Menuju konten utama
28 November 1962

Wilhelmina, Simbol Perlawanan Belanda terhadap Nazi Jerman

"Wilhelmina adalah satu-satunya 'pria sejati' di tengah pemerintah Belanda di pengasingan London," tulis Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill.

Wilhelmina, Simbol Perlawanan Belanda terhadap Nazi Jerman
Ilustrasi Mozaik Ratu Wilhelmina. tirto.id/Tino

tirto.id - Di tengah Perang Dunia II (1939–1945)--hanya dibatasi selat sempit dengan kekuatan Jerman yang telah menguasai sebagian besar negeri-negeri tanah rendah (Belanda, Luksemburg, dan Belgia)—Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, sempat melontarkan komentar bahwa Ratu Wilhelmina (bertakhta 1890–1948) adalah satu-satunya "pria sejati" di tengah pemerintah Belanda di pengasingan London.

Pada 10 Mei 1940, Jerman menyerang negeri-negeri tanah rendah tanpa pernyataan perang sebelumnya. Keluarga kerajaan kemudian dipaksa melarikan diri menghindari serbuan tentara Nazi. Terdapat kisah yang menarik saat pelarian keluarga kerajaan. Kita mengetahui kemudian bahwa Ratu Wilhelmina dan beberapa menteri penting akan berpos di London selama Perang Dunia II. Namun, perjalanan menuju ke London menghasilkan dua versi cerita.

Dalam autobiografi Wilhelmina yang berjudul Eenzaam maar niet alleen [Kesepian, Tetapi Tidak Sendiri] (2012), sang ratu menyatakan bahwa ia sebenarnya sama sekali tidak memiliki niatan untuk meninggalkan tanah Belanda. Ia hanya berakhir di London sebab rencana awalnya digagalkan oleh keadaan yang memaksa. Dalam perjalanan pelarian menghindari tentara, ratu dan rombongan sampai di Kota Pelabuhan Hoek van Holland. Rombongan kemudian “secara kebetulan” menemukan kapal perang Inggris yang siap berlayar sedang bersauh di situ. Ini adalah kapal HMS Hereward.

Menurut Wilhelmina, kapal sedianya hendak pergi ke Vlissingen atau Breskens. Oleh sebab itu, sang ratu akhirnya naik menumpang kapal tersebut dengan tujuan untuk bergabung dengan tentara perlawanan yang masih berkobar di Vlissingen. Setelah kapal menjauh dari daratan, komandan HMS Hereward—melihat situasi di darat yang riskan—kemudian melarang perhubungan dengan darat. Sekretaris pribadi Wilhelmina, Thijs Booy, kemudian mencatat bahwa sang ratu kecewa mendengar penolakan komandan kapal. Akhirnya, rombongan "tanpa pilihan lain" melanjutkan perjalanan ke tanah Britania.

Namun demikian, penulis Wilhelmina: Mythe, fictie en werkelijkheid [Wilhelmina: Mitos, Fiksi, dan Kenyataan] (2018), Gerard Aalders, meragukan kisah di atas dan mengajak kita untuk melepaskan embel-embel simbolisme Wilhelmina sebagai lambang perlawanan dalam Perang Dunia II. Salah satu fakta yang disoroti oleh Aalders adalah keberadaan HMS Hereward sendiri. Catatan laporan kapal menyatakan bahwa kapal tersebut “diberi restu” untuk membawa Wilhelmina ke Inggris atas persetujuan raja. Fakta ini menjadi bertentangan dengan kenyataan bila memang benar Wilhelmina naik ke atas kapal itu dalam situasi mendadak dan kebetulan.

Dengan demikian, HMS Hereward pastilah telah diutus sebelumnya dan memang sengaja diutus untuk menjemput Wilhelmina. Fakta lain yang disoroti oleh Aalders adalah rangkaian protokoler yang telah menyambut Wilhelmina di Inggris. Ketika ia mendarat di Harwich, telah ada kereta yang siap mengantarnya ke London lengkap dengan pasukan kebesaran yang menyambut seakan itu adalah sebuah kunjungan kenegaraan. Kemustahilan adanya keajaiban seperti itu yang semakin mengikis pandangan bahwa Wilhelmina pergi ke Inggris dalam sebuah situasi yang serba kebetulan.

Di luar berbagai kontroversi perihal keberangkatannya ke Inggris, Wilhelmina pada masa Perang Dunia II jelas memainkan peran penting sebagai simbol perlawanan terhadap Nazi yang sangat berpengaruh. Perang Dunia II mengubahnya secara pribadi maupun dalam pandangan publik. Sejarawan ahli keluarga Kerajaan Belanda, Cees Fasseur mengungkap bahwa Ratu Wilhelmina bukanlah sosok yang demikian populer secara pribadi di mata publik Belanda. Namun, perang mengubah hal itu.

Bukan berarti bahwa Wilhelmina berada jauh di ketinggian sebelum masa perang. Sang ratu telah menunjukkan minat besar pada pemerintahan dan pengelolaan negara. Bahkan pada Perang Dunia I, ia sempat berseteru dengan Menteri Peperangan yang kelak menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis de Jonge. Pokok masalahnya adalah posisi Panglima Angkatan Bersenjata Belanda.

Saat itu, De Jonge sedang berseteru dengan Jenderal Cornelis Jacobus Snijders masalah pertahanan melawan Jerman dan menuntut pengunduran diri sang jenderal. Jenderal Snijders dan Wilhelmina ingin mempertahankan prinsip netralitas Belanda, sedangkan De Jonge merasa Belanda perlu mengantisipasi serangan Jerman. Ketika De Jonge—didukung sebagian besar anggota kabinet—mengajukan pengunduran diri Snijders di muka ratu, Wilhelmina menolak. Hal ini berakhir dengan pengunduran diri De Jonge untuk menghindari konflik internal semasa genting.

Sang ratu memiliki ketertarikan khusus pada pertahanan negara. Sebelum Perang Dunia II , ia sering memeriksa sendiri kesiapan angkatan perang dengan pergi secara incognito. Ia juga sempat berseteru dengan kabinet-kabinet yang dianggap terlalu sedikit menganggarkan biaya untuk pertahanan Belanda.

Infografik Mozaik Ratu Wilhelmina

Infografik Mozaik Ratu Wilhelmina. tirto.id/Tino

Saat akhirnya Ratu Wilhelmina menetap di London, ia segera menyatakan sikap lewat Radio Oranje—radio bawah tanah yang digunakan untuk menyiarkan, terutama, pidato ratu untuk membangkitkan moral Belanda. Pidatonya yang dikenal sebagai Proklamasi Wilhelmina (Proclamatie Koningin Wilhelmina) pada 10 Mei 1940 begitu terkenal di kalangan pergerakan kebangsaan di Hindia Belanda dengan julukan “protes yang berapi-api (vlammend protest)”.

Naskah protes itu beredar di Hindia sekitar akhir tahun 1940. Lewat karya Ong Hok Ham, Runtuhnya Hindia Belanda (1989), kita kemudian mengetahui bahwa ini menimbulkan dukungan yang cukup besar dari kalangan kebangsaan. Motif dukungannya adalah melihat bahwa Belanda sebagai negara kecil telah dicaplok oleh Jerman yang besar dan kuat.

Selain itu, Jerman juga dilihat sebagai negara fasis yang secara umum dimusuhi oleh ideologi kelompok kebangsaan. Saat itu kelompok kebangsaan diwarnai terutama oleh golongan Marxis dan Islam. Tokoh seperti Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Cipto Mangunkusumo—yang pada tahun 1940 sedang berada dalam pengasingan di Sukabumi—juga sempat turut menyatakan dukungan terhadap Ratu Wilhelmina.

Melihat kecenderungan rakyat Hindia Belanda untuk mendukung ratu yang dipandang sebagai simbol perlawanan, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh bahkan sempat mengusulkan kepada pemerintah Belanda di pengasingan London untuk membawa Ratu Wilhelmina ke Hindia Belanda. Namun, ajakan itu tak berbalas dan dukungan pergerakan nasional akhirnya menguap karena hanya bertepuk sebelah tangan.

J. C. Bijkerk yang menulis memori tentang akhir Hindia Belanda dalam Vaarwel tot betere tijdens [Sampai Berjumpa di Saat yang Lebih Baik] (1974), kemudian mencatat bahwa sang ratu merasa sangat menyesal tidak mengambil keputusan itu ketika ia bisa. Dalam suratnya kepada jajaran menteri di London, Tjarda menulis bahwa kehadiran ratu di Hindia Belanda pasti akan meningkatkan kesetiaan rakyat. Bila itu terjadi, tidak mungkin Jepang akan diterima dengan lapang dada dua tahun setelahnya (1942).

Pada periode kritis itu, pemerintah Belanda telah mengambil langkah yang salah. Rakyat Hindia (Indonesia) yang sedianya bermaksud untuk bergandengan tangan bersama melalui Perang Dunia II telah dibiarkan patah hati menghadapi keras kepala pemerintah Belanda. Perilaku pemerintah kolonial dan negeri induk itu kemudian mengkristalkan aspirasi kemerdekaan yang baru mendapat momentum pada tahun 1945.

Baca juga artikel terkait PERANG DUNIA II atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Politik
Kontributor: Christopher Reinhart
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi