tirto.id - Juli 2016 lalu, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) merilis sebuah video yang isinya mendeklarasikan perang terhadap Indonesia dan Malaysia. Dalam rekaman video itu terlihat sejumlah anak menggunakan senjata api jenis AK-47 dan pria yang berbicara menggunakan bahasa Malaysia dan Arab.
“Kita tidak lagi menjadi warga kalian, dan telah membebaskan diri dari kalian. Dengan izin-Nya dan bantuan-Nya, kita akan datang kepada kalian dengan kekuatan militer yang tak tertandingi. Ini adalah janji Allah kepada kita,” kata seorang militan dalam video itu.
Video yang menunjukkan militan anak itu muncul saat Indonesia diguncang serangan bom bunuh diri di halaman Mapolresta Surakarta pada Selasa, 5 Juli 2016.
Setahun kemudian, beredar lagi sebuah video ISIS yang isinya menyerukan milisinya untuk berperang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Video yang berdurasi sekitar 2 menit 45 detik itu salah satunya mendesak mereka melakukan aksi teror di negara masing-masing, jika tidak mampu bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah.
Munculnya video tersebut seolah-olah menjawab serentetan aksi teror yang terjadi selama dua bulan terakhir ini. Misalnya, bom yang meledak di Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada akhir Mei lalu. Dan terakhir penusukan dua anggota polisi usai salat Isya di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 30 Juni lalu.
Baca juga:
Sejak 2010, Polisi Menjadi Target Serangan Teroris
Membedah Jaringan ISIS di Balik Bom Kampung Melayu
Para Perempuan yang Terlibat Kasus Terorisme
Masifnya serangan teror yang terjadi dalam setahun terakhir membuat pemerintah Indonesia mengambil sejumlah langkah. Di antaranya mulai menggalakkan kembali program deradikalisasi, hingga upaya merevisi UU Terorisme. Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga berpikir keras menyikapi sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Suriah, termasuk yang nyata-nyata bergabung dengan ISIS.
Kepala BNPT Suhardi Alius mengatakan Indonesia harus memiliki konsep yang matang untuk menyikapi kepulangan WNI dari Suriah.
“Kita harus juga punya konsep ketika mereka kembali, kita verifikasi apa ini menjadi bagian dari FTF (foreign terrorist fighter) atau tidak. Tentu ini ada pendekatan-pendekatannya. Kalau mereka FTF dan keluarganya mereka punya ideologi yang sangat keras, kita juga perlu ada program deradikalisasi,” ujarnya dikutip Antara, Kamis (6/7/2017).
Setelah melalui verifikasi, pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian Sosial untuk menempatkan mereka yang terbukti menganut ideologi radikal untuk menjalani terapi deradikalisasi di Panti Sosial Bambu Apus, Jakarta Timur.
91 Orang DPO Berafiliasi ISIS Terus Dicegah Masuk
Sementara itu, Dirjen Imigrasi Ronnie F. Sompie mengatakan bahwa ada sekitar 91 orang WNI diduga berafiliasi dengan ISIS. Pihak Imigrasi pun terus memantau pergerakan pelaku aksi teror dan mencegah orang-orang yang berusaha bergabung dengan ISIS pergi ke luar negeri.
"Yang masuk di dalam daftar pencarian orang (DPO) yang terkait ISIS terdapat 91 orang," kata Dirjen Imigrasi Ronnie F. Sompie di Aula Dirjen Imigrasi Kemenkumham, Jakarta, Rabu (5/7/2017).
Menurut dia, ada sekitar 234 orang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) terkait perkara terorisme. Dari 234 orang yang diduga terlibat perkara teroris, 91 orang sudah terkonfirmasi berafiliasi dengan organisasi ISIS. Sementara sisanya, yakni sekitar 143 orang, merupakan pelaku terorisme non-ISIS. Terorisme non-ISIS, ia mencontohkan, seperti kasus teror yang berhubungan dengan jaringan teror Uighur.
Ronnie menegaskan, pemisahan data jumlah teroris tidak dilakukan oleh pihak Dirjen Imigrasi. Mereka menerima data berdasarkan lembaga lain seperti Polri atau BNPT. Data tersebut pun sudah diklarifikasi pihak Imigrasi bahwa itu berbeda.
Dalam data keimigrasian, kata Ronnie, tidak ada data masuknya WNA berafiliasi dengan ISIS ke Indonesia. Ia beralasan, semua WNA teroris sudah dicegah masuk sejak dini oleh pihak Imigrasi. Data nama-nama yang dicegah pun bukan berasal dari Imigrasi, tapi instansi lain seperti BNPT.
"Imigrasi hanya bekerja berdasarkan data yang diberikan, kemudian kita mengantisipasi untuk membantu," kata Ronnie.
Ronnie menegaskan, mereka tidak mempunyai data WNA berafiliasi ISIS masuk ke Indonesia via jalur tikus. Namun, Imigrasi akan mengupayakan data biometrik sebagai solusi untuk mengonfirmasi apakah WNA tersebut berafiliasi dengan ISIS. Mereka akan meminta data tersebut ke instansi lain seperti Interpol untuk mendapatkan data WNA tersebut berafiliasi dengan terorisme atau ISIS.
Sementara itu, untuk mencegah adanya pihak-pihak yang ingin bergabung dengan kelompok ISIS, pihak Imigrasi sudah mengantisipasi hal tersebut. Mereka menolak permohonan pihak-pihak untuk bepergian ke luar negeri tanpa alasan yang jelas. Selain itu mereka juga melakukan penegakan hukum dan pengawasan intens kepada WNI yang memiliki paspor dan berlintas di TPI.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Zen RS