tirto.id - Kebijakan Pemerintah Kota Bandung yang mewajibkan sejumlah pegawai negeri sipil untuk mengikuti uji coba program carpolling "Grab to Work" menuai kritik. Pelbagai pihak mempertanyakan latar belakang kerja sama pemkot dengan aplikasi transportasi daring swasta, Grab.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi mempertanyakan alasan Pemkot Bandung yang hanya menggandeng provider tunggal. Padahal aplikasi transportasi daring di Indonesia lebih dari satu. Hal itu berpotensi melanggar prinsip persaingan usaha.
"Kalau dilihat ini, kan, menjadi monopoli. Hanya satu provider yang menyediakan itu. Padahal dalam prinsip-prinsip publik itu tidak boleh ada monopoli di publik," kata Yogi saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (13/3/2019).
Menurut Yogi, penerapan kebijakan tersebut tetap harus melalui mekanisme pengadaan dan jasa, meski Pemkot Bandung menerima dana corporate social responcibility (CSR) dari Grab.
Yogi memahami niat baik Pemkot Bandung yang berusaha mengatasi kemacetan dengan program carpolling. Sebab, dengan program tersebut Pemkot Bandung juga bisa melakukan efisiensi karena tak perlu menggunakan mobil dinas.
Namun, Yogi menuturkan, Pemkot Bandung seharusnya menyiapkan dasar hukum dalam penerapan program carpolling. Pemkot juga perlu berkoordinasi dengan legislatif membicarakan kebijakan yang menuai kritik itu.
Selain itu, kata Yogi, pemkot juga perlu menyiapkan langkah lanjutan bila CSR dari Grab selesai. "CSR, kan, enggak selamanya. Pasti ada tenggat waktu."
Potensi Penyalahgunaan Wewenang
Program carpolling "Grab to Work" tersebut juga dikritik Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto. Ia sependapat dengan Yogi bahwa program carpolling tetap harus melewati pengadaan barang dan jasa.
"Satu catatan saya, penyedianya itu harus dipilih melalui prosedur yang benar. Penyedia barang dan jasa yang benar sesuai dengan Perpres 16 tahun 2018," kata Agus kepada reporter Tirto di Kantor ICW.
Agus juga mengkritik kebijakan yang mewajibkan sejumlah PNS untuk mengikuti program carpolling. Apalagi PNS yang tidak menggunakan Grab akan diberi sanksi.
"Menurut saya tidak perlu diwajibkan. Sifatnya imbauan saja dan benefit-nya apa buat pemkot [Bandung]," kata dia.
Agus melihat ada potensi penyalahgunaan wewenang dari Pemkot Bandung karena memaksa PNS di lingkungan Dinas Perhubungan untuk menggunakan Grab. Ia menilai hal ini perlu dicermati oleh penegak hukum.
"Sejauh mana penyalahgunaan wewenang ini berdampak atau menimbulkan keuntungan untuk pribadi dan swasta atau korporasi. Nah, menurut saya ini area penegak hukum untuk menelusuri itu," ujarnya.
Agus mengatakan Pemkot Bandung harus terbuka dan transparan dalam penerapan program carpolling. "Harus ada transparansi, akuntabilitas terhadap semua proses negosiasi antara pemerintah kota dengan penyedia jasa onlinenya."
Uji coba carpolling sendiri pertama dilakukan oleh PNS Dinas Perhubungan Kota Bandung, Jumat pekan lalu, dengan dalih mengurangi jumlah kendaraan dan mengurangi tingkat polusi. Jika tidak mengikuti program ini, PNS pada level staf akan didenda Rp50 ribu, sedangkan PNS pada level struktural didenda Rp100 ribu.
Program ini merupakan kerja sama dalam bentuk corporate social responcibility (CSR) Grab kepada Pemkot Bandung. Hal ini diakui Kepala Seksi Sarana Angkutan Dishub Bandung, Yohanes Situmorang saat dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (13/3/2019).
"CSR yang diberi Grab itu, kan, berupa pembiayaan, karena kalau naik Grab biasanya harus bayar driver, ini enggak. Jadi Grab memberikan pembiayaan untuk kami, dan kami gratis," ujar Yohanes.
“Mengapa harus Grab?," ujar Yohanes. Sebab, klaim dia, baru operator aplikasi tersebut yang tertarik bekerja sama ketika wacana tersebut dimunculkan.
“Sebagai Dishub yang punya koor bisnis transportasi, kami diminta membuat terobosan mengurangi kemacetan, salah satunya carpolling itu. Kebetulan Grab yang bersedia," kata Yohanes.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Gilang Ramadhan