tirto.id - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) merilis keterangan tentang hasil pengamatan lembaga itu terhadap aktivitas terbaru Gunung Merapi.
Gunung api di Daerah Istimewa Yogyakarta itu berstatus Waspada sejak 21 Mei 2018. Merapi juga mengeluarkan letusan freatik sebanyak 6 kali dalam tiga hari belakangan, yakni 21-23 Mei 2018.
Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG Agus Budi Santoso menilai perilaku Gunung Merapi saat ini mirip pascaerupsi 1872 dan 1930. Sebab, Merapi mengeluarkan banyak letusan freatik dalam waktu berdekatan.
"Kondisi saat ini mirip dengan pascaletusan besar 1872 dan letusan besar sekitar 1930. Terakhir, Gunung Merapi mengalami letusan besar pada 2010," kata Agus di Yogyakarta, Rabu (23/5/2018) seperti dikutip Antara.
Menurut Agus, letusan besar pada 2010 menyebabkan terbentuknya kawah cukup dalam di puncak Merapi sehingga kemungkinan sumbat lava tergolong lemah. Hal ini terlihat dari morfologi puncak yang tidak lagi runcing.
Kondisi tersebut, menurut Agus, memungkinkan adanya pelepasan gas yang kemudian muncul sebagai letusan freatik seperti yang terjadi dalam beberapa hari terakhir.
Letusan freatik memang tidak memunculkan risiko bahaya setara erupsi vulkanik. Tapi, letusan freatik juga bisa menjadi pertanda akan ada erupsi vulkanik. Meskipun demikian, BPPTKG belum memastikan ada pergerakan magma baru di Gunung Merapi meski letusan freatik terus bermunculan.
Agus menambahkan BPPTKG juga masih kesulitan membandingkan data parameter pascaerupsi besar 1872 dengan 2010. Sebab data tentang erupsi pada 1,5 abad lalu terlalu minim.
Menurut Agus, aktivitas Merapi di tahun 2010 punya karakter khas, yakni mengalami erupsi vulkanik tanpa didahului oleh letusan freatik. Saat itu, indikasi erupsi vulkanik akan terjadi terlihat dari kenaikan intensitas gempa vulkano-tektonik (VT) hingga puluhan kali per hari saat Merapi berstatus waspada.
Sedangkan saat ini, menurut Agus, intensitas gempa VT tidak terlalu banyak. Bahkan sepanjang Rabu, 23 Mei 2018, tercatat cuma ada satu kali gempa VT.
"Jadi, belum cukup untuk bisa menyimpulkan adanya pergerakan magma," kata Agus.
Agus meminta masyarakat tetap tenang meski harus selalu waspada dan mematuhi rekomendasi BPPTKG, yakni tidak melakukan aktivitas di radius tiga kilometer dari puncak Gunung Merapi.
Pada 23 Mei 2018, Merapi tercatat mengeluarkan letusan freatik 2 kali, yakni pukul 03.31 WIB dan pukul 13.49 WIB. Letusan freatik ini mengulangi 4 kejadian serupa pada 21 dan 22 Mei 2018.
Berdasar siaran pers BPPTKG, letusan freatik lumayan besar di Gunung Merapi, pada 23 Mei 2018, adalah yang terjadi pada pukul 03.31 WIB. Letusan freatik ini berlangsung selama 4 menit dengan amplitude maksimum 55 mm. Letusan itu menimbulkan kolom abu setinggi 2.000 meter dari Puncak Gunung Merapi. Kolom abu condong ke arah Baratdaya dengan jangkauan sampai 25 kilometer atau sampai di wilayah sekitar Candi Borobudur.
Saat letusan freatik itu terjadi, seismograf menunjukkan adanya rekaman gempa dengan durasi ±4 menit. Dampak letusan ini ialah hujan abu pada empat desa di kawasan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Empat Desa itu ialah Keningar, Sumber, Dukun dan Kalibening. Area di Magelang yang mengalami hujan abu itu termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) II dan III di sekitar Merapi.
Sedangkan letusan freatik pada pukul 13.49 WIB, 23 Mei 2018, berlangsung 2 menit. Rekaman seismik mencatat amplitude maksimum letusan 70 mm. Suara gemuruh akibat letusan ini terdengar dari Pos Pengamatan Gunung Merapi Babadan. Tapi, kolom abu letusan ini tidak teramati karena adanya kabut yang menghalangi pantauan visual.
Dampak dari letusan freatik ialah hujan abu tipis pada pukul 14.45 WIB di kawasan sekitar Pos Pengamatan Gunung Merapi di Ngepos, Srumbung, Magelang.
Hasil pengamatan BPPTKG pada pukul 00.00-18.00 WIB, 23 Mei 2018, mencatat ada gempa Vulkano-Tektonik (VT) sebanyak satu kali, gempa tektonik 2 kali dan gempa multiphase 3 kali.
Editor: Addi M Idhom