tirto.id - Sejak muda, Nurdin Halid telah bersentuhan dengan koperasi. Kisahnya bermula saat ia kuliah di IKIP Makassar (sekarang Universitas Negeri Makassar). Putra dari pasangan Andi Hakeng dan Andi Abdul Halid itu memilih mendalami bidang Ekonomi Perusahaan. Meski demikian, ayahnya sebetulnya mengharapkan Nurdin menjadi seorang guru, seperti dirinya yang merupakan guru di Kabupaten Bone.
Harapan orang tuanya tersebut didorong oleh status sosial guru di masa itu. Meski kurang sejahtera, namun guru adalah sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat. Dan harapan tinggal harapan. Setelah lulus dari IKIP Makassar pada 1982, nyatanya Nurdin memilih terjun ke dunia koperasi.
“Untuk 'menghibur' sang ayah, Nurdin sempat mengajar mata kuliah manajemen koperasi di STIE AMKOP. Tetapi pekerjaan sebagai dosen hanya dilakukan sebentar,” tulis Husni Rasyad dalam biografi Nurdin Halid yang berjudul, H.A.M Nurdin Halid Di Timur Matahari: Langkah Besar Anak Guru (2000:20).
Cita-cita Nurdin memang besar, ia ingin menjadi manajer koperasi. Nurdin hanya membaca iklan lowongan kerja untuk posisi manajer koperasi, lain dari itu ia diabaikan.
Pada Oktober 1983, ia mendapatkan lowongan yang mendekati harapannya, yakni Manajer Pusat Pelayanan di Departemen Koperasi. Setelah menempuh tes masuk, ia menempati urutan dua terbaik. Ia pun mulai berdinas di tempat kerjanya di Gowa, meski surat keputusan dari pemerintah telat datang.
Nurdin menikmati pekerjaannya di bidang perkoperasian. Ia banyak mengurusi Koperasi Unit Desa (KUD) yang bertebaran di Gowa. Menggunakan mobil Chevrolet model pick up, Nurdin berkunjung dari KUD ke KUD.
Setelah Departemen Koperasi menghentikan program Pusat Pelayanan Koperasi (PPK) pada 1987, Nurdin dijadikan Kepala Perwakilan Pusat KUD (Puskud) di Kabupaten Sidenreng Rappang. Pada tahun 1991, Nurdin adalah Wakil Direktur Puskud Hasanuddin dengan tugas utamanya menangani Tata Niaga Cengkeh (TNC).
Pengusaha dan Anggota Dewan
Menurut catatan Husni Rasyad dalam H.A.M Nurdin Halid Di Timur Matahari: Langkah Besar Anak Guru (2000:241), Nurdin ternyata telah mempunyai perusahaan kontraktor sejak 1982. Bisnisnya kala itu terbilang serabutan. Tahun 1983, ia bersama beberapa koleganya terlibat pembelian kapal tua yang terdampar di pinggiran dermaga di Makassar. Kapal itu dibeli seharga Rp 80 Juta dan dipreteli untuk dijual sebagai besi tua. Bisnisnya yang lain adalah pakan ternak dan cengkeh.
Langkah besar perusahaan kontraktornya terjadi pada 1989, ketika dipercaya memasok bahan baku senilai Rp 5 Milyar untuk pembangunan Bandara Sepinggan di Balikpapan. Hingga tahun 2000, Nurdin Halid sudah punya 13 perusahaan yang bergerak dibidang konstruksi, real estate, ekspor impor, dan perdagangan umum.
Selain koperasi dan bisnis, ia juga pernah aktif di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Setelah itu ia masuk Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) yang berafiliasi dengan Golongan Karya (Golkar). Tahun 1994, ia menjadi Ketua DPD AMPI Sulawesi Selatan.
Selanjutnya Nurdin aktif di Golkar Sulawesi Selatan. Pada Pemilu 1997, ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan duduk di Komisi V.
“Saya bukan politisi, tapi praktisi koperasi,” kata Nurdin mencoba merendah seperti dikutip Husni Rasyad (2000:246).
Sepakbola dan Goro
Selain di DPR, Nurdin juga aktif di bidang olahraga. Ia pernah jadi pemain dan pengurus sepakbola. Sejak 1995 hingga 1998, ia aktif sebagai pengurus Persatuan Sepakbola Makassar (PSM). Dan pencapaiannya yang paling tinggi sekaligus paling kontroversial di sepakbola adalah saat menjadi Ketua Umum PSSI dari tahun 2003 sampai diberhentikan pada 1 April 2011, tepat hari ini 11 tahun lalu.
Ketika menjadi orang nomor satu di sepakbola Indonesia, ia sempat tersandung beberapa kasus, di antaranya penyelundupan gula impor, korupsi distribusi minyak goreng, dan pelanggaran kepabeanan impor beras dari Vietnam.
Dalam kasus impor gula ilegal pada 2004, ia sempat ditahan meski akhirnya divonis bebas. Sedangkan dalam kasus pelanggaran kepabeanan impor beras dari Vietnam, Nurdin divonis penjara 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Agustus 2005. Dan kasus korupsi distribusi minyak goreng Badan Urusan Logistik (Bulog) senilai Rp 169 miliar lebih, ia divonis 2 tahun penjara pada 2007. Meski sejumlah kasus membelitnya, namun Nurdin tetap duduk manis di posisinya sebagai Ketua Umum PSSI. Hal inilah yang pernah menyulut kemarahan para pencinta sepakbola Indonesia.
Kesibukan Nurdin yang lain adalah sebagai Direktur PT Goro Batara Sakti yang mengelola perkulakan Goro milik Tommy Soeharto. Pada 1998, seperti dilaporkan Tempo (27/10/1998), Nurdin diperkarakan terkait pembelian tanah, gudang, dan pembangunan pusat perkulakan Goro di Makassar.
Nurdin juga dituduh telah menggunakan Simpanan Khusus Wajib Petani (SWKP) senilai Rp 60 Milyar pada Puskud yang dipimpinnya. Dana tersebut dijadikan agunan kredit sebesar Rp 48 Mliyar yang dikucurkan oleh Bank Umum Koperasi Indonesia, Bank Danamon, Bank Umum Nasional, dan Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) demi kepentingan Goro Makassar.
Tahun 2018, Nurdin Halid mengadu nasib dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Selatan. Ia berpasangan dengan Azis Qohhar Mudzakkar—putra dari tokoh DI/TII Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar. Pasangan ini gagal memenangkan persaingan.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 18 November 2019. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Irfan Teguh Pribadi