Menuju konten utama

Polemik Anies vs Ahok & Pentingnya Transparansi KUA-PPAS 2020

Anies Baswedan menilai polemik KUA-PPAS 2020 muncul karena kesalahan pada sistem e-budgeting yang dibuat di era Ahok.

Polemik Anies vs Ahok & Pentingnya Transparansi KUA-PPAS 2020
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan sambutan pada pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta periode 2019-2024 di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (26/8/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

tirto.id - Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) untuk APBD DKI 2020 yang beredar masif beberapa hari terakhir menjadi polemik dan berbuntut panjang. Hal ini dinilai karena Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak transparan sejak awal.

Polemik ini berawal ketika anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana, mengaku menemukan banyak anggaran yang aneh dalam KUA-PPAS 2020. Salah satunya mengenai anggaran lem Aibon di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat sebesar Rp82 miliar.

Selain anggaran lem Aibon itu, kata dia, Fraksi PSI juga menemukan usulan anggaran pengadaan bolpoin sebesar Rp124 miliar di Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Timur, 7.313 unit komputer dengan harga Rp121 miliar di Dinas Pendidikan, dan beberapa unit server dan storage senilai Rp66 miliar di Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik.

Semua anggaran itu dibongkar lewat akun Twitter pribadi William dan konferensi pers di ruangan Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta.

William mengaku sudah meminta draf resmi KUA-PPAS 2020 melalui surat resmi ke Bappeda DKI sekitar Agustus, atau sebelum delapan kader PSI dilantik sebagai anggota DPRD DKI. Namun, kata dia, permintaan itu tak dipenuhi Bappeda DKI Jakarta.

“Sampai sekarang yang level komponen belum dibuka oleh Bappeda," kata William saat ditemui di ruangan fraksi, DPRD DKI, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).

Ia mengklaim dokumen KUA-PPAS yang bernilai sebesar Rp89 triliun itu baru diterima PSI pada hari H rapat komisi di DPRD.

"Kami anggota DPRD diekspektasikan untuk mengkritisi, membahas anggaran secara komprehensif, tapi datanya baru dikasih hari H. Apalagi sampai Rp89 triliun APBD-nya. Bagaimana kami bisa membahas APBD Rp89 T, tapi datanya baru datang hari H. Jadi ekspektasi pembahasan apa yang eksekutif mau?" kata dia mempertanyakan.

Namun, Anies justru menyalahkan sistem yang digunakan Pemprov DKI saat ini dalam merancang KUA-PPAS 2020.

Ia menilai terdapat kesalahan pada sistem e-budgeting yang tidak bisa memverifikasi dan melakukan pengecekan secara otomatis, sehingga harus tetap diperiksa secara manual.

“Ada problem sistem, sistemnya digital tapi tidak smart. Kalau smart system, dia bisa melakukan pengecekan, dia bisa melakukan verifikasi, dia bisa menguji. Nah, ini sistemnya digital, tapi sistemnya masih manual," kata Anies saat ditemui di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu kemarin.

Anies menilai persoalan tersebut hampir muncul setiap tahun.

Dia menilai kemunculan persoalan itu juga karena kesalahan pada sistem e-budgeting buatan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang masih mengandalkan manusia saat pengecekan. Hal tersebut sudah terjadi selama bertahun-tahun.

Oleh karena itu, lanjut Anies, sistem e-budgeting yang dibutuhkan itu harus bisa melakukan pengecekan dan verifikasi secara otomatis, sehingga jika terdapat anggaran-anggaran yang tidak logis dan tidak proporsional dapat ditolak secara otomatis juga.

Internal Pemprov DKI Beda Suara

Internal Pemprov DKI Jakarta pun beda pendapat mengenai ketidakterbukaan akses KUA-PPAS 2020 di laman resmi Bappeda DKI.

Sekda DKI Jakarta Saefulloh, misalnya, pada 11 Oktober lalu sempat mengklaim dalam proses perancangan KUA-PPAS 2020 pihaknya telah melibatkan berbagai pihak, mulai dari masyarakat hingga akademisi.

“Saya rasa dari sejak awal ini berproses, tidak ada yang kami tutup-tutupi," kata Saefullah saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, 11 Oktober 2019.

Saefullah mengklaim pihaknya telah menyebarkan draf KUA-PPAS 2020 lewat laman resmi bappeda.jakarta.go.id. Ia mengatakan publik bisa membuka dan melihat rancangan anggaran ini kapan pun. Dokumen itu bahkan bisa dengan bebas diunduh masyarakat.

"Seperti yang tadi saya sampaikan tentang keterbukaan, transparansi, ini sudah kami upload di portal bappeda.jakarta.go.id. Silakan dibuka dari sekarang, itu sudah kami upload. Jadi tidak ada proses yang ditutup-tutupi," kata dia.

Namun, dari penelusuran Tirto di laman resmi bappeda.jakarta.go.id, tak ditemukan dokumen KUA-PPAS 2020. Dokumen yang tercantum, hingga Jumat (11/10/2019) pukul 17.48 WIB hanya Rancangan Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2020 versi final.

Pembahasan KUA-PPAS 2020 diklaim Saefullah sudah diserahkan ke DPRD DKI Jakarta. Dokumen itu diserahkan ke DPRD untuk dipelajari lebih lanjut sebelum dibahas pada akhir Oktober atau awal November.

"Sudah kami antarkan ke sana [DPRD], semua dikompilasi di situ dan kami sudah kirimkan dalam bentuk software maupun hardware-nya," kata dia.

Akan tetapi, ucapan Saefulloh itu justru bertolak belakang dengan pernyataan Kepala Bappeda DKI Jakarta Sri Mahendra yang melakukan konferensi pers setelah ribut-ribut polemik transparansi KUA-PPAS 2020.

Ia mengaku pihaknya tak pernah mengunggah dokumen KUA-PPAS 2020 ke laman resminya.

"Pertama saya sampaikan, kami tidak pernah meng-upload. Kalau Anda atau ada yang bisa menemukan alamatnya itu, ya saya juga enggak tahu, karena itu masalah ada barangkali ada sistem yang bocor," kata Mahendra di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).

Sri Mahendra juga mengaku tidak mengetahui perihal terhapusnya dokumen KUA-PPAS beberapa jam setelah ter-upload di laman apbd.jakarta.go.id.

Menurut dia, dokumen KUA-PPAS baru akan ditampilkan secara jelas setelah disetujui oleh seluruh anggota DPRD DKI Jakarta dalam rapat paripurna.

"Karena yang kami publikasikan adalah hal-hal yang sudah disepakati dan disetujui bersama antara DPRD dengan pemerintah," kata dia.

Hal serupa dikatakan Anies di hari yang sama Mahendra melakukan konferensi pers. Ia mengatakan bahwa dokumen KUA-PPAS 2020 akan diunggah setelah pembahasan bersama DPRD DKI Jakarta.

"Upload-nya itu bersamaan dengan sesudah pembahasan dengan DPRD," kata dia.

Ahok-Djarot Membantah Sistem Buruk

Ahok, gubernur DKI sebelum Anies bahkan ikut berkomentar soal tudingan sistem e-budgeting yangdibuat di era kepemimpinan dia dan Djarot Syaiful Hidayat lemah dan memiliki kesalahan.

"Sistem itu berjalan baik jika yang input datanya tidak ada niat mark-up apalagi maling. Untuk mencegah korupsi, hanya ada satu kata, yaitu transparansi sistem yang ada," kata Ahok seperti dikutip dari Antara, Kamis (31/10/2019).

Ahok justru menilai dengan sistem itulah yang membikin perencanaan anggaran DKI Jakarta transparan.

"Yang pasti karena e-budgeting itu, semua orang yang mau tahu pengeluaran uang APBD DKI bisa mendapatkan datanya, mulai dari pembelian pulpen, aibon, hingga UPS," ujar dia.

Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Syaiful Hidayat, malah lebih frontol. Ia menilai bukan sistemnya yang salah, namun memang pejabatnya yang tidak terbuka dan tidak transparan.

Ia mengatakan tidak terbukanya Pemprov DKI pada pembahasan APBD justru berakibat makin banyak penyusupan anggaran yang tidak wajar.

Djarot pun mengimbau Pemprov DKI meningkatkan penerapan transparansi anggaran sehingga masyarakat juga bisa mengawasi anggaran-anggaran di APBD DKI Jakarta.

”Ya harus [terbuka]. Sebaiknya dibuka saja. Kalaupun ada masukan-masukan, ya terima saja. Tapi untuk warga enggak usah gaduh, enggak usah nyinyir, enggak usah baper. Ini proses baik tanpa harus hakimi mana salah, mana benar,” kata dia.

Anies Harus Transparan untuk KUA-PPAS

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, menilai seharusnya Anies lebih transparan terhadap dokumen-dokumen anggaran macam itu. Pasalnya, publik berhak mengetahui proses dan substansi penyusunan KUA-PPAS 2020.

Menurut Misbah, FITRA pernah melakukan permohonan pembukaan dokumen KUA-PPAS 2020 ke Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistika, tetapi ditolak.

"Kalau dokumen KUA-PPAS dan RAPBD dipublikasikan setelah diketok, ya manfaatnya sangat kecil. Karena kualitas dokumen tersebut akan terjaga dengan baik kalau publik ikut terlibat mengawasi, mengkritisi, dan memberi masukan," kata Misbah saat dihubungi reporter Tirto, Kamis malam.

Risiko terbesar dari tidak dipublikasikannya KUA-PPAS 2020 seperti saat ini, kata Misbah, akan banyak kasus-kasus seperti anggaran lem Aibon dan bolpoin yang bernilai besar akan tetap lolos.

"Itu potensi korupsi di ranah perencanaan anggaran," kata dia.

Baca juga artikel terkait APBD DKI 2020 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz