tirto.id - Warsa 1942, Jepang masuk ke Indonesia. Berbagai aturan diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan logistik Jepang di masa Perang Dunia II, termasuk politik beras. Dalam pelaksanaannya, mereka menggunakan tangan para pejabat lokal untuk memungut beras dari para petani.
Seturut Sagimun M. D. dalam Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme Jepang (1985), aturan tersebut akhirnya menyulut perlawanan rakyat Indonesia. Sebagai contoh, terjadi di Desa Unra, kecamatan Awangpone, Distrik Jaling, Kabupaten Bone, pada 1943.
Perlawanan berawal ketika Kepala Distrik Jaling, Andi Mannuhung, bersama para pengawalnya mendatangi rumah seorang petani tua bernama Ibbana di Desa Unra pada 10 September 1943.
Ia hendak menagih beras dari Ibbana. Namun, Ibbana hanya menyodorkan tiga bakul kecil beras kepadanya. Mannuhung lantas menyuruh para pengawalnya untuk menaiki bungbungan (loteng) untuk mencari beras lainnya. Setelah menaiki dan membongkar bungbungan, mereka mendapati padi-padi yang belum ditumbuk dan melemparkannya ke tanah.
Ibbana berteriak histeris dan bergegas melaporkan kejadian itu kepada kerabatnya yang bernama Ippangga, yang langsung mendatangi tempat kejadian.
Setibanya di rumah Ibbana, Ippangga yang tersulut emosi mencoba menyerang Andi Mannuhung. Nahas, Ippangga tidak berdaya, ia terkena pukulan pedang Andi Dambu, pengawal Andi Mannuhung.
Kabar peristiwa itu segera menyebar. Warga Desa Unra kemudian mendatangi rumah Ibbana. Bagi mereka yang mayoritas berprofesi sebagai petani, aksi pelemparan padi adalah sebuah penghinaan, terlebih saat itu sedang masa paceklik. Emosi mereka tak terbendung dan segera mengejar Andi Mannuhung beserta para pengawalnya.
Namun, upaya pengejaran berhenti setelah Haji Temmale (sekretaris Desa Unra) yang dihormati warga, hadir di tempat kejadian. Untuk menghindari pertikaian yang berpotensi menimbulkan korban jiwa, ia mencoba meredam emosi warga.
"Andi Mannuhung [akhirnya] dapat meninggalkan tempat kejadian tanpa menimbulkan korban jiwa," tulis Syamsu A. Kamaruddin dalam "Pemberontakan Petani Unra 1943 (Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Sulawesi Selatan pada Masa Pendudukan Jepang)".
Malam hari setelah kejadian, warga yang mendapat nasihat dari Guru Mante (pemuka agama setempat), membentuk penjagaan di perbatasan Desa Unra sebagai langkah antisipasi guna mencegah kedatangan kembali Andi Mannuhung beserta para pengawalnya.
Warga khawatir para pelaku menaruh dendam karena merasa dipermalukan. Namun, hingga terbit matahari, mereka tak kunjung menampakkan diri.
Seturut Bustan Buhari, dkk dalam "Perlawanan Rakyat Unra Terhadap Jepang di Kerajaan Bone Sulawesi Selatan", sebenarnya Andi Mannuhung dan para pengawalnya berniat kembali ke Desa Unra untuk menangkap dan menyeret penduduk dengan tali lalu dihadapkan kepada Kempetai. Namun, niat tersebut urung dilakukan setelah mendapat nasihat dari Haji Temmale.
Pada 21 September 1943, di bawah arahan Guru Mante, warga bergerak menuju rumah Kepala Desa Unra, Andi Satinja, yang merupakan anak Andi Mannuhung. Mereka melayangkan protes atas peristiwa yang terjadi di rumah Ibbana.
Suasana menjadi ricuh setelah protes tidak mendapat tanggapan. Warga selanjutnya mencoba merangsek ke dalam rumah kepala desa untuk mencari dan menangkap Andi Dambu yang melakukan pemukulan kepada Ipangga.
Haji Temmale yang saat itu tengah berada di rumah kepala desa, keluar dari balik pintu untuk meredam emosi massa. Ia mengatakan bahwa tindakan aparat desa yang melakukan pemaksaan penyetoran padi terhadap warga kepada Pemerintah Jepang akan segera diatasi.
Ia kemudian berkata keras kepada saudaranya, Tipu, yang turut dalam aksi protes.
“Sadarlah, kamu itu adalah menantu saya, dan juga keponakanku. Kalau ingin membunuh salah seorang dari mereka, lebih baik kau membunuh saya,” ujarnya.
Haji Temmale melakukan hal itu agar tidak terjadi konflik yang berlanjut di Desa Unra. Ia yakin peristiwa yang terjadi di rumah Ibbana dapat diselesaikan dengan cara musyawarah agar tidak menimbulkan korban jiwa.
Setelah itu, warga meninggalkan rumah kepala desa. Atas sikap dan pandangannya, Haji Temmale dicap sebagai orang yang melindungi aparat yang berlaku kejam terhadap warga.
Perlawanan Rakyat
Esoknya, emosi warga, khususnya Guru Mante tak kunjung reda. Ia kembali memobilisasi warga untuk tetap melawan atas kesewenangan para pejabat lokal kaki tangan militer Jepang.
Ia juga menantang Andi Satinja dan Andi Mannuhung untuk menemuinya di Alun-alun Desa Unra, Abbolang‘Nge, untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dalam peristiwa yang menimbulkan kericuhan itu.
Seturut Muhammad Abduh, dkk dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (1985), Haji Temmale bergegas menuju Kecamatan Watampone, ibu kota Kabupaten Bone, untuk melaporkan situasi yang terjadi di Desa Unra. Tujuannya untuk mencegah terjadinya konflik yang besar, terlebih jika Pemerintah Jepang turun tangan.
Namun, Arung Ponceng Andi Abdullah, anggota Hadat Tujuh--lembaga pembantu Raja Bone yang memimpin Kabupaten Bone pada masa pendudukan Jepang--yang mengurusi kepolisian dan pemerintahan, keliru dalam menanggapi laporan dari Haji Temmale. Ia beranggapan bahwa rakyat Unra akan melakukan pemberontakan kepada pemerintah.
Mengutip Mahardika dan Ramadhan dalam "Politik Beras dan Gerakan Sosial: Resistensi Petani Unra Sulawesi Selatan Masa Kependudukan Jepang 1943", bersama para pejabat dan satu regu kepolisian yang dilengkapi senjata api, Arung Ponceng Andi Abdullah bergegas menuju Desa Unra.
Setelah tiba pada 23 September 1943, mereka segera melakukan pemeriksaan kepada warga untuk menggali informasi: sejauh mana kesiapan warga dan mencari orang-orang yang menjadi aktor utama dalam gerakan perlawanan tersebut. Namun, tidak ada informasi jelas, sebab sebagian besar penduduk telah pergi meninggalkan desa.
Tak lama kemudian, terdengar kabar bahwa warga Unra berada di Alun-alun Abbolang ‘Nge. Rombongan Arung Ponceng Andi Abdullah pun segera mendatanginya. Andi Ahmad Baso yang mendampingi Arung Ponceng Andi Abdullah, segera menemui warga dan mencoba menenangkannya dengan membacakan ikrar adat persahabatan masa lampau antara Unra dengan Watampone.
Sejenak emosi rakyat surut, bahkan mereka meletakkan senjatanya yang terdiri dari tombak, badik, dan parang. Di tengah situasi yang mulai tenang, tiba-tiba muncul Andi Mannuhung dan pengawalnya, Andi Dambu, beserta Kepala Desa Unra, Andi Satinja.
Merasa di atas angin dengan keberadaan rombongan polisi, Andi Mannuhung mencari Guru Mante yang menantangnya. Namun, ia malah menendang Ikepo, warga Unra yang kakinya pincang. Tindakan tersebut sontak menyulut kembali emosi warga, mereka serentak mengambil kembali senjata yang sebelumnya telah diletakkan.
Bentrok fisik pun tidak terhindarkan. Warga serentak menyerang para pejabat dan rombongan polisi. Andi Mannuhung, Andi Satinja, dan Andi Dambu tewas. Setelah itu, seorang warga bernama Haji Kullase, menyarankan rakyat untuk segera menyingkir ke pinggiran desa. Namun, warga memilih bertahan dan bersiap menghadapi segala kemungkinan terburuk.
Ditumpas Jepang
Tak lama kemudian, kabar peristiwa itu sampai kepada Raja Bone, Arumpone Andi Mappanyukki. Ia segera mengirim aparat kerajaan yang dikawal pasukan Jepang menuju Desa Unra.
Di sisi lain, Jepang menganggap tewasnya para pejabat lokal di Alun-alun Abbolang 'Nge merupakan bentuk perlawanan rakyat terhadap mereka.
Rombongan tiba di Desa Unra pada 24 September 1943. Pasukan Jepang melepaskan tembakan yang menyebabkan dua penduduk terluka. Seketika rakyat tersulut emosinya dan maju melakukan perlawanan. Korban jiwa berjatuhan, termasuk Guru Mante, yang berdampak pada turunnya mental perlawanan rakyat.
Seiring berhentinya perlawanan, Jepang melakukan penangkapan terhadap 300 rakyat Unra, termasuk wanita dan anak-anak.
“Mereka yang ditangkap terdiri dari Haji Temmale, yaitu Sekretaris Desa Unra, dengan tuduhan tidak mampu mengatasi atau mencegah terjadinya pemberontakan,” pungkas Syamsu A. Kamaruddin (2012).
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi