tirto.id - Pola keruangan adalah bentuk penyusunan rencana penggunaan lahan di suatu wilayah. Biasanya penyusunan itu mempertimbangkan kondisi lahan untuk pemanfaatan tertentu.
Pola keruangan dapat teridentifikasi dari struktur ruang suatu wilayah. Struktur ruang meliputi susunan pemukiman, lahan pertanian, ruang publik, serta fasilitas yang ada.
Setiap wilayah memiliki ciri dan karakteristik pola keruangan tersendiri. Wilayah perdesaan maupun perkotaan memperlihatkan penggunaan lahan sebagai tujuan tertentu yang berbeda dari kota.
Dari struktur ruang desa dan kota, kita dapat mengetahui bagaimana pola penggunaan lahan yang berbeda antara desa dengan kota.
A. Struktur Ruang Desa
Sebagian besar masyarakat desa lazimnya memiliki keinginan untuk berkumpul dan menjalin interaksi sosial yang intens. Oleh karena itu, struktur ruang desa terbentuk untuk memenuhi tujuan tersebut.
Lahan pedesaan umumnya digunakan untuk kegiatan sosial masyarakat, seperti tempat tinggal, tempat ibadah, sekolah, dan tempat berkumpul warga. Jarang ditemui tempat tinggal masyarakat desa yang terletak di tengah kebun atau sawah, terkucil dari penduduk-penduduk lain.
Kegiatan ekonomi seperti bertani dan berdagang biasanya dilaksanakan di luar permukiman. Ada tempat sendiri, baik di kebun, sawah, dan pasar.
Namun, faktor geografis yang berbeda membuat pola keruangan tiap wilayah tidak bisa diseragamkan. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya perkebunan yang menyatu dengan permukiman pada daerah tertentu.
Penggunaan Lahan untuk Perkampungan
Penggunaan lahan untuk perkampungan pada daerah tertentu memperlihatkan bentuk berbeda dibandingkan dengan daerah perbukitan atau pegunungan.
Merujuk Geografi (2009) yang ditulis oleh Eko Titis Prasongko dan Rudi Hendrawansyah, secara umum pola persebaran perkampungan di desa terdiri atas 4 jenis, yaitu:
1. Bentuk Perkampungan Linier
Bentuk perkampungan linier merupakan bentuk perkampungan yang memanjang, mengikuti jalan raya, alur sungai, dan garis pantai.
Pola perkampungan seperti ini banyak ditemui di daerah dataran rendah. Pola ini digunakan masyarakat dengan maksud untuk mendekati prasarana transportasi (jalan dan sungai).
Selain itu, pola pemukiman seperti ini dekat dengan tempat bekerja, terutama penduduk desa yang bekerja sebagai nelayan di kawasan pesisir.
2. Perkampungan Memusat
Bentuk perkampungan memusat merupakan bentuk perkampungan yang mengelompok (agglomerated rural settlement).
Pola ini banyak ditemui di daerah pegunungan yang umumnya dihuni oleh penduduk yang berasal dari satu keturunan.
Dengan demikian, keluarga atau kerabat tinggal mengelompok dalam satu lingkup yang tidak berjauhan.
Jumlah rumah yang kurang dari 40 rumah yang disebut dusun (hamlet). Sementara itu, jumlah yang lebih dari 40 rumah hingga ratusan dinamakan kampung (village).
3. Perkampungan Terpencar
Bentuk perkampungan terpencar merupakan bentuk perkampungan yang menyendiri (disseminated rural settlement).
Biasanya, perkampungan seperti ini hanya merupakan farmstead, yaitu sebuah rumah petani yang terpencil, tetapi lengkap dengan gudang alat mesin, penggilingan gandum, lumbung, kandang ternak, dan rumah petani.
Perkampungan terpencar di Indonesia jarang ditemui. Pola seperti ini umumnya terdapat di negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan sebagainya.
4. Perkampungan yang Mengelilingi Fasilitas Tertentu
Bentuk perkampungan seperti ini umumnya ditemui di daerah dataran rendah, yang di dalamnya banyak terdapat fasilitas-fasilitas umum.
Fasilitas publik itu kerap dimanfaatkan penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, contohnya mata air, danau, waduk, atau fasilitas lain.
Penggunaan Lahan untuk Kegiatan Ekonomi
Penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi pedesaan erat dengan mata pencaharian masyarakatnya.
Masyarakat desa umumnya memiliki kecenderungan bercorak agraris. Pemanfaatan lahannya tak jauh dari kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, dan perdagangan.
B. Struktur Ruang Kota
Kota pada hakikatnya lahir dan berkembang dari suatu wilayah pedesaan. Ketika suatu desa kian berkembang dan dinamis perubahannya, lambat laun ia beralih menjadi sebuah kota.
Perkembangan wilayah itu diikuti berbagai fasilitas sosial seperti pasar, pertokoan, rumah sakit, perkantoran, sekolah, tempat hiburan, jalan-jalan raya, terminal, industri, dan sebagainya.
Seiring dengan perkembangan fasilitas yang ada di perkotaan, masyarakat cenderung meninggalkan kultur agraris.
Lahan yang tadinya difungsikan untuk kegiatan pertanian beralih menjadi macam-macam bangunan.
Ketampakan penggunaan ruang perkotaan adalah gambaran kebutuhan warga kota terhadap berbagai jenis fasilitas kehidupan.
Karena kota merupakan pusat kegiatan penduduk, maka penggunaan tanahnya jauh lebih beragam dibandingkan dengan di desa.
Struktur ruang wilayah perkotaan, secara umum, memperlihatkan bentuk-bentuk tertentu. Setidaknya, ada 3 teori yang menjelaskan struktur ruang kota seperti dikutip dari Memahami Geografi (2009) yang ditulis Bagja Waluya
Tiga teori terkait model struktur ruang kota tersebut adalah teori memusat (konsentris), sektoral, dan inti berganda (multiple nuclei).
1. Teori Konsentris
Teori ini dicetuskan oleh Ernest W. Burgess (1929) yang meneliti struktur kota Chicago.
Teori ini menjelaskan bahwa pusat kota terdapat bangunan-bangunan vital seperti bank, museum, pusat pemerintahan, dan lain-lain.
Daerah yang memuat bangunan-bangunan vital tersebut dikenal sebagai zona inti.
Sementara itu, di luar zona inti terdapat zona transisi yang biasa digunakan untuk tempat industri, apartemen, hotel, dan fasilitas penunjang lainnya.
Tidak jarang, di zona ini sering terdapat daerah slum. Daerah slum ialah tempat pemukiman penduduk yang kumuh.
Di luar zona transisi, ada zona pemukiman kelas proletar. Pemukimannya sedikit lebih baik ketimbang daerah slum.
Biasanya, zona ini dihuni oleh para pekerja kelas bawah. Ernest W. Burgess menyebut zona ini sebagai workingmen’s homes.
Lebih luar lagi, ada zona pemukiman kelas menengah (residential zone). Zona ini adalah kompleks karyawan kelas menengah.
Sementera itu, di bagian paling luar dari pola konsentris ada commuter zone. Zona ini biasa disebut sebagai daerah hinterland atau batas desa-kota.
Lazimnya, daerah ini adalah tempat orang-orang yang bekerja di kota namun bermukim dan mencari ketenangan di desa.
2. Teori Sektoral
Menurut teori ini, struktur ruang kota cenderung berkembang berdasarkan sektor-sektor tertentu daripada berdasarkan lingkaran-lingkaran konsentrik.
Sebagai misal, suatu wilayah yang memiliki potensi industri garmen. Selanjutnya, perkembangan kota pada kawasan tersebut akan mengikuti sektor ekonomi garmen yang paling memungkinkan untuk berkembang.
Teori ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (1930) yang menyatakan bahwa faktor geografi, seperti bentuk lahan dan pengembangan jalan adalah sarana komunikasi dan transportasi. Keduanya dapat menjadi sektor yang mendasari perkembangan kota.
3. Teori Inti Berganda
Teori lainnya mengenai struktur ruang kota ialah Teori Inti Berganda (multiple nuclei) dari C.D Harris dan E.L. Ullman (1945).
Menurut dua ahli ini, struktur ruang kota tidak sesederhana dalam teori konsentris karena sebenarnya tidak ada urutan-urutan yang teratur.
Dalam suatu kota, terdapat tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai inti kota dan pusat pertumbuhan baru. Keadaan tersebut menyebabkan hadirnya beberapa inti dalam suatu wilayah perkotaan.
Di luar teori-teori tersebut, masih banyak teori lain yang mendeskripsikan tentang struktur ruang kota.
Teori-teori ini merupakan usaha pendekatan akademis terhadap proses dan pola perkembangan daerah perkotaan.
Penulis: Auvry Abeyasa
Editor: Abdul Hadi