Menuju konten utama

Posisi Terhormat Perempuan dalam Ritual Agama di Asia Tenggara Kuno

Perempuan pernah memegang kendali dalam ritual keagamaan pramodern di Asia Tenggara. Peran mereka tergusur ketika agama-agama baru berdatangan.

Posisi Terhormat Perempuan dalam Ritual Agama di Asia Tenggara Kuno
Ilustrasi ritual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Di Asia Tenggara zaman prakolonial, kaum perempuan menikmati status yang relatif tinggi dalam sistem sosial. Pelancong Cina abad ke-10 mendokumentasikan hal ini dan sempat menjadi perhatian penjelajah Eropa sejak abad ke-16. Mereka mendeskripsikan perempuan, khususnya yang sudah lanjut usia, sebagai sosok terhormat yang dekat dengan dunia gaib.

Anthony Reid, sejarawan yang banyak meneliti kebudayaan Asia Tenggara prakolonial, mengemukakan temuan tersebut dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 yang pertama kali terbit pada 1988. Menurut Reid, kepercayaan animisme menempatkan fungsi reproduksi perempuan dalam kapasitas mereka sebagai pemilik ilmu magis yang sulit ditandingi laki-laki. Perempuan begitu dihormati dalam dunia upacara dan kerap tampil sebagai pemimpin ritual yang menghubungkan manusia dengan roh leluhur.

“Faktor inilah yang menjelaskan kenapa anak perempuan tidak pernah dipertanyakan statusnya dalam kebudayaan Asia Tenggara, seperti halnya yang dilakukan di Cina, India, dan Timur Tengah, karena semakin banyak anak perempuan yang dimiliki seseorang, niscaya semakin kaya dirinya,” tulis Reid dalam pengantar makalahnya yang diterbitkan di Modern Asian Studies (Vol. 22, No. 3, 1988).

Penghubung Dunia Roh

Argumen Reid diperkuat oleh temuan Barbara Watson Andaya yang menyebut bahwa unsur keperempuanan sangat kuat pengaruhnya dalam dunia ritual Asia Tenggara pramodern. Melalui buku The Flaming Womb: Repositioning Women in Early Modern Southeast Asia (2006: 71), Andaya menemukan bukti-bukti peran aktif dukun perempuan sebelum kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16.

Menurut Andaya, peninggalan paling lengkap yang bisa menjelaskan peran perempuan dalam ritual kuno ini berasal dari Filipina. Dalam kepercayaan setempat, kondisi kehidupan manusia di dunia fana ditentukan oleh suasana hati dewa-dewi dan roh leluhur. Disebutkan pula bahwa hasil kemarahan makhluk supranatural berupa bencana alam, wabah penyakit, perang, dan kematian hanya bisa dicegah melalui bujukan dukun perempuan.

“Kepercayaan animisme memastikan perempuan sama-sama diuntungkan seperti halnya laki-laki, jika tidak lebih, dalam mencapai kondisi kerasukan untuk membangun jalur komunikasi dengan roh kuat yang sering kali berjenis kelamin laki-laki,” tulisnya.

Sejarawan Australia yang banyak meneliti tentang Indonesia dan sejarah maritim Asia Tenggara itu lantas mengaitkan kepercayaan akan kesamaan kemampuan reproduksi perempuan dengan alam. Jejak paling tua bahwa bumi tidak ubahnya rahim perempuan muncul dalam peninggalan orang-orang Tongkimbut di Minahasa, Sulawesi Utara, dari abad ke-7.

Lebih jauh Andaya menjelaskan kepercayaan kuno memandang kesuburan perempuan sebagai energi positif yang sangat kuat, namun terkadang berbahaya. Semua jenis cairan tubuh, termasuk darah menstruasi, dianggap punya kemampuan menciptakan sihir dan guna-guna. Tidak mengherankan bahwa kemudian para anak gadis yang tengah datang bulan harus melewati ritual kedewasaan dan diasingkan dari rumahnya karena dianggap bisa mencelakai orang lain.

Sebaliknya, masih menurut Andaya, tubuh perempuan yang telah memasuki fase menopause dianggap tidak lagi memancarkan energi misterius yang ditakuti. Secara anatomi mereka tetap perempuan, tetapi mirip laki-laki yang secara biologis tidak bisa bereproduksi. Dualitas seksual semacam ini dapat ditemukan di banyak simbol kebudayaan Austronesia pramodern.

Seorang pelaut Venesia bernama Antonio Pigafetta menyaksikan sendiri betapa masyarakat Filipina kuno sangat menghormati dukun perempuan. Ketika mendampingi penjelajahan Ferdinand Magellan di Pulau Visayas pada 1521, Pigafetta sempat meninjau upacara pengorbanan babi hutan yang dipimpin seorang perempuan. Dia bilang hanya perempuan tua yang berhak menyembelih daging persembahan.

“Bulu-bulu babi hutan itu dicabuti menggunakan kobaran api, tidak ada orang lain selain perempuan tua yang bisa menyucikan daging tersebut dan para laki-laki tidak mau memakannya kecuali babi itu dibunuh dengan cara demikian,” kata Pigafetta dalam catatan perjalannya yang pertama kali terbit tahun 1550 dengan judul The First Voyage Around the World, 1519-1522 (2007: 54).

Menjinakkan Roh Perempuan

Era perniagaan dan pelayaran sepanjang abad ke-15 hingga 16 lantas menggeser sudut pandang tentang sifat magis perempuan. Islamisasi dan kristenisasi yang terjadi bertahap secara eksklusif menempatkan laki-laki sebagai pemimpin ritual sekaligus ahli keagamaan. Hal ini, sebagaimana dipaparkan oleh Anthony Reid, dapat terjadi karena pendeta/ulama laki-laki bisa leluasa mengalihkan peran yang sama dari agama lama ke agama baru.

“Islamisasi khususnya menyangkut transfer pengetahuan dan keterikatan dari pria kepada pria pula--ayah kepada anak, guru kepada murid, penakluk kepada vasal. Para perempuan tidak bisa melakukan hal itu,” papar Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global (2011: 190). “Tidak mengherankan kalau tantangan dari agama-agama lama lebih banyak dilakukan oleh para perempuan.”

Reid menunjuk adanya rasa enggan para bangsawan perempuan di Sulawesi dan Lombok memeluk Islam sekitar abad ke-17. Bahkan ada pula kisah para para dukun perempuan di Filipina melawan gelombang kristenisasi yang dibawa misionaris Spanyol dengan cara menyembunyikan diri di pedalaman hutan.

Infografik Perempuan dalam ritual keagamaan

Infografik Perempuan dalam ritual keagamaan. tirto.id/Quita

Kendati agama baru berhasil menggeser tatanan lama, di beberapa kepulauan Indonesia masih terdapat sisa-sisa keyakinan bahwa hanya perempuan lah yang mumpuni dalam hal perdukunan dan ilmu sihir. Ada kalanya pula mereka dipuja sebagai leluhur karena rohnya dipercaya dapat menolong atau menyiksa orang yang masih hidup. Kisah Nyai Roro Kidul merupakan salah satu tradisi pemujaan roh halus perempuan yang paling terkenal.

Terkait asal-usulnya, kisah Nyi Roro Kidul cukup beragam. Salah satu versi yang paling terkenal dan diceritakan berulang-ulang secara luas menyebut penguasa laut selatan itu dilahirkan sebagai manusia. Seperti dikisahkan Nancy Florida dalam Jawa-Islam di Masa Kolonial (2020: 85), sang ratu terlahir sebagai anak perempuan Prabu Sindhula, penguasa Kerajaan Galuh Jawa Barat abad ke-13, yang terkenal akan kesaktiannya.

Ratu Kidul lantas menjelma menjadi dewi pelindung kerajaan Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi, sang ratu bahkan bersedia menjadi istri gaib para raja. Baik Panembahan Senopati maupun penerusnya, Sultan Agung, dikisahkan pernah berziarah ke Pantai Parangtritis untuk menemui sang ratu dan bersetubuh dengannya. Demikian hubungan istimewa antara raja pendiri Mataram dan Ratu Kidul dipercaya telah membawa Kesultanan Mataram ke puncak kejayaannya pada awal abad ke-17.

Mitos Nyai Roro Kidul diikuti dengan kemunculan beragam upacara dan ritual penghormatan untuk menjamin kedaulatan keraton dengan bantuan dunia halus. Tari Bedoyo Ketawang yang berasal dari Surakarta, misalnya, diselenggarakan untuk memuja kecantikan sang ratu serta pertemuannya dengan para pendiri Mataram. Pada momen tertentu, salah satu di antara sembilan penari perempuan bisa saja kerasukan roh sang ratu yang lantas dibawa untuk disetubuhi oleh raja.

Melihat pada transisi tradisi dukun perempuan kepada pemujaan Nyai Roro Kidul, jelas bahwa perempuan tidak lagi dalam posisi sebagai sosok yang menjinakkan roh halus. Sebaliknya, merekalah yang harus dijinakkan demi ketenteraman kerajaan.

“Upacara [pemujaan kepada Nyai Roro Kidul] yang dimaksud dilakukan untuk menjinakkan sang dewi agar kekuatan di bawah kendalinya tidak lolos sehingga berdampak fatal bagi kerajaan dan masyarakat,” catat Peter Carey dan Vincent Houben dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (2016: 14).

Baca juga artikel terkait RITUAL AGAMA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Ivan Aulia Ahsan