tirto.id - Tingkat keparahan dan kematian akibat COVID-19 bukan hanya disebabkan faktor tunggal saja. Selain penyakit penyerta alias komorbiditas dan jumlah paparan virus, ternyata tingkat polusi udara juga berpengaruh pada risiko kematian pasien.
Fakta terakhir terkuak dalam penelitian yang diterbitkan oleh Universitas Harvard. Para peneliti menghitung paparan polusi udara dan kematian COVID-19 di Amerika Serikat. Mereka mengumpulkan data kematian lebih dari tiga ribu kabupaten di Amerika Serikat hingga 22 April 2020. Jumlah sampel mewakili sekitar 98 populasi di sana.
Data kematian kemudian dibandingkan dengan paparan rata-rata terhadap partikel halus (PM2.5) dalam waktu lama. Kesimpulannya, risiko kematian akibat infeksi lebih besar terjadi pada pasien yang daerahnya sudah berpolusi tinggi sebelum pandemi.
“Setiap peningkatan 1 μg/m3 pada PM2.5 berbanding lurus dengan peningkatan 8 persen kematian akibat COVID-19,” demikian tertulis dalam hasil riset.
Sebaliknya, udara yang lebih bersih sementara waktu membantu meratakan kurva pandemi. Beban perawatan kesehatan di daerah dengan kualitas udara lebih bersih jadi lebih ringan karena hanya sedikit pasien dengan gejala COVID-19 parah.
Peneliti mengambil contoh salah satu wilayah yang menjadi pusat pandemi, yakni Manhattan di New York City. Daerah ini memiliki rata-rata PM2.5 mencapai 11 mikrogram per meter kubik (µg/m³). Sebanyak 1.904 kematian akibat COVID-19 dilaporkan pada 4 April.
Jika saja Manhattan menurunkan tingkat partikel rata-rata satu unit, atau hanya sekitar satu mikrogram per meter kubik selama 20 tahun terakhir, maka tingkat kematian akibat COVID-19 bisa ditekan hingga 248 kasus.
“COVID-19 dan udara tercemar layaknya bensin yang terbakar,” Francesca Dominici, penulis senior dalam studi sekaligus profesor biostatistik Harvard memberi perumpamaan pada kasus tersebut, dilansir dari National Geographic.
Partikel halus pada udara tercemar bisa menembus jauh ke dalam tubuh, meningkatkan tekanan darah tinggi, penyakit jantung, gangguan pernapasan, dan diabetes. Selain juga melemahkan sistem kekebalan tubuh, memicu peradangan di paru-paru, dan saluran pernapasan. Semua kondisi itu ikut meningkatkan komplikasi parah pada pasien virus korona.
Selain memaparkan tingkat kematian akibat infeksi COVID-19, studi ini juga mengungkapkan hubungan tumpang tindih paparan jangka panjang partikel halus terhadap penyakit lain, seperti serangan jantung, stroke, dan kunjungan umum ruang gawat darurat.
Kualitas Udara Indonesia dan Tingkat Kasus COVID-19
Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya polusi sudah jadi makanan sehari-hari. Bahkan langit biru nan cerah yang didapat Jakarta saat pembatasan sosial kemarin tak bertahan lama. Kini jika menengok ke udara, warna kelam kembali mewarnai atmosfer ibukota.
Tahun 2019, Jakarta pernah masuk sebagai kota peringkat 10 berpolusi terburuk di dunia dengan skor AQI 147. Sekarang, meski katanya pandemi menurunkan tingkat polusi udara, Jakarta justru duduk di peringkat pertama kota berpolusi di dunia dengan skor AQI 133 (per 1 Agustus 2020).
Tapi jika dikerucutkan, statistik dari Air Visual terhadap kota berpolusi di Indonesia per 1 Agustus 2020 dipegang oleh Tangerang Selatan (AQI 170, konsentrasi 91,8 µg/m³), Jakarta (AQI 133, konsentrasi 55,4 µg/m³), Bekasi (AQI 131, konsentrasi 47,6 µg/m³), Bandung (AQI 125, konsentrasi 45,2 µg/m³), dan Surabaya (AQI 86, konsentrasi 29 µg/m³).
Polusi kota-kota tersebut kebanyakan berasal dari pipa asap pembuangan pabrik dan knalpot kendaraan. Data pencemaran udara dari Air Visual ini jika kita hubungkan dengan jumlah kasus terkonfirmasi di Indonesia memang terlihat memiliki benang merah.
Jumlah kasus tertinggi menurut data Satgas Covid-19 per 1 Agustus 2020 dipegang oleh Jawa Timur (20,5 persen) dengan total kasus 22.089 dan jumlah meninggal 1.698. Sementara Jakarta berada di urutan kedua (19,7 persen) dengan total kasus 21.399 dan meninggal 831. Jika merunut penelitian di atas, polusi sangat mungkin menjadi faktor pemberat bagi kota-kota ini dalam melawan COVID-19.
“Orang yang terus menerus hidup di daerah polusi pasti mekanisme pertahanan parunya menjadi lemah,” ungkap Elisna Syahruddin, dokter spesialis paru di RSUP Persahabatan dalam diskusi daring Indonesia Peduli Kanker Paru (IPKP), Jumat (1/8/2020).
Padahal COVID-19 masuk ke jalur pernapasan, membuat jaringan paru-paru bengkak sehingga menyulitkan penderitanya bernapas. Ketika mekanisme pertahanan paru sudah melemah akibat polusi, maka COVID-19 akan membuat kondisi ini semakin buruk.
Kanker Paru, Polusi Udara, dan COVID-19
1 Agustus diperingati sebagai Hari Kanker Paru Dunia. Hingga saat ini kanker paru masih menempati peringkat sebagai jenis kanker dengan tingkat kematian tertinggi. Data dari Cancer Statistics 2019 menempatkan kanker paru sebagai kanker paling mematikan pada pria (24 persen) dan pada perempuan (23 persen).
Pada kelompok pria, jenis kanker mematikan lain disusul oleh kanker prostat (10 persen), kolon (9 persen), pankreas dan liver masing-masing 7 persen. Kemudian pada perempuan adalah jenis kanker payudara (15 persen), kolon dan pankreas 8 persen, serta ovarium 5 persen.
“Kanker paru paling banyak disebabkan oleh rokok, baik aktif dan pasif. Kemudian polusi udara baru faktor lain seperti bahan kimia beracun, genetik, radiasi, penyakit paru-paru,” jelas Elisna. Biasanya penyintas memiliki minimal dua dari delapan faktor risiko kanker paru.
International Agency for Research on Cancer (IARC) membenarkan bahwa polusi udara luar adalah salah satu faktor penyebab kanker. Polusi udara luar adalah campuran partikel kecil seperti debu dan zat di udara. Sebuah studi terbitan Jurnal Thorax (2016) menyimpulkan, paparan polusi jadi faktor pemicu kanker paru dan memperpendek kelangsungan hidup penyintasnya.
Sementara dikaitkan dengan COVID-19, studi terbitan Annals of Oncology mendukung studi sebelumnya oleh Harvard. Hasil pemeriksaan pada 102 pasien COVID-19 dengan kanker paru-paru menemukan bahwa COVID-19 dikaitkan dengan beban keparahan tinggi pada populasi pasien.
Di Rumah Sakit Persahabatan tingkat infeksi SARS-COV-2 dirata-rata mencapai 0,79 persen pada pasien onkologi dibandingkan dengan pasien pada umum (0,39 persen). Pasien kanker paru pun lebih rentan terinfeksi dengan angka risiko 25-38 persen dibanding dengan kanker lainnya.
“Segala sesuatu yang dapat menurunkan daya tahan dan mekanisme pertahanan paru, pasti berisiko sebagai faktor pemberat COVID-19. Termasuk polusi karena mekanisme pertahanan paru jadi berkurang,” papar Elisna.
Dari total sampel pada Annals of Oncology, sebanyak 62 persen pasien dirawat di rumah sakit, 25 persen lainnya meninggal. Tapi meski parah, penelitian yang berlangsung dari 12 Maret hingga 6 Mei 2020 ini menyimpulkan bahwa COVID-19 hanya menyumbang sebagian kecil kematian akibat kanker paru-paru selama pandemi.
Hal ini mungkin saja disebabkan oleh tingkat kesadaran pasien kanker paru terhadap COVID-19. Survei terbatas yang dilakukan IPKP menunjukkan bahwa para pasien kanker paru di Indonesia hampir semua (73 persen) memahami informasi dasar mengenai COVID-19, termasuk protokol kesehatan untuk mencegah transmisi. Mereka jadi lebih waspada dan patuh dalam menerapkan protokol karena sudah memiliki kormobid.
“Jika dikatakan kanker paru mengerikan, COVID-19 lebih dari itu. Ketika kamu kena, tak menunggu waktu tahunan seperti kanker, infeksinya bisa merenggut nyawa,” Elisna memperingatkan.
Indonesia sendiri saat ini mencatatkan posisi di peringkat kedelapan untuk angka kejadian penyakit kanker di Asia Tenggara. Angka kejadian tertinggi kanker laki-laki di negara ini dipegang oleh kanker paru, sebesar 19,4 per 100 ribu penduduk dengan rata-rata kematian 10,9 per 100 ribu penduduk.
Editor: Windu Jusuf