Menuju konten utama

Grab to Work: Bukti Pemkot Bandung Gagal Benahi Transportasi Publik

Penggunaan carpolling sebagai solusi atasi kemacetan dinilai sebagai bentuk kegalauan Pemkot Bandung terhadap masalah transportasi publik.

Grab to Work: Bukti Pemkot Bandung Gagal Benahi Transportasi Publik
Ilustrasi aplikasi Grab. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Uji coba carpolling "Grab to Work" yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung, Jumat pekan lalu, ternyata berbuntut panjang. Beberapa hari setelah program itu berjalan, publik ramai-ramai bertanya soal apa latar belakang kerja sama Pemkot dengan aplikasi transportasi online swasta itu.

Apalagi, aparatur sipil negara atau ASN di Dinas Perhubungan Pemkot Bandung diwajibkan untuk bergabung dalam sosialisasi program tersebut.

Mereka dilarang berangkat dengan transportasi pribadi, transportasi umum massal, serta transportasi online selain Grab. Jika tak ikut dalam program itu, maka ASN pada level staf akan didenda sebesar Rp50 ribu, sementara ASN yang masuk ke jabatan struktural akan "dipalak" sebesar Rp100 ribu.

Usut punya usut, kerja sama itu ternyata salah satu bentuk corporate social responcibility (CSR) Grab kepada Pemkot Bandung. Hal ini diakui Kepala Seksi Sarana Angkutan Dishub Bandung, Yohanes Situmorang saat dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (13/3/2019).

Bentuknya berupa fasilitas carpolling di 15 wilayah di Kota Bandung yang dikhususkan untuk pegawai Dishub. Carpolling merupakan metode transportasi "satu mobil bareng-bareng" yang ditujukan untuk mengurangi jumlah pemakaian kendaraan pribadi.

Dalam hal ini, tiap pegawai Dishub Pemkot Bandung digratiskan untuk naik Grab Car dan berangkat bareng dengan karyawan lainnya di satu titik kumpul. Selain itu, mereka juga mendapatkan voucher gratis untuk memesan Grab Bike yang menjadi angkutan feeder dari rumah ke titik kumpul.

“CSR yang diberi Grab itu, kan, berupa pembiayaan, karena kalau naik Grab biasanya harus bayar driver, ini enggak. Jadi Grab memberikan pembiayaan untuk kami, dan kami gratis,” kata Yohanes.

“Mengapa harus Grab?," ujar Yohanes. Sebab, klaim dia, baru operator aplikasi tersebut yang tertarik bekerja sama ketika wacana tersebut dimunculkan.

“Sebagai Dishub yang punya koor bisnis transportasi, kami diminta membuat terobosan mengurangi kemacetan, salah satunya carpolling itu. Kebetulan Grab yang bersedia," kata Yohanes.

Tentu saja program itu langsung jadi sasaran kritik. Pengamat kebijakan publik Indra Perwira mengatakan pengurangan jumlah kendaraan dengan sistem carpolling itu cuma menguntungkan aplikator.

Sebab, kata dia, angkutan publik yang biasanya digunakan para ASN jadi kehilangan penumpang. Menurut Indra, jika carpolling yang jadi solusi mengatasi kemacetan, maka perbaikan tranportasi umum massal yang jadi kewajiban pemerintah tidak akan terlaksana.

"Itu kebijakan yang terlalu mengada-ada. Banyak mudaratnya daripada manfaatnya,” kata Indra kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon.

Lagi pula, kata Indra, jika menggunakan carpolling, maka jumlah ASN Dishub Pemkot Bandung yang sedikit tidak akan membawa dampak signifikan terhadap pengurangan kemacetan.

Karena itu, kata Indra, Pemkot Bandung lebih baik menyediakan bus khusus pegawai yang sebelumnya juga pernah dijalankan. Apalagi, menurut dia, payung hukum atau regulasi taksi online oleh Pemkot Bandung belum rampung.

"Masalah keberadaan Grab di samping taksi resmi itu secara hukum belum selesai, kok dilegitimasi oleh Kota Bandung?" kata Indra mempertanyakan.

Pengamat cum peneliti laboratorium transportasi Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menilai, penggunaan carpolling sebagai solusi mengatasi kemacetan di Kota Bandung adalah bentuk kegalauan Pemkot terhadap masalah transportasi publik.

"Pengguna transportasi umum makan sedikit dan kalau mau dikembangkan seperti di Jakarta tidak punya anggaran yang besar," tutur Djoko.

Karena itu, menurut Djoko, tawaran gratis dari Grab itu langsung "disikat" oleh Dishub Pemkot Bandung.

Konsep carpolling juga sebenarnya bukan hal baru bagi warga Bandung lantaran sudah pernah ada aplikasi serupa sebelumnya, misalnya aplikasi Nebengers.

Namun, kata Djoko, yang perlu digarisbawahi, maraknya penggunaan aplikasi transportasi online itu merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mengembangkan transportasi publik perkotaan.

Data kendaraan Bandung pada 2017 menunjukkan, jumlah angkutan umum di kota kembang hanya mencapai 5.521 unit. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk berdasarkan data BPS pada tahun yang sama, yakni 2.496.938, maka rasionya adalah 1 angkutan banding 452.525 penduduk.

"Ini sangat tidak ideal dan terlalu terlambat diantisipasi," kata Djoko.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI PUBLIK atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz