tirto.id - Pasal penodaan agama memakan korbannya di Malaysia. Empat orang divonis bersalah oleh otoritas terkait karena dianggap melakukan penghinaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad di media sosial.
Sebagaimana diwartakan Al Jazeera, satu dari empat tersangka─diidentifikasi sebagai pengguna Facebook bernama “Ayea Yea”─dijatuhi hukuman lebih dari 10 tahun penjara, sekaligus menjadi hukuman terberat yang pernah lahir dari pasal penodaan agama.
Andrew Khoo, pengacara yang berfokus pada isu HAM, menyebut bahwa hukuman tersebut adalah “parodi keadilan” dan sesuatu yang “belum pernah terjadi sebelumnya.” Sementara pemerintah Malaysia, dalam hal ini diwakili Mujahid Yusof Rowa dari Departemen Pengembangan Islam (JAKIM), mengatakan tidak akan berkompromi pada tindakan yang menghina agama.
Produk PolitiK
Pasal penodaan agama di Malaysia termaktub dalam undang-undang negara bagian maupun federal. Aturan hukum ini, pada dasarnya, berlaku untuk semua agama. Tapi, dalam kenyataannya, pasal penodaan agama hanya diterapkan kepada mereka yang dianggap menghina Islam.
Di tingkat federal, aturan tentang penodaan agama terdapat dalam Pasal 295-298A KUHP. Yang disebut penodaan agama adalah jika mengotori tempat ibadah, mengganggu acara keagamaan, dan mengucapkan kata-kata dengan niat sengaja untuk “melukai perasaan religius tiap orang” yang menyebabkan “ketidakharmonisan hingga perpecahan.”
Sedangkan di negara bagian, aturan mengenai penodaan agama tertuang dalam, misalnya, Bab III dari Undang-Undang Pelanggaran Pidana Syariah 1997 (No. 559). Isi dalam aturan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang tertulis dalam regulasi federal. Bagi mereka yang melanggar, hukumannya bisa dua sampai lima tahun penjara dan denda sebesar lima ribu ringgit.
Keberadaan pasal penodaan agama di Malaysia adalah hasil dari konstelasi politik lokal. Nurjaanah Abdullah dalam “Legislating Faith in Malaysia” yang dipublikasikan Singapore Journal of Legal Studies mengatakan, sejak era 1970-an, pemerintahan koalisi yang dimotori oleh Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), secara perlahan tapi pasti telah mendorong campur tangan negara dengan porsi yang lebih besar dalam urusan agama.
UMNO memakai agama untuk mendapatkan dukungan dari konstituen di Malaysia, yang didominasi Muslim Sunni (60 persen dari total populasi) dan etnis Melayu (53 persen). Dukungan inilah yang kemudian dimanfaatkan UMNO untuk melanggengkan kekuasaan.
Di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohammad, yang memimpin Malaysia dari 1981 hingga 2003, kebijakan-kebijakan “Islamisasi” pun banyak diberlakukan. Beberapa di antaranya yakni membentuk Departemen Pengembangan Islam (JAKIM), pada 1997, yang bertugas untuk merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan Islam, termasuk di dalamnya memberi cap “menyimpang” terhadap kepercayaan lain seperti Syiah hingga Ahmadiyah.
Selain itu, rezim Mahathir juga menerapkan aturan Islam pada aspek yang lain, dari urusan perbankan, asuransi, sampai pemberlakuan hukum Syariah yang dikelola secara eksklusif di 13 negara bagian. Menurut Siti Zubaidah dalam “The Implementation of Shariah Offences in Malaysia,” aturan Syariah di masing-masing wilayah punya implementasi yang berbeda. Di beberapa negara bagian yang didominasi PAS (Partai Islam Se-Malaysia), kelompok oposisi, seperti Kelantan, Perlis, dan Trengganu, misalnya, penerapan hukum Syariah bisa sangat keras─dengan cambuk dan rajam.
Kendati menerapkan aturan Syariah dan menjalankan pemerintahan dengan landasan Islam, Malaysia, di era UMNO berkuasa─hingga sekarang─tidak menyatakan diri sebagai “negara Islam.” Konstitusi Malaysia memberikan kebebasan bagi setiap warganya untuk memilih agamanya masing-masing, sekalipun, dalam butir aturan yang lain, Malaysia mendefinisikan “Melayu” sebagai “orang yang beragama Islam.”
Keadaan tersebut pula yang membikin Malaysia punya dua sistem hukum: perdata (sekuler)─yang diadopsi dari aturan hukum Inggris─serta Syariah. Mulanya, aturan Syariah berposisi lebih rendah dari aturan hukum sekuler. Namun, lambat laun, seiring masifnya upaya pemerintah Malaysia untuk “memperkenalkan” aturan Syariah, kedua sistem hukum tersebut sekarang beroperasi secara paralel. Contohnya bisa dilihat manakala kedua aturan ini sama-sama mengkriminalisasi penodaan agama.
Eksistensi pasal penodaan agama di Malaysia bisa pula dilihat dari perspektif historis. Malaysia merupakan salah satu negara mayoritas Muslim yang menerapkan aturan penodaan agama bukan karena faktor warisan Abad Pertengahan, melainkan karena sisa penjajahan Eropa─dalam hal ini Inggris.
Pemerintahan Inggris, seperti dicatat Krithika Varagur dalam “The Islamic World Has a Blasphemy Problem” yang terbit di Foreign Policy, telah meninggalkan aturan penodaan agama di sebagian besar koloninya. Di India, misalnya, undang-undang anti-penodaan agama dikodifikasikan pada 1860. Sementara di Pakistan, aturan penodaan agama diterapkan pada 1947.
Gagasan semacam itu berangkat dari keinginan pemerintah kolonial Inggris untuk mempertahankan stabilitas hubungan antar-agama melalui kekuasaan negara. Di India, aturan penodaan agama lahir setelah Pemberontakan 1857, yang dilakukan kelompok Sepoy, meletus─dan gagal. Pemberontakan tersebut memicu dorongan adanya reformasi hukum guna memulihkan ketertiban di India.
Di Malaysia, aturan penodaan agama pun lahir dari keinginan untuk menjaga kerukunan umat beragama. Akan tetapi, dalam perjalanannya, aturan ini dipakai penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya dan menyikat mereka yang dianggap vokal mengkritik negara dengan dalih “menghina Islam.”
Melahirkan Diskriminasi dan Persekusi
Alih-alih berhasil menjaga harmonisasi umat beragama, pasal penodaan agama di Malaysia justru mengakibatkan munculnya aksi diskriminasi dan persekusi. Keberadaan pasal ini cenderung disalahgunakan dan dipakai untuk membungkam siapa saja yang dianggap mengkritik, melawan, dan menyimpang dari aturan serta ajaran pemerintah─maupun Islam.
Kasus “Ayea Yea” bukanlah yang pertama. Pada 2007, Raja Petra Kamaruddin, pendiri sekaligus editor situs berita Malaysia Today diselidiki aparat karena diduga “menghina Islam.” Namun, kuat dugaan, Raja Petra diselidiki akibat melayangkan kritik keras sehubungan kasus pemenjaraan Anwar Ibrahim, pemimpin oposisi, yang dituduh melakukan korupsi dan sodomi pada awal 2000-an.
Tiga tahun kemudian, giliran P. Gunasegaram, redaktur pelaksana situs berita Star yang berurusan dengan aparat atas dugaan “penodaan agama.” Gunasegaram diproses secara hukum selepas mengkritik hukuman cambuk yang dilakukan terhadap tiga perempuan. Pemerintah Malaysia, sehubungan kasus ini, mengancam bakal mencabut izin publikasi Star.
Dengan pasal penodaan agama pula pemerintah Malaysia melakukan sensor terhadap buku-buku yang membahas masalah agama. Sebanyak 57 buku, yang rata-rata berisi mengenai bahaya ekstrimisme dan radikalisme, dilarang beredar oleh pemerintah pada 2009. Kebijakan ini pada akhirnya gugur setahun berikutnya usai LSM bernama Sisters in Islam mengajukan banding ke pengadilan.
Di beberapa negara bagian, pasal penodaan agama dipakai untuk membungkam ekspresi orang-orang non-Muslim. Pada 2008, surat kabar Katolik, Herald, dilarang menggunakan kata “Allah” untuk setiap publikasinya. Larangan ini lantas dicabut oleh pengadilan. Keputusan untuk menganulir larangan tersebut tak dinyana disambut dengan protes yang kemudian berubah jadi serangan kekerasan terhadap gereja.
Konsekuensi dari penerapan pasal penodaan agama lainnya adalah persekusi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang (Syiah dan Ahmadiyah) maupun yang berafiliasi terhadap oposisi.
Pada 1977, organisasi bela diri bernama Nasrul Haq dibentuk. Tak butuh waktu lama bagi organisasi ini untuk memperoleh popularitas. Setahun sejak didirikan, mengutip Freedom of Religion, Apostasy and Islam (2004) yang disusun Abdullah Saeed and Hassan Saeed, Nasrul Haq sudah punya anggota sebanyak 300 ribu orang. Oleh UMNO, kehadiran Nasrul Haq dianggap mengancam karena diduga punya hubungan dengan partai oposisi, PAS. UMNO pun bereaksi cepat melarang Nasrul Haq dengan alasan telah menggunakan ajaran Islam “secara tidak tepat”─menggunakan nyanyian sufi dalam sesi bela diri.
Sebetulnya pihak yang terancam dengan adanya pasal penodaan agama bukan kelompok minoritas─atau mereka yang dianggap vokal menyuarakan kritik─saja. Orang-orang Muslim Sunni, selaku kelompok mayoritas, pun tak jarang juga kena imbas. Mereka dipaksa mempraktikkan ajaran agama dalam interpretasi maupun batasan ketat yang diberlakukan oleh negara.
Penodaan agama, di luar penerapannya di Saudi yang inheren dengan budaya Islam, merupakan fenomena yang relatif baru. Semakin ke sini, persoalan tentang penodaan agama semakin menjadi masalah yang serius di beberapa negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Paul Marshall, analis dari Center for Religious Freedom Hudson Institute, menyebut ada tiga alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, hubungan yang dekat dan umum antara agama (Islam) dan negara, sehingga pelanggaran agama seringkali ditafsirkan juga sebagai pelanggaran terhadap negara.
Kedua, kemarahan dari sebagian Muslim ketika merasa agama maupun ajarannya dihina─sehingga menyebabkan mereka membenarkan apa pun langkah yang diambil selanjutnya. Dari kemarahan tersebut, yang sekaligus jadi alasan ketiga, kemudian dieksploitasi pemerintah atau kelompok lain untuk tujuan politik yang lebih sempit. Misalnya, untuk mengalahkan lawan politik yang punya basis suara kuat, seperti halnya yang terjadi dengan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.
Editor: Nuran Wibisono