD3)," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa (20/2), seperti diberitakan Antara.
Yasonna mengklaim Jokowi tidak mengetahui isi perubahan UU MD3 tersebut.
"Saya belum menyampaikan dinamikanya," kata Yasonna. "Beliau tidak aware dan tidak saya lapori sama sekali. Waktu itu, perdebatan sangat kencang. Ada keinginan pelantikan [pimpinan DPR] pada masa sidang yang lalu, makanya kami putuskan segera, dengan pikiran [setelah putusan] saya akan menyampaikan argumentasi," ungkap Yasonna.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar