tirto.id - Hari ini, Selasa (25/4/2017), Pengadilan Negeri Jakarta Utara kembali menggelar sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.
Sidang ke-21 ini mengagendakan pembacaan pleidoi atau pembelaan atas tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang yang digelar pada Kamis (20/4/2017) lalu. Sesuai agenda, kuasa hukum Ahok rencananya akan membacakan dua pledoi sekaligus, yaitu pleidoi dari tim penasihat hukum dan pledoi khusus dari Ahok.
Anggota tim kuasa hukum Ahok, I Wayan Sidarta mengatakan pleidoi yang akan dibacakan pada sidang hari ini merupakan pleidoi versi keempat. Versi ini merupakan hasil penyempurnaan setelah pembacaan tuntutan oleh JPU dalam sidang yang berlangsung pada Kamis (20/4/2017) lalu.
Menurut I Wayan, isi pleidoi Ahok akan fokus pada proses persidangan. Pria kelahiran Belitung Timur itu akan mencurahkan semua yang ia rasakan dan alami. Sementara isi pledoi yang akan dibacakan oleh penasehat hukum salah satunya akan menyinggung Pasal 184 KUHP mengenai alat bukti, serta sambutan Ahok sebagai bagian dari Pasal 31 UU Pemda. Ia meyakini, pleidoi tersebut akan membuat pengadilan memvonis bebas Gubernur DKI Jakarta tersebut.
“Itu usaha kita. Kalau bicara optimis, optimis,” kata I Wayan, pada Senin (24/4/2017).
Seperti diketahui, dalam sidang yang digelar Pengadilan Jakarta Utara pada Kamis (20/4/2017) lalu, JPU menuntut Ahok dengan hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Saat membacakan tuntutan terhadap Ahok, Ketua Tim JPU, Ali Mukartono menyatakan perbuatan Ahok terbukti memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dalam Pasal 156 KUHP.
Dari tuntutan yang dibacakan JPU tersebut, terdapat sejumlah fakta menarik yang perlu dicatat, dan bisa dibandingkan dengan beberapa kasus dugaan penistaan agama yang pernah diproses hukum di pengadilan. [Baca ulasan Tirto: Lolosnya Ahok dari Pasal Penodaan Agama.]
Pertama, JPU hanya menuntut Ahok dengan hukuman yang cukup ringan, yaitu 1 tahun penjara dengan 2 tahun masa percobaan. Dengan demikian, apabila Ahok divonis bersalah sesuai tuntutan JPU, maka ia tidak perlu ditahan selama dalam 2 tahun yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana lain yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Kedua, JPU hanya menggunakan Pasal 156 KUHP. Artinya, Ahok sudah terlepas dari jerat Pasal 156 huruf a KUHP yang selama ini selalu dijadikan jaksa untuk menuntut terdakwa kasus penistaan agama.
Dalam sidang tuntutan tersebut, JPU juga mengutarakan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan Ahok. “Pertimbangan memberatkan, perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan masyarakat dan menimbulkan kesalahpahaman masyakarat antar golongan rakyat Indonesia,” kata Ketua Tim JPU, Ali Mukartono.
Sementara hal yang meringankan, terdakwa dinilai mengikuti proses hukum dengan baik, sopan di persidangan, ikut andil dalam membangun Jakarta, dan mengaku telah bersikap lebih humanis.
Selain itu, menurut Jaksa, keresahan masyarakat timbul setelah Buni Yani mengunggah video pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, ketika dia mengatakan bahwa ada pihak yang menggunakan Alquran Surat Al Maidah Ayat 51 untuk membohongi.
Pro dan Kontra Tuntutan Jaksa
Tuntutan JPU tersebut menuai pro dan kontra, baik dari pihak Ahok sebagai terdakwa, maupun dari pelapor kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
Syamsu Hilal, salah seorang pelapor dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok mengaku kecewa atas tuntutan yang dilayangkan JPU. Menurut dia, dari kasus-kasus penodaan agama sebelumnya, tuntutan terhadap Ahok tersebut yang paling mengecewakan.
“Tidak ada penodaan agama dituntut di bawah lima tahun, ini malah satu tahun dengan masa percobaan dua tahun,” kata Syamsu seusai menghadiri sidang Ahok dengan agenda pembacaan tuntutan, pada Kamis Kamis (20/4/2017), seperti dikutip Antara.
Syamsu mengatakan pihaknya sejak awal sudah meragukan tuntutan tersebut, karena JPU mengajukan dakwaan alternatif terhadap Ahok, yaitu dengan Pasal 156 huruf a dan Pasal 156 KUHP.
“Saya harap penuntutan itu dengan satu pasal, yaitu Pasal 156a tetapi jaksa mengajukan dengan dua pasal, Pasal 156a dan Pasal 156, awalnya kami sudah ragu karena bisa saja dituntut dengan Pasal 156,” ujarnya.
Atas kekecewaan tersebut, Syamsu akan melapor ke Komisi Kejaksaan. Menurut dia, sebagai warga negara yang baik akan lakukan langkah hukum selanjutnya. Pihaknya akan ajukan keberatan atau peninjauan kepada Komisi Kejaksaan maupun pada Komisi Yudisial karena hal tersebut merupakan bentuk matinya hukum di Indonesia.
Sebaliknya, tim kuasa hukum Ahok justru berharap lebih, tidak hanya dituntut dengan hukuman ringan melainkan harus bebas. Dalam konteks ini, I Wayan Sidarta bersikukuh bahwa kliennya harus bebas. Sebab, ia menilai, semua alat bukti yang diperiksa selama persidangan tak satupun membuktikan Ahok telah menista agama.
Lima bukti yang Sidarta maksud mengacu pada Pasal 184 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Misalnya, kata I Wayan, semua saksi yang dihadirkan JPU dalam persidangan untuk memberatkan adalah orang-orang yang tidak ada di Kepulauan Seribu saat Ahok menyinggung surat Al-Maidah ayat 51.
Dari sanalah ia menilai bahwa jaksa gagal mengambil keputusan melalui saksi persidangan. Selain itu, I Wayan menganggap saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan memiliki kepentingan, dan karena itu keterangannya tak bisa digunakan.
“Nah, ahli-ahli itu dari mana coba? Dari MUI kan? Punya kepentingan, kan? Abdul Chair ahli pidana dari MUI. Pak Mudzakir, tadinya dicalonkan oleh FPI,” ujarnya.
Perihal alat bukti surat, ia mengatakan bahwa yang dipakai oleh jaksa adalah surat MUI. “Saya mau tanya, otentik atau tidak? Surat Keputusan resmi pejabat berwenang bukan? Pendapat MUI itu nilainya tidak sama dengan akte otentik dan enggak sama dengan UU. Kalau enggak sama kayak undang-undang, enggak mengikat,” ujarnya.
Karena ketiga alat bukti awal telah diragukan, lanjut dia, maka alat bukti keempat, petunjuk, tidak dapat digunakan. Selain itu, lanjut I Wayan, saat memberikan keterangan terdakwa sebagai alat bukti, Ahok telah menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah.
Dari kelima alat bukti tersebut, I Wayan meyakini bahwa kasus penodaan agama yang menyeret Ahok ke pengadilan merupakan rekayasa politik berbungkus hukum.
Karena itu, sidang hari ini yang mengagendakan pembacaan pledoi bertujuan untuk memperoleh putusan hakim yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, ataupun setidak-tidaknya terdakwa mendapat hukuman pidana seringan-ringannya.
Dalam hal ini, baik kubu Ahok maupun JPU berhak untuk memperjuangkan argumentasinya masing-masing melalui persidangan. Misalnya, setelah pembacaan pledoi, jaksa masih berkesempatan untuk menyusun replik atau jawaban atas pembelaan dari terdakwa atau panasihat hukumnya.
Sebaliknya, setelah JPU mengajukan replik di persidangan, maka selanjutnya giliran terdakwa dan atau penasihat hukumnya untuk menanggapi replik dari JPU atau yang lazim disebut sebagai duplik. Namun demikian, semua keputusan tetap ada di tangan majelis hakim.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti