Menuju konten utama

Ketika La Nyalla Ingin Menduplikasi Nurdin Halid

Di masa lalu, PSSI pernah dipimpin Nurdin Halid dari penjara. Kini, PSSI dipimpin oleh La Nyalla yang baru saja menyandang status tersangka kasus dana hibah. Jalan reformasi PSSI tampaknya masih sangat panjang. La Nyalla yang pernah menjabat sebagai Ketua Kadin Jatim, diduga terlibat dana hibah yang merugikan negara Rp 48 miliar.

Ketika La Nyalla Ingin Menduplikasi Nurdin Halid
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim La Nyalla Mattaliti (kedua kiri) keluar dari Kejaksaan Tinggi Jatim, Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Didik Suhartono

tirto.id - Di tengah kekisruhan persepakbolaan di tanah air, Ketua Umum PSSI, La Nyalla Matalitti resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim). La Nyalla terlibat dalam kasus korupsi dana hibah Kadin Jawa Timur tahun 2012.

Penetapan La Nyalla sebagai tersangka ini tentu saja memunculkan tudingan miring, bahwa ada yang ingin menyingkirkannya dari PSSI. Seperti diketahui, sudah lama PSSI berkonflik dan kini dalam status dibekukan. Upaya untuk mereformasi PSSI selalu menemui jalan buntu. La Nyalla sebagai Ketua Umum juga tidak mau legowo mundur agar reformasi PSSI bisa dilakukan.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi tentu saja membantah tudingan tersebut. Sementara La Nyalla bersikukuh tak mau turun dari tahtanya di PSSI. Ia bersikeras penetapannya sebagai tersangka tidak bisa membuatnya otomatis lengser dari PSSI.

Tersangka Kasus Hibah

La Nyalla sudah lama tersandung kasus hukum. Namanya tercantum dalam pembelian IPO Bank Jatim senilai Rp5,3 milliar di tahun 2012. Kalau saja dananya untuk membeli saham dari kantong pribadi, La Nyalla mungkin tidak akan jadi tersangka. Masalahnya, dana yang dipakai untuk membeli saham IPO Bank Jatim merupakan dana hibah pemberian Pemrov Jatim yang berasal dari APBD.

“Beli IPO atas nama pribadi dan uang pribadi tak masalah. Tapi di kasus ini, pembelian IPO itu atas nama pribadi tapi menggunakan dana hibah,” ucap Aspidsus Kejati Jatim, I Made Suwarnawan, seperti dikutip dari Antara.

La Nyalla yang pernah menjabat sebagai Ketua Kadin Jatim dua periode, 2009-2014 dan 2014-2019 ini sebelumnya pernah diduga terlibat dalam kasus dana hibah yang merugikan negara senilai Rp 48 miliar. Namun, La Nyalla berhasil membuktikan diri tak bersalah. Vonis hukuman pun jatuh pada dua Wakil ketua Kadin Jatim, Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring.

Kejati Jatim kembali melakukan penyelidikan, tetapi fokus pada pembelian IPO Bank Jatim. Kejati lalu mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) pada tanggal 27 Januari 2016 dan 15 Februari 2016. Pada 10 Maret 2016 surat perintah penyidikan (umum) diberikan oleh Kepala Kajati, E.S Maruli Hutagalung.

Dari penyidikan itu ditemukan dua alat bukti yang cukup untuk menjerat La Nyalla menjadi tersangka. “Kami sudah menemukan dua alat bukti kuat. Namun, untuk peran detail tersangka di kasus ini, kami belum bisa memaparkannya karena sudah menyangkut urusan teknis. Tunggu saja,” ucap Made.

Penetapan status tersangka ini membuat La Nyalla heran. Dalam wawancara dengan TV One pada acara Kabar Petang, setelah penetapan statusnya sebagai tersangka, La Nyalla bersikeras dia tak bersalah.

Dia menuturkan, namanya dipakai dalam pembelian IPO saham Bank Jatim karena statusnya sebagai Ketum Kadin. Menurut La Nyalla, Wakil Kadin Jatim, Diar Kusuma Putra yang memerintahkan penggunaan namanya.“Saya tak tahu nama saya dipakai. Setelah saya pulang dari luar negeri, saya tahu ini perbuatan salah. Makanya saya buat surat pengakuan utang, dana itu dipakai sementara,” katanya.

“Tapi dana itu sudah saya kembalikan per 7 November 2012 lalu. Kalau dikatakan merugikan, lho justru sudah saya kembalikan. Saya pun tak kemplang karena saya buat surat pengakuan utang,” imbuhnya.

La Nyalla menganggap penetapannya sebagai tersangka sangat terlambat.

“Kalau mau jadikan tersangka kenapa tak pas penyidikan pertama saja? Kenapa tidak terbukti? Kok sekarang,” keluhnya.

Dikaitkan dengan Konflik PSSI

Secara terbuka La Nyalla menilai penetapan kasusnya ini merupakan bagian dari konspirasi dan kriminalisasi untuk menjatuhkan dirinya dari jabatan ketua PSSI. “Suara-suara di luar kan juga sudah jelas. Kalau mau gulingkan saya dari PSSI nggak bisa, maka dicarikan lah jalan. Seperti yang begini-begini,” ketusnya.

Lantas siapa yang mau menggulingkannya? Dengan lugas La Nyalla menjawab Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi. Dia menilai upaya Imam yang meminta PSSI untuk segera menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) adalah bagian dari provokasi itu.

Tak tanggung, Nyalla pun menuding Imam sudah mengintervensi Kajati Jatim untuk mengkriminalisasi dirinya. “Kajati bicara jujur. Pengacara saya datang ke dia, dan dia ngaku ngomong ada pesanan. Saya nggak bisa sebut karena sulit dibuktikan. Tanya Kajati untuk pastinya,” tuturnya.

Tudingan La Nyalla itu tentu saja ditepis oleh Imam Nahrawi. Ia merasa tersinggung dengan tudingan La Nyalla. “Ketika mendengar saya dituduh, statement pertama saya, saya ini siapa? Kedua, kalau saya di balik ini semua, harusnya saya sudah bisa menang sejak Kasasi di Mahkamah Agung dan PTUN. Tapi buktinya kami kalah terus,” ucap Imam.

Lebih jauh Imam Nahrawi meminta agar namanya tidak lagi disebut-sebut dalam perkara yang membelit. Ia merasa tak ada sangkut pautnya. “Tolong jangan sebut nama saya lagi,” pintanya.

Tak Mau Lengser dari PSSI

La Nyalla kini sudah menyandang status tersangka. Namun, ia tetap tak mau turun dari jabatannya sebagai ketua umum PSSI. Ia mengaku mendapatkan banyak dukungan di PSSI.

“La Nyalla ini kalau di sepakbola kuat, didukung para voter, didukung anggotanya. Karena La Nyalla ini, yang dikatakan oleh Menpora bahwa mafia ada di PSSI, justru saya yang menjaga dari mafia. Saya menjaga PSSI agar tidak dikuasai oleh mafia-mafia baru,” ucapnya percaya diri.

“Penetapan saya sebagai tersangka ini secara statuta tidak otomatis membuat saya bisa digulingkan,” tegasnya.

Jika menilik dari Statuta FIFA, badan sepakbola yang bermarkas di Zurich, Swiss itu memang tidak mengatur secara detail pengurus asosiasi yang terlibat masalah hukum. Dalam Statuta FIFA, larangan terhadap seseorang yang terlibat proses hukum hanya ada di pasal-pasal yang mengatur saat pemilihan executive comitee/ketua umum. Siapapun yang hendak maju dilarang terkena kasus pidana dalam lima tahun terakhir.

Lalu bagaimana dengan kasus yang menerpa La Nyalla, yang menjadi tersangka saat sudah menduduki ketua asosiasi? Statuta FIFA sama sekali tidak menyinggung hal itu. Namun, ini tidak berarti La Nyalla bebas. Dia akan diganjal oleh aturan FIFA terkait Disciplinary Code, pada section 9 yang mengatur soal Tanggung Jawab Klub dan Asosiasi.

Di Article 68 ayat b menyebutkan “memastikan tidak seorangpun yang berada di dalam manajemen klub atau di dalam asosiasi itu sendiri berada di bawah tuntutan atas tindakan tak layak (terutama doping, korupsi, pemalsuan dan lain-lain) atau orang yang dinyatakan bersalah atas pelanggaran kriminal dalam periode lima tahun terakhir,”

Dalam Statuta PSSI tahun 2014 termaktub aturan yang sama. Tercantum pada pasal 34 ayat 4 yang berbunyi: “Anggota Komite Eksekutif harus sudah berusia lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, mereka harus telah aktif di sepakbola sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan harus tidak pernah dinyatakan bersalah atas suatu Tindak Pidana, serta berdomisili di wilayah Indonesia.”

Tapi lagi-lagi, dua aturan diatas adalah pasal-pasal karet. Status La Nyalla saat ini masih ditetapkan sebagai tersangka bukan terdakwa. Definisi “bersalah” yang tercantum pada dua aturan di atas tidak menjelaskannya secara rinci. Karena itu perdebatan La Nyalla harus turun atau tidak akan ditentukan dari kejelasan kata “bersalah” ini.

La Nyalla mestinya meniru langkah koleganya di FIFA. Saat tersandung kasus suap, Seep Blatter, Michael Platini dan Jerome Valcke turun sendiri dari tampuk kekuasaan FIFA. Padahal status mereka saat ini pun masih sebagai tersangka dan kasus suap itu masih penyelidikan Kejaksaan Swiss serta Amerika Serikat.

Jika La Nyalla tetap bersikeras enggan mundur, maka dia akan jadi duplikasi Nurdin Halid. Nurdin sempat memimpin PSSI pada periode 2003-2011. Ia membuat Indonesia mencatatkan rekor dalam sejarah sepakbola dunia, yakni jadi federasi pertama yang dipimpin seseorang narapidana.

Pada kepemimpinannya, Nurdin memang memimpin PSSI dari balik penjara pada periode 2004-2005 dan 2007-2008. Kala itu dia divonis dua putusan korupsi pada waktu yang berbeda, kasus penyelundupan gula impor ilegal dan korupsi pengadaan minyak goreng. Kasus itu membelit Nurdin yang juga merupakan ketua Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).

Sejatinya jika menilik dari aturan FIFA, kepemimpinan Nurdin ini adalah ilegal. Dalam Statuta FIFA, narapidana haram untuk memimpin sebuah federasi. Namun, tetap saja Nurdin Halid bisa bertahta sekian lama di PSSI.

Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault ketika itu juga tidak mau mengotak-atik posisi Nurdin. Alasan Adyaksa, pemerintah tak bisa turut campur karena itu melanggar Statuta FIFA. Dalam aturannya, FIFA memang melarang pemerintah untuk mengintervensi federasi. Jika hal itu dilakukan, sangsi siap menanti. Ancaman inilah yang sering digembor-gemborkan Nurdin Halid.

Solidnya para pengurus PSSI, baik itu Asprov atau klub membuat upaya Kongres Luar Bisa (KLB) untuk memilih pemain baru sulit terlaksana. Butuh keberanian dan kerja keras dari berbagai elemen di luar PSSI itu sendiri. Upaya itu sukses pada 2011 silam. Turunnya rezim tak lepas dari intervensi kuat pemerintah lewat Menpora baru, Andi Malarangeng.

Itupun tidak akan terjadi tanpa dukungan ribuan supporter yang tak henti menggelorakan semangat revolusi sembari berdemonstrasi di depan kantor PSSI, di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.

Bagaimanapun penggila bola di Indonesia rindu akan sebuah prestasi. PSSI berkewajiban untuk mewujudkan mimpi tersebut. Hal ini tak akan tercapai jika para pengurus PSSI sibuk dengan masalah mereka sendiri. Mungkin para pengurus PSSI perlu mendengarkan kritikan dari penggalan lagu “Dear PSSI” dari band punk asal Bandung, Rentenir.

“Kapankah Indonesia lolos menuju ke Piala Dunia/Piala Asia saja tak pernah sekalipun juara//Bagaimana mungkin PSSI kan mengukir prestasi/Bila pemimpinnya saja seorang napi yang ahli korupsi.”

Baca juga artikel terkait FIFA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti