tirto.id - Senin pagi adalah jam tersibuk buat pengguna transportasi umum di Ibu Kota, tak terkecuali kereta rel listrik (KRL). Biasanya, para penumpang KRL memadati rangkaian gerbong yang akan mengangkut mereka dari stasiun awal pemberangkatan menuju stasiun tujuan akhir.
Kepadatan ini tampak dari ludesnya kursi yang tersedia diduduki dan bikin puluhan hingga ratusan orang lain kudu rela berdiri. Pemandangan ini pun tampak saat saya naik KRL jurusan Bogor-Jakarta Kota di Stasiun Pasar Minggu sekitar pukul 09.15, Senin pagi (9/9/2019), kemarin.
Di sepanjang gerbong yang saya naiki, sejumlah orang yang duduk di kursi tampak memasang pelantang telinga sembari bermain telepon genggam atau tidur--entah benar-benar lelap atau tidur ayam--. Di atas kursi yang mereka duduki, terpasang stiker yang mengingatkan penumpang yang diprioritaskan duduk di kursi adalah lansia, ibu hamil, orang tua yang membawa anak, serta orang dengan disabilitas.
Namun, sepanjang penglihatan saya, kursi tersebut justru lebih banyak diduduki anak muda yang menyumpal telinga mereka dengan earphone. Sementara itu, sejumlah lansia justru memilih berdiri.
Dalam perjalanan itu saya bertemu dengan Paula (30), ibu muda yang tengah hamil tujuh bulan. Selepas turun di Stasiun Sawah Besar, saya pun sempat berbincang dengan dia.
Kepada saya, Paula bercerita sempat kesulitan mendapat tempat duduk saat kandungannya baru berusia beberapa minggu.
"Kalau ke sini-sini, sih, lebih gampang. Cuma kalau di rangkaian [gerbong] perempuannya, sih, enggak [gampang], karena rata-rata egois," kata Paula.
Paula yang saban hari bolak-balik naik KRL dari Depok Lama-Sawah Besar mengaku heran dengan sikap para penumpang di gerbong perempuan. Ia bahkan sempat miris saat melihat seorang ibu hamil yang akhirnya turun dari KRL karena tak kebagian kursi di gerbong perempuan.
"Padahal sama-sama perempuan, bisa, aja, satu hari mereka ngerasain, tapi malah suka enggak manusiawi," ujarnya.
Apa yang dikatakan Paula rupanya dirasakan Fifi (27). Perempuan yang biasa naik kereta dari Stasiun Citayam menuju Stasiun Tebet ini akhirnya berhenti naik KRL. Ia tak kuat lantaran susah mendapat kursi bahkan di priority seat.
"Pas trimester pertama, perut masih belum terlihat buncit jadi kalau pun masuk ke bagian priority seat, cuma dilihatin," ucap Fifi.
Fifi merasa jengkel karena penumpang yang duduk di kursi prioritas bukanlah kelompok yang harus diprioritaskan. Jika sudah tak kuat berdiri, Fifi terpaksa mencolek atau menegur para penumpang yang menduduki kursi prioritas.
"Karena kondisi badan sudah lelah dan takut kenapa-kenapa, dulu pernah punya riwayat keguguran," ucap Fifi.
Apa yang dikatakan Paula dan Fifi bukan isapan jempol. Saya mencoba membuktikan perkataan mereka dengan naik KRL dari Pasar Minggu-Sawah Besar, Sawah Besar-Jakarta Kota, Jakarta Kota-Cikini, Cikini-Manggarai, Manggarai-Sudirman, Sudirman-Tanah Abang, Tanah Abang-Manggarai, dan Manggarai-Pasar Minggu, kemudian menyusuri beberapa gerbong.
Keluhan keduanya benar. Kursi prioritas banyak diduduki mereka yang tak berhak.
Solusi Pin ala KCI
Keluhan Paula dan Fifi ternyata diketahui manajemen PT KCI. Vice President Corporate Communications PT KCI, Ernie Sylviana Purba atau karib disapa Anne Purba mengatakan, PT KCI berupaya mengatasi masalah tersebut dengan membuat pin ibu hamil.
"Program pin Ibu Hamil ini dilakukan untuk memudahkan ibu hamil dalam mendapatkan tempat duduk pada perjalanan KRL, khususnya ibu hamil pada trimester pertama karena belum terlihat seperti ibu hamil," ujar Anne kepada reporter Tirto.
Pin ini, kata Anne, bisa didapatkan para ibu hamil dengan mendaftar secara online. Dalam form daring tersebut, para pendaftar diwajibkan menyertakan surat keterangan kehamilan dari dokter atau bidan. Ini supaya pin tersebut tepat sasaran.
"Ketika ibu hamil menggunakan pin selama perjalanannya menggunakan KRL, ibu hamil dapat memperoleh kursi. Tidak hanya di Tempat Duduk Prioritas, namun juga di tempat duduk umum," kata Anne.
Eva Rosita, peneliti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengapresiasi langkah KCI ini. Namun, ia balik mempertanyakan apakah kebijakan tersebut akan tepat sasaran atau tidak.
"Jangan sampai menimbulkan kecurangan, orang yang tidak hamil, karena ingin mendapatkan prioritas, jadi mendapatkan pin," ucap Eva kepada reporter Tirto.
Apa yang dikatakan Eva wajar belaka. Berkaca pada kasus pelecehan seksual, KCI sudah berkali-kali berupaya menyelesaikan masalah ini dan salah satu solusinya dengan membuat gerbong khusus perempuan. Namun, gerbong ini ternyata tak menyelesaikan persoalan karena kasus kekerasan seksual juga tak kunjung menurun.
Sementara itu, Didid Haryadi, pengajar Sosiologi di Universitas Nasional, menilai pembagian pin ini belum bisa menjadi jaminan ibu hamil bisa mendapat kursi prioritas. Menurut dia, upaya ini harus diikuti pembenahan semisal menempatkan petugas keamanan di dekat kursi prioritas.
Langkah ini, kata Didid, diperlukan karena banyak penumpang KRL yang pura-pura tak peduli atau bahkan tak acuh terhadap perempuan hamil. "Penumpang akan lebih patuh kalau yang memberi tahu mereka adalah petugas," kata Didid kepada reporter Tirto.
Soal ketidakpedulian ini juga disinggung Defny Holidin, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia. Defny menyebut ketidakpedulian ini berpotensi bikin kebijakan pembagian pin jadi tak efektif. Ini seperti yang terjadi kepada stiker peringatan soal penumpang prioritas yang ditempel di kaca kereta.
"Ini masalah kultur. Masyarakat kita itu sebagian agak selfish, mulai dari pura-pura tidur, sampai ngotot duduk di kursi itu dengan berbagai alasan," ujar Defny kepada reporter Tirto, Selasa (10/9/2019).
Namun selain itu, Defny menilai bentuk kursi prioritas yang masih boleh diduduki penumpang umum juga jadi masalah. Oleh karena itu, ia menyarankan PT KCI membatasi akses kursi prioritas hanya bisa diakses orang tertentu.
"Jadi kursi prioritas itu menurut saya akan lebih efektif jika ada palang yang menghalangi siapa pun yang duduk, dan cuma bisa dibuka orang yang dapat pin tadi, misalnya dengan QR Code atau kartu khusus dengan pengantar dari dokter," ucap Defny.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika