Menuju konten utama

Wayan Sidarta Beberkan Kecacatan Alat Bukti Sidang Ahok

Wayan Sidarta menilai, semua alat bukti yang diperiksa selama persidangan tak satupun membuktikan Ahok telah menista agama.

Wayan Sidarta Beberkan Kecacatan Alat Bukti Sidang Ahok
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama berjalan memasuki ruang sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (7/3). Sidang ke-13 itu beragenda mendengarkan keterangan saksi-saksi yang meringankan terdakwa. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - I Wayan Sidarta, pengacara Basuki Tjahja Purnama (Ahok), bersikukuh bahwa kliennya harus bebas. Sebab, ia menilai, semua alat bukti yang diperiksa selama persidangan tak satupun membuktikan Ahok telah menista agama.

Lima bukti yang Sidarta maksud mengacu pada pasal 184 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pertama, kata Sidarta, adalah saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang. Menurutnya, semua saksi yang memberatkan di persidangan adalah orang-orang yang tidak ada di Kepulauan Seribu saat Ahok menyinggung surat Al-Maidah ayat 51.

Dari sanalah ia menilai bahwa jaksa gagal mengambil keputusan melalui saksi persidangan. "Testimonium de auditu itu tidak bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan. Berarti gagal dalam memberikan alat bukti dari segi saksi," ungkapnya.

Kedua, soal saksi-saksi ahli yang dihadirkan. Ia menuturkan, setidaknya ada syarat-syarat untuk saksi ahli yang terikat dalam KUHAP yakni persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; alasan untuk memberikan keterangan; dan terakhir, latar belakang kehidupan saksi ahli.

Sidarta menganggap saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan memiliki kepentingan dan karena itu keterangannya tak bisa digunakan.

"Nah, ahli-ahli itu dari mana coba? Dari MUI [Majelis Ulama Indonesia], kan? Punya kepentingan, kan? Abdul Chair ahli pidana dari MUI. Pak Mudzakir, tadinya dicalonkan oleh FPI [Front Pembela Islam]," kata dia.

Perihal alat bukti surat, ia mengatakan: "Yang dipakai oleh jaksa kan suratnya MUI. Saya mau tanya, otentik atau tidak? Surat Keputusan resmi pejabat berwenang bukan? Pendapat MUI itu nilainya tidak sama dengan akte otentik dan enggak sama dengan UU. Kalau enggak sama kayak undang-undang, enggak mengikat."

Karena ketiga alat bukti awal telah diragukan, kata dia, maka alat bukti keempat, petunjuk, tidak dapat digunakan.Terakhir, lanjut Sidarta, saat memberikan keterangan terdakwa sebagai alat bukti, Ahok telah menyatakan bahwa dirinya tak bersalah.

Dari kelima alat bukti itulah, Sidarta juga meyakini bahwa kasus penodaan agama yang menyeret Ahok ke pengadilan merupakan rekayasa politik berbungkus hukum. "Ini 99,9 persen kasus politik. Anda suatu saat, akan mengetahui ketika kasus ini dibongkar tuntas," kata dia.

Seperti diketahui, tututan kepada Ahok telah dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Rabu (20/4). Di hadapan majelis hakim, Ketua Tim JPU, Ali Mukartono menuntut Ahok dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.

"Perbuatan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah secara sah, terbukti, dan meyakinkan telah memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dengan pasal alternatif kedua Pasal 156 KUHP," kata Ali.

Ali juga mengatakan bahwa sepanjang pemeriksaan dalam persidangan telah didapat fakta mengenai kesalahan terdakwa dan tidak ditemukan alasan pemaaf dan pembenar atas perbuatan terdakwa.

Sebelumnya, Ahok dikenai dakwaan alternatif, yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156a KUHP disebutkan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Sementara itu, menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto