tirto.id - Publik menyalahkan berbagai pihak dalam Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang dan melukai ratusan korban. Salah satu yang menanggung kekesalan masyarakat adalah Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Menurut survei Indikator Politik Indonesia tak sampai satu bulan dari kejadian, tepatnya 30 Oktober hingga 5 November 2022, 13% dari 1.200 responden setuju bahwa PSSI adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap salah satu insiden terburuk dalam sejarah sepak bola tersebut. Mereka ada di bawah polisi dan penyelenggara liga. Lebih dari setengah atau tepatnya 56,3% responden juga yakin bahwa PSSI tidak menyampaikan kepada polisi terkait larangan menembakkan gas air mata di dalam stadion dari federasi sepak bola dunia, FIFA.
Selain PSSI secara lembaga, kritik juga melayang ke Mochamad Iriawan alas Iwan Bule. Dialah yang duduk di kursi Ketua Umum PSSI.
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk pemerintah juga merekomendasikan bahwa Ketua Umum PSSI dan bawahannya sepatutnya mengundurkan diri--sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. Responden yang setuju dengan gagasan ini mencapai 60,2%.
Meski Iriawan tak kunjung mengundurkan diri, suksesi Ketua Umum PSSI untuk periode 2023-2027, yang akan dilaksanakan lewat Kogres Luar Biasa (KLB) Februari nanti, tetap menarik perhatian masyarakat.
Salah satu nama yang cukup menonjol adalah Menteri BUMN Erick Thohir. Pada 15 Januari 2023, dia mendatangi kantor PSSI di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, untuk mendaftarkan diri.
Beberapa pemilik klub terbuka mendukung mantan pemilik Inter Milan itu untuk menjadi pimpinan PSSI. Mereka yang turut menemani Erick hari itu adalah Kaesang Pangarep (Persis Solo), Raffi Ahmad (RANS Nusantara), Teddy Tjahjono (Persib Bandung), dan Atta Halilintar (Bekasi City FC). Dukungan kepada pemilik Mahaka Group ini juga datang dari bekas politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany dan pemerhati sepak bola Pangeran Siahaan. Mereka bahkan membentuk gerakan Berani, Energik, Dahsyat, dan Amanah alias BEDA.
“Karena dengan nyali, dengan keberaniannya, dengan kepemimpinannya yang modern, Pak Erick bisa mengubah sepak bola Indonesia yang bersih, maju, dan modern,” ucap Raffi Ahmad tentang motivasinya mendukung Erick.
Selain Erick, beberapa nama yang turut mendaftar adalah La nyalla Mattalitti, Arif Putra Wicaksono, Doni Setia Budi, dan Fary Djemy Francis. Kandidat yang disebut pertama yang paling menonjol. Dia pernah jadi Ketua Umum PSSI 2015 sampai 2016. Jabatannya dihentikan lebih awal karena diduga terlibat korupsi--bahkan pernah buron--meski akhirnya divonis bebas pada akhir 2016.
Masalah Rangkap Jabatan
Dalam survei Indikator yang sama, nama Erick menjulang mengungguli yang lain untuk menduduki jabatan tertinggi di PSSI. Ia diminati oleh 24,1% responden. Persis di bawahnya ada jurnalis Najwa Shihab dengan rentang relatif jauh. Najwa hanya mendapat dukungan 10,4% responden.
La Nyalla bahkan lebih parah. Dia hanya diminati oleh 2,1% responden. Tiga nama lain yang sekarang terdaftar sebagai calon Ketua Umum PSSI masuk hitungan.
Jika dikerucutkan menjadi tiga nama sebagaimana simulasi Indikator, maka pemenangnya tetap Erick. Perolehannya meningkat jadi 40%. La Nyalla hanya mendapat suara 5,1%, di bawah Iwan Bule yang dipilih 8,4% responden. Dalam simulasi dua nama, perolehan Erick meningkat jadi 45,4%, sedang La Nyalla 6,2%.
Sekilas tidak ada masalah dengan sosok Erick, apalagi berkaitan dengan sepak bola, sehingga begitu disukai. Namun terpilihnya Erick akan membuka kemungkinan mengulang pengalaman lalu, persisnya ketika Edy Rahmayadi rangkap jabatan sebagai Gubernur Sumatra Utara.
Erick mengatakan tidak aturan yang dilanggar jika memang akhirnya dia rangkap jabatan. Dia memberi contoh beberapa menteri lain yang juga merupakan pemimpin asosiasi olahraga, dari mulai Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, dan Luhut Panjaitan. “Aturannya itu boleh,” katanya.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga hanya mengucap “jangan berandai-andai” ketika ditanya apakah Erick harus mundur atau tidak seandainya jadi Ketum PSSI.
Namun perkaranya bukan hanya di soal legal. Seperti dicatat Rizal Hardani dalam skripsi berjudul Rangkap Jabatan Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) (2019), sebaiknya pengurus PSSI tidak merangkap jabatan karena disinyalir dapat mengganggu kerja-kerja utama mereka.
Selain soal jabatan menteri, perkara lain adalah nama Erick sejauh ini digadang-gadang menjadi unggulan calon wakil presiden dalam Pemilu 2024. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, misalnya, menyebut Erick telah masuk radar mereka.
Poltracking Indonesia, dalam survei yang dirilis pada 15 Desember 2022, mencatat 17,2% dari 1.000 responden asal DKI Jakarta menghendaki Erick sebagai cawapres. Di atasnya ada Agus Harimurti Yudhoyono dengan 24,7%. Di Jawa Tengah, Erick bahkan berada di posisi teratas dengan dukungan responden 25,4%. Sedangkan survei Indikator Politik Indonesia di 34 provinsi menemukan Erick hanya berhasil meraih 10,3% dukungan dari 1.220 responden. Di atasnya ada AHY, Sandiaga Uno, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Bila Erick maju menjadi cawapres--apalagi menang--dan telah memegang kendali PSSI, maka kemampuannya bekerja dengan fokus mengembangkan sepak bola akan semakin jadi pertanyaan.
Untuk soal ini Erick mengatakan bahwa dia sudah terbiasa mengurus banyak hal sekaligus. Dia menyinggung soal “membagi waktu” dan “ada tim yang kuat” yang membuat semua akan baik-baik saja.
Namun FIFA telah menegaskan soal independensi, hal yang bakal jadi batu sandungan berikutnya. Dalam Pasal 14 Kode Etik, FIFA menegaskan bahwa “In dealings with government institutions[...] persons bound by this Code shall [...] remain politically neutral.”
Calon Wakil Serupa
Komite Pemilihan menegaskan bahwa persaingan setiap pengurus dilakukan secara mandiri alias tidak ada sistem paket. Ketua umum dipilih secara individu, pun dengan wakilnya. Dalam hal ini masalah serupa dapat muncul. Wakil bisa saja dimenangkan oleh politikus.
Maka semua bisa jadi menjurus kepada perkara lain, yakni politisasi PSSI.
Kursi Waketum PSSI diperebutkan salah satunya oleh Zainuddin Amali. Lagi-lagi masalah rangkap jabatan akan muncul karena dia sekarang menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga yang semestinya menaungi semua.
Amali juga merupakan politikus dari Partai Golkar, partai yang di masa lalu, di era kepemimpinan Aburizal Bakrie, begitu erat dengan isu politisasi PSSI. Ketika itu PSSI dipimpin Nurdin Halid yang juga dari partai berlogo beringin.
Amali dan Aburizal punya hubungan panas-dingin ketika konflik Partai Golkar di 2014. Amali sempat diberikan Aburizal posisi Ketua DPD Golkar Jawa Timur, tapi dia memilih jadi Sekjen Partai Golkar kubu Agung Laksono yang berseberangan dengan kubu Aburizal. Namun hubungan mereka membaik di kemudian hari. Bahkan ketika jadi Menpora, pada 2021, Amali mendukung Anindya Bakrie, putra Aburizal, untuk kembali memimpin Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PB PRSI) periode 2021-2025.
PSSI memang bukan hanya tentang sepak bola, tapi juga kekuasaan politik. Dalam sebuah reportase oleh DW, petinggi PSSI menyampaikan bahwa “jika Anda bisa mengontrol sepak bola, berarti Anda sudah setengah jalan untuk menguasai Indonesia.” Bagi petinggi PSSI yang dirahasiakan namanya itu, partai belum tentu mampu menciptakan lautan manusia. Tapi dengan sepak bola, penonton sebanyak 60 ribu dengan mudah terkumpul di stadion. Ini belum dihitung dengan mereka yang melihat melalui layar kaca.
Sebagian orang sepakat bahwa kepengurusan sepak bola yang baik seharusnya memiliki pagar api yang jelas, yang tidak lain lepas dari politik. Terdengar klise tapi semakin relevan.
Editor: Rio Apinino