Menuju konten utama

Pit Hitam, Asisten Sinterklaas Simbol Rasisme & Kolonialisme

Zwarte Piet atau Pit Hitam adalah karakter pembantu Sinterklaas yang dianggap mencerminkan pandangan rasis dan kolonialis.

Pit Hitam, Asisten Sinterklaas Simbol Rasisme & Kolonialisme
Dordrecht, Belanda - 17 November 2012: Sinterklaas di atas kuda putih di jalanan Dordrecht didampingi dengan Zwarte Piet, melambaikan tangan kepada semua anak yang berdiri di pinggir jalan. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Sastra populer Amerika Serikat dan industri sinema Hollywood cukup berperan besar membentuk gambaran tentang Santa Claus (Sinterklas dalam bahasa Indonesia). Namun beberapa kebudayaan mengenal Santa versi lain. Di Belanda, masyarakat lebih familier dengan Sinterklaas, sama-sama perwujudan dari Saint Nicholas tapi berbadan langsing.

Ada beberapa perbedaan antara Sinterklaas dan Santa Claus. Sinterklaas tidak memberikan hadiah kepada anak-anak pada malam Natal, melainkan pada 5 Desember atau malam sebelum peringatan hari kematian St. Nicholas.

Perbedaan lain terletak pada sosok pembantu. Berbeda dari Santa Claus yang mempekerjakan kurcaci, Sinterklaas punya asisten bernama Zwarte Pit 'Pit Hitam'. Badannya kecil dan pendek, rambut keriting hitam, bibir merah, dan mengenakan anting-anting emas. Tugasnya membantu Sinterklaas mengantar kado lewat cerobong asap, juga mencatat nama anak-anak yang baik dan nakal di buku Sinterklaas.

Mereka mulai berlayar menuju pelabuhan di kota-kota Belanda pada pertengahan November. Keduanya diyakini tinggal di Madrid, Spanyol.

Sejak 1934, masyarakat Amsterdam memulai tradisi penyambutan Sinterklaas dan Pit Hitam dengan parade meriah. Acara dibuka dengan parade Sinterklaas di atas perahu menyusuri Sungai Amstel sampai tiba di Museum Maritim. Di tempat tujuan rombongan disambut oleh wali kota sebelum melanjutkan parade di dalam kota sampai alun-alun Dam Square. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1952, perayaannya bahkan rutin disiarkan di saluran TV nasional.

Sinterklaas diperankan oleh kakek kulit putih berjanggut panjang yang mengenakan jubah merah dan membawa tongkat emas. Ia suka menunggangi kuda putih, atau bisa juga diarak dengan kereta kuda. Sedangkan gerombolan Pit Hitam, selain diperankan orang kulit hitam, juga kulit putih yang menghitamkan wajahnya. Mereka memakai kostum warna-warni dengan kerah ruff dan topi beret berhias bulu. Mereka berjalan mengikuti Sinterklaas sambil membagikan kue kering tradisional kruidnoten dan pepernoot, menari lucu, berakrobat, sampai bermain musik.

Acara selalu berlangsung meriah. November silam, meski masih ada pandemi Covid-19, Sinterklaas tetap mengguncang kota tua Amsterdam bersama 600 Pit Hitam. Mereka disambut sekitar 400 ribu hadirin di sepanjang kanal. Sebelum berlabuh, salah satu tokoh Pit bahkan unjuk kebolehan: “terbang” di atas air dengan water jetpark.

Simbol Rasisme dan Kolonialisme

Meski telah menghibur sejak dahulu, pembantu Sinterklaas ini dianggap merupakan simbol rasisme dan kolonialisme Belanda yang tak lagi patut dipertahankan.

Beberapa pihak menilai Pit Hitam mencerminkan stereotip rasis tentang orang-orang kulit hitam: bermartabat rendah karena mau diperintah, dan berperilaku konyol serta bodoh. Selain itu, karakternya dipandang mewakili episode kelam kolonialisme, ketika orang-orang Belanda ikut andil dalam perdagangan budak trans-Atlantik, termasuk menjajah Suriname dan Antillen Belanda di kawasan Karibia.

Protes terbaru dilayangkan oleh kelompok aktivis iklim dan lingkungan Extinction Rebellion. Awal Desember kemarin, mereka memasang bendera bertuliskan “Pit Hitam adalah rasisme—lepas dari kolonialisme” di tiang replika kapal VOC di Museum Maritim, situs yang mereka anggap “lambang masa lalu kolonial.” Aksi ini merupakan bentuk solidaritas mereka terhadap “Zwarte Pit is Racisme”, gerakan anti-Pit Hitam yang dimulai satu dekade silam.

Di sisi lain, ada pula kubu yang ingin mempertahankan Pit Hitam karena ia sudah jadi bagian dari tradisi yang tidak punya maksud buruk atau membahayakan.

Bagaimana karakter Pit Hitam dan segala kontroversinya ini bermula? Salah satu arsip paling lawas tentangnya bisa ditemukan di buku cerita anak-anak tahun 1850 berjudul Sint Nikolaas en zijn knecht 'Saint Nicholas dan pembantunya' karya mantan guru sekolah bernama Jan Schenkman. Tokoh tak bernama ini sekadar disebut “pembantu” yang mendampingi aktivitas Sinterklaas bersama anak-anak. Pakaiannya berwarna putih dengan model menyerupai baju pelaut, alih-alih kostum Pit hari ini yang nampak karikatural.

Melansir situs Perpustakaan Nasional Belanda, Schenkman menyebut tokoh tambahan ini adalah bocah laki-laki yang fisiknya menyerupai orang Moor—istilah untuk menyebut muslim di kawasan Afrika atau orang berkulit gelap secara umum.

Izalina Tavares dalam penelitian berjudul Black Pete: Analyzing a Racialized Dutch Tradition Through the History of Western Creations of Stereotypes of Black Peoples (2004) menjabarkan beberapa pandangan soal asal-usul Pit Hitam. Ada yang menilai karakter tersebut terinspirasi dari lukisan orang-orang Moor sejak abad ke-17. Ada pula yang menduga ia adalah Piter, budak asal Etiopia yang kabarnya pernah dibeli dan dibebaskan oleh St. Nicholas.

Tavares mendapati bahwa unsur “kehitaman” Pit Hitam baru muncul setelah Belanda terlibat perdagangan budak trans-Atlantik, yang berlangsung dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19. Ia juga menemukan nama “Zwarte Pit ” baru ada dalam buku cerita anak-anak sejak 1891—nyaris tiga dekade setelah Belanda mengakhiri praktik perbudakan.

Menurut Tavares, Pit Hitam tidak punya otonomi. Alih-alih memiliki hubungan yang setara, Sinterklaas lebih tepat disebut bos alias tuan alias pemilik Pit Hitam. Sinterklaas-lah yang memerintahkan Pit Hitam untuk memegang buku catatan nama dan membawakan tongkatnya. Sementara Sinterklaas duduk di kursi, Pit Hitam selalu berdiri. Pit Hitam jugalah yang membawakan karung goni berisi kado-kado—yang tentu saja berat—dan membawa cambuk (sampai menjelang Perang Dunia II, Pit Hitam memang memiliki citra keras karena tugasnya termasuk menghukum anak-anak nakal dengan mencambuk atau memasukkannya ke dalam karung untuk dibawa ke Spanyol. Seiring waktu, karakternya berubah jadi konyol, bodoh, kekanak-kanakan seperti badut).

Jop Euwijk dan Frank Rensen dalam artikel di Historiek memberikan beberapa contoh kejadian paling awal bagaimana karakter Pit Hitam mulai dianggap mencerminkan rasisme. Contoh pertama adalah kejadian pada 1927. Seorang laki-laki kulit hitam yang diadili di Rotterdam membela diri bahwa ia memukul seorang buruh pelabuhan karena mendapat kekerasan verbal. Ia juga mengatakan orang-orang kulit hitam di Belanda terus-menerus dipanggil “Pit Hitam”.

Peristiwa lain terjadi pada 1939. Ketika itu seorang guru kulit hitam sempat ditegur oleh orang tua siswa ketika mereka sedang naik trem yang sama di daerah Sittard. Alasannya sepele: anaknya menangis setelah melihat Pit Hitam di situ. Kemudian, pada 1956 seorang keturunan Suriname bercerita di koran de Telegraaf bahwa anak-anak kecil diperintahkan oleh ibu-ibu mereka untuk memanggil orang kulit hitam yang duduk di bus atau trem dengan sebutan “Pit Hitam”.

Ada yang bersikap rasis seperti contoh-contoh di atas, ada pula yang sebaliknya. De Volksrant mencatat ibu rumah tangga bernama bernama Riet Grünbauer termasuk orang pertama yang berani mempertanyakan Pit Hitam. Pada 7 Desember 1968, dalam artikel di majalah Panorama, Grünbauer berpendapat karakter Pit tidak wajib digambarkan sebagai orang kulit hitam. Tujuannya agar anak-anak Belanda “tidak lagi bersenang-senang dengan cara mengorbankan ras lain.”

“Ketika orang-orang Negro di penjuru dunia memperbaiki citranya, sementara perbudakan sudah dihapus sejak lebih dari satu abad silam, kita masih terus-menerus berhadapan dengan tradisi lama yang menampilkan Negro sebagai budak,” tulis Grünbauer. Grünbauer juga mengirimkan surat kepada DPR dan menelepon kantor-kantor berita nasional.

Namun tiba-tiba Grünbauer berhenti, mungkin karena lelah diancam pihak-pihak yang terusik dengan kritik-kritiknya.

Melansir artikel dari Kamil Bałuk di majalah Przekrój, kritik terhadap Pit Hitam kembali disuarakan oleh aktris Belanda asal Suriname, Gerda Havertong, pada awal 1980-an. Saat tampil di acara edukasi “Sesame Street” versi Belanda, Havertong menegur tokoh Big Bird karena memanggilnya Pit Hitam. Havertong lantas menjelaskan bahwa nama tersebut sudah menghina dan menyinggung banyak orang di Belanda, baik anak-anak maupun orang dewasa.

Upaya Menghapus Pit Hitam

Masyarakat Belanda menganggap rasisme merupakan perkara tabu, seiring mereka mendaku sebagai bangsa yang toleran, terbuka, dan egaliter. Maka, dalam rangka memantik diskusi publik tentang rasisme dalam karakter Pit Hitam, seniman keturunan Antillen Belanda Quinsy Gario meluncurkan proyek bertajuk “Zwarte Pit Is Racisme—Pit Hitam adalah Rasisme” pada 2011.

Kala itu Gario bersama penyanyi rap Jerry Afriyie mengenakan kaus bertuliskan “Zwarte Pit Is Racisme” saat menyampaikan aksi protes anti-Pit Hitam pada perayaan Sinterklaas di Dordrecht. Tak berapa lama, mereka berdua ditahan oleh polisi—kelak Ombudsman Belanda menilai penahanan tersebut sudah melanggar hukum dan HAM.

Pada 2014, grup kampanye Kick Out Zwarte Pit (KOZP) didirikan. Melansir situs resminya, gerakan ini menuntut agar pemerintah dan masyarakat Belanda menghapus karakter Pit Hitam dari perayaan hari Sinterklaas. Mereka juga ingin Belanda mengakui masa lalu kolonialnya, termasuk perkara perbudakan.

Semenjak itu demonstrasi anti-Pit Hitam menyeruak dan tak semua berakhir baik-baik. Demonstran ditahan polisi beberapa kali. Pada 2014, 90 orang ditahan saat memprotes parade Sinterklaas di kota Gouda. Mereka dinilai sudah bikin kacau dan berunjuk rasa bukan di lokasi yang sudah ditentukan, meskipun akhirnya dibebaskan setelah masing-masing membayar denda 200 euro. Kejadian serupa berulang di Rotterdam pada 2016. Sebanyak 198 orang ditahan bahkan sebelum protes digelar.

Aktivisme mereka juga mendapat pertentangan dari sesama warga, terutama kelompok sayap kanan termasuk organisasi anti-Islam Pegida. Keduaya kadang terlibat kericuhan. Pada 2018 di Eindhoven, misalnya, sebanyak 250 orang rombongan pro-Pit Hitam dan hooligan sepak bola melempari segelintir aktivis anti-Pit Hitam dengan telur dan kaleng bir. Sementara di Zaandijk, meskipun perayaan Sinterklaas berjalan lancar, hadir beberapa orang yang membentangkan bendera gerakan Neo-Nazi.

infografik mild piet hitam

infografik mild piet hitam. (tirto.id/Fuad)

Aktivisme ini perlahan membuahkan hasil. Pemda penyelenggara festival Sinterklaas mulai menghapus tradisi menghitamkan wajah orang-orang yang berperan sebagai Pit Hitam. Pemkot Amsterdam bahkan telah menggantikan karakter Pit Hitam dengan tokoh yang lebih realistis, RoetPit 'Pit Cerobong Asap' sejak 2016. Alih-alih menghitamkan seluruh wajah sampai wujud aslinya tak dikenali, pemeran Pit yang berkulit putih hanya perlu sedikit mengotori wajahnya dengan debu abu. Stasiun televisi RTL yang selama ini menayangkan serial film pendek tentang Sinterklaas juga mulai menampilkan tokoh Pit tanpa riasan muka hitam.

Melansir Dutch Review, toko-toko di Belanda juga tak lagi menjual pernak-pernik Pit Hitam, termasuk jaringan ritel produk rumah tangga HEMA, produsen mainan Jumbo, situs jual-beli populer bol.com. Facebook dan Instagram juga dikabarkan sudah melarang peredaran gambar Pit Hitam, seiring raksasa Amazon dan Google ikut mengambil sikap. Buku-buku di perpustakaan yang menampilkan gambar Pit Hitam pun disingkirkan.

Tidak bisa dimungkiri pula bahwa gelombang Black Lives Matter yang menyapu dunia dari Amerika Serikat sejak 2020 silam semakin meramaikan diskusi tentang rasisme di Belanda dan memberikan tekanan kepada otoritas bahwa situasi yang tampak natural sebenarnya bermasalah dan harus diubah.

Tahun lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengakui pandangannya tentang Pit Hitam sudah berubah. Ia mengaku dulu termasuk kelompok yang menganggap “Pit Hitam memang sudah hitam dari sananya,” bahkan pernah menghitamkan seluruh wajahnya saat memerankan karakter tersebut pada 2014. Pada waktu sama, Rutte juga tidak menampik bahwa “rasisme sistemik” merupakan masalah di negerinya.

Menurut survei yang diselenggarakan program berita nasional EenVandaag yang rilis November silam, 56 persen dari 32 ribu responden masih ingin mempertahankan Pit Hitam apa adanya, sedangkan yang ingin penampilan Pit Hitam diubah hanya 32 persen. Meskipun yang mendukung lebih banyak, tren untuk mempertahankan karakter Pit Hitam cenderung merosot dari tahun ke tahun. Pada 2013, pendukungnya mencapai 89 persen, sedangkan yang menentangnya hanya 5 persen.

Baca juga artikel terkait SANTA CLAUS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino