Menuju konten utama

Potensi Bahaya Jika Indonesia Mengirim TNI Ke Marawi

Tanpa bertempur langsung dengan ISIS di Marawi pun, Indonesia sudah merasakan berkali-kali serangan terorisme.

Potensi Bahaya Jika Indonesia Mengirim TNI Ke Marawi
Sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang tergabung dalam jamaah tablig bersiap dievakuasi dengan pengawalan Angkatan Bersenjata Filipina dari Marawi City, Provinsi Lanao del Sur di Pulau Mindanao, Filipina, Kamis (1/6). ANTARA FOTO/Al Jazeera/Adi Guno/WSJ

tirto.id -

Pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang menyebut akan mengirim TNI ke Marawi untuk membantu Filipina menghadapi ISIS dianggap terlalu berisiko. Sejumlah ancaman balik bisa menghampiri Indonesia jika terlibat konflik terbuka dengan ISIS di Marawi.

Dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta, M. Al Fajri, menyatakan hal itu akan berpeluang menjadikan Indonesia sebagai battleground ISIS.

"Potensi negatifnya (negative feedback) yaitu keterlibatan indonesia bisa menempatkan indonesia sebagai battleground utama isis di Asia Tenggara. (Hal itu terjadi) lantaran indonesia akan dianggap sebagai penghalang utama gerakan jihadis," kata Fajri kepada Tirto (6/7).

Tanpa berperang terbuka dengan ISIS di Marawi saja Indonesia sudah cukup sering mendapatkan gangguan dari jaringan yang ditengarai terkait dengan ISIS. Apalagi, pada Juli 2016 silam, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) merilis sebuah video yang isinya mendeklarasikan perang terhadap Indonesia dan Malaysia. Dalam rekaman video itu terlihat sejumlah anak menggunakan senjata api jenis AK-47 dan pria yang berbicara menggunakan bahasa Malaysia dan Arab.

Setahun kemudian, beredar lagi sebuah video ISIS yang isinya menyerukan milisinya untuk berperang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Video yang berdurasi sekitar 2 menit 45 detik itu salah satunya mendesak mereka melakukan aksi teror di negara masing-masing, jika tidak mampu bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah.

Keadaan itulah yang membuat keterlibatan TNI terjun di Marawi bisa berpotensi serius memicu intensitas serangan teror.

Namun, menurut Fajri, selain dampak negatif itu, pengiriman TNI ke Marawi juga mempunyai efek positif, yakni dapat mengukuhkan Indonesia sebagai pemimpin regional di Asia Tenggara yang berkomitmen untuk melawan segala tindak terorisme di kawasan.

"Indonesia membuktikan bahwa ia tidak tinggal diam saat ada ancaman yg muncul di kawasannya," kata Fajri.

Fajri pun menganggap bahwa gerakan semacam ISIS yang bersifat transnasional juga hanya bisa diatasi dengan cara yang transnasional juga, yakni melalui kerjasama antarnegara.

"Kesiapsediaan Indonesia untuk dimintai tolong oleh otoritas Filipina merupakan hal yang bagus. Karena ISIS adalah kelompok transnasional yang hanya bisa diselesaikan dengan cara transnasional juga. ISIS adalah musuh bersama yang penanggulangannya juga harus dilakukan secara bersama," katanya.

Selain itu, menurutnya, TNI sudah cukup memiliki pengalaman dalam melawan terorisme di kawasan Asia Tenggara dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang ada.

"Alasan lain yang mungkin bisa mendukung inisiatif mengirim pasukan adalah bahwa Indonesia sudah cukup berpengalaman dalam perang melawan terorisme. Pengalaman ini bisa dibagi dan mungkin membantu pemberantasan ISIS di Marawi," ujar Fajri.

Hanya saja Fajri menekankan bahwa keterlibatan Indonesia baru bisa dijalankan bila mendapat persetujuan dari pemerintah Filipina atau dalam hal ini izin dari Presiden Duterte.

"Tanpa izin atau permintaan, tentu tindakan ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kedaulatan dan norma non interference yang berlaku di ASEAN," tegasnya.

Sama dengan Fajri, Direktur Indonesia Muslim Crisis Centre (IMCC) Robi Sugara menyatakan keterlibatan Indonesia dalam konflik Marawi bisa berakibat Indonesia sebagai lahan perang ISIS.

"Cuma jika Indonesia terlibat ada risiko terburuknya karena bisa jadi serangan teroris ke Indonesia yang (sekarang saja) di dalam negeri (sudah) meningkat," kata Robi pada Tirto (6/7).

Apalagi intensitas hubungan antara ISIS dengan simpatisannya di Indonesia juga semakin meningkat. Dirjen Imigrasi Ronnie F. Sompie mengatakan bahwa ada sekitar 91 orang WNI diduga berafiliasi dengan ISIS. Pihak Imigrasi pun terus memantau pergerakan pelaku aksi teror dan mencegah orang-orang yang berusaha bergabung dengan ISIS pergi ke luar negeri.

"Yang masuk di dalam daftar pencarian orang (DPO) yang terkait ISIS terdapat 91 orang," kata Dirjen Imigrasi Ronnie F. Sompie di Aula Dirjen Imigrasi Kemenkumham, Jakarta, Rabu (5/7/2017).

Lebih lanjut Robu Sugara juga menyoroti kerjasama untuk mengatasi terorisme transnasional mutlak dilakukan.

"Teroris di Marawi itu harus menjadi isu kawasan ASEAN. Non intervensi itu jika menyangkut intervensi soal kebijakan. Ini modelnya kayak bencana alam. Kita mau memberikan bantuan," katanya.

Untuk menjadi isu kawasan, menurutnya, dua negara selain Filipina memberikan perhatian khusus saja sudah cukup. "Indonesia dan Malaysia saja udah cukup. Cuma masalahnya, mau enggak ASEAN ada intervensi Amerika," katanya.

Bila tidak menjadi isu kawasan, pemerintah Indonesia menurut Robi tidak akan bisa membantu. Karena, menurut data yang didapatnya, rencana bantuan TNI ke Marawi masih terkendala izin dari Filipina.

"Filipina belum buka pintu soal ini. Masih tahap share informasi intelijen saja," katanya.

Sebelumnya, Ryamizard menyatakan bahwa pemerintah Filipina dan militer Filipina telah setuju untuk menerima bantuan militer dari Indonesia dalam menghadapi ISIS di Marawi.

"Presiden Filipina Duterte sudah mengiyakan. Saya sudah bertemu Presiden Filipina dan Menhan Filipina. Dia dukung penuh, silahkan saja katanya," ujar Ryamizard.

Baca juga artikel terkait KONTAK SENJATA FILIPINA ABU SAYYAF atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Zen RS