tirto.id - Layanan prioritas seperti kursi, lift, atau jalan pintas di fasilitas publik Indonesia seperti yang kita tahu, diperuntukkan bagi disabilitas, orang lanjut usia, ibu hamil, dan perempuan dengan anak.
Namun, apa artinya laki-laki, meski tengah kerepotan membawa barang dan anak, tak berhak atas itu tersebut?
Hmm.. kok jadi nggak adil, ya?
Pekan lalu, Nissa, 35 tahun, menjajal fasilitas Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line dengan rute pendek saja: Stasiun Depok Lama-Lenteng Agung. Dia membawa serta anaknya yang baru berumur 1 tahun, ibu mertua, dan suami.
Saat bepergian bersama bayi, tidak mungkin tidak, kita pasti membawa banyak barang kebutuhannya. Nissa, seperti biasa, menggendong anaknya sementara sang suami membawa barang-barang mereka. Singkat cerita, mereka bertukar posisi saat hendak naik KRL.
“Seharian gendong anak, capek, maunya gantian sama suami. Namun, sewaktu kami minta lewat jalan pintas menyeberang rel, ditolak. Katanya tidak boleh untuk laki-laki sehat,” tutur Nissa.
Saat itu, Nissa sempat bernegosiasi dengan mengatakan sang suami tengah membawa anak. “Apakah tidak termasuk prioritas?” tanyanya.
Walhasil, hanya ibu mertuanya yang lewat jalan pintas prioritas. Nissa, suami, dan anaknya memutar lewat tangga menuju peron seberang. Kejadian ini berulang saat mereka naik gerbong.
“Gerbongnya penuh. Saat suami gendong anak, tak ada yang memberi kursi. Akhirnya kembali saya yang gendong, baru ada penumpang mempersilakan duduk,” terang Nissa.
Kejadian yang menimpa suami Nissa sangat mungkin dialami kebanyakan laki-laki yang membawa anak atau bawaan berat.
Padahal fasilitas prioritas diberikan untuk mempermudah orang yang memiliki keterbatasan atau kesulitan tertentu. Pada disabilitas dan lansia, hal itu amat jelas karena fungsi fisik mereka yang menurun perlu diberi kemudahan.
Sementara itu, ibu hamil diprioritaskan karena mengalami banyak perubahan pada tubuhnya. Hormon-hormon kehamilan membikin banyak perempuan hamil mengalami gejala mual, kelelahan, pusing, atau sakit pinggang.
Prioritas terakhir: perempuan yang membawa anak. Kesulitan mereka yang perlu diringankan tentu terletak pada sang anak. Mereka berhak atas fasilitas prioritas agar tidak terlalu payah menggendong dan mengasuh anak di fasilitas umum.
Jadi, dengan latar pemikiran tersebut, laki-laki—atau gender apa pun—yang tengah membawa anak semestinya juga bisa mendapat tempat duduk, melewati jalan pintas, dan menggunakan lift prioritas.
Mereka yang Tak Berhak Dapat Prioritas
Jika di Indonesia hanya perempuan—kelompok membawa anak—yang berhak atas fasilitas prioritas, beberapa negara sudah lebih progresif. Mereka tak mendiskreditkan gender tertentu agar orang bisa mendapat tempat duduk ketika membawa anak.
Ada Singapura yang memilih menggunakan terminologi kursi prioritas untuk parents with infant alias “orang tua dengan bayi”. Mereka memilih ikon orang duduk dengan membawa anak kecil, tanpa menonjolkan jenis pakaian (rok) sebagai simbol perempuan.
Lalu, ada Hong Kong yang juga memilih terminologi those with infants. Jadi, siapa pun yang membawa bayi berhak atas fasilitas prioritas di fasilitas publik. Hong Kong menggunakan ikon yang sama dengan Singapura untuk menandakan kursi prioritas.
“Pemerintah berkomitmen pada konsep ‘transportasi bebas hambatan’ untuk melayani kebutuhan penumpang yang berbeda,” begitu tertulis dalam situs resmi Departemen Perhubungan Hong Kong.
Di Jepang, kelompok prioritas yang membawa anak dideskripsikan dengan kalimat parents with small children alias orang tua dengan anak kecil.
Kamu pasti kerap mendapati orang-orang yang tak berhak, justru memakai fasilitas prioritas. Misal, orang muda, memakai penyuara telinga, sibuk dengan gawai, tidur—atau pura-pura tidur, dan cuek saja duduk di kursi prioritas.
Mereka baru bergeming ketika petugas menegur dan meminta tempat duduknya. Fenomena ini ternyata merupakan degradasi etika yang “normal”, tak cuma di Indonesia tapi juga negara lain.
Menurut studi tentang karakteristik penumpang di Kereta Api Bandara oleh Erfina A. Notar, Amirulloh, dan Arinda Leliana (2020) di Prosiding Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (2022), kursi prioritas sebenarnya malah tidak efektif.
“Masih banyak penumpang KA Bandara yang tidak termasuk ke dalam empat golongan tetap menduduki priority seat,” tulis tim peneliti.
Dalam penelitian lain berjudul "Study on suggestions for people want to use priority seats by inspecting the actual use situation" yang diterbitkan dalam Proceedings of The 2nd Asian Conference on Ergonomics and Design (2017), Oba Manami dan Kubo Masayoshi melakukan survei lapangan jalur kereta cepat di JR Tokaido, Jepang Barat, dan Kota Kyoto.
Penyerobot yang main ponsel, menurut Oba dan Kubo, kemungkinan jadi lebih tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya mereka seringkali abai pada penumpang lain yang lebih berhak atas kursi prioritas yang didudukinya.
Dalam kesimpulan risetnya, tim peneliti menyebut, “Penumpang prioritas merasa bahwa perlu ada mekanisme untuk membuat orang yang sehat jadi memperhatikan orang yang lebih membutuhkan kursi prioritas dan secara sukarela mengosongkannya.”
Membangun kesadaran untuk tidak mengambil hak orang lain dan memberi kepada yang patut memang sulit. Itulah sebabnya perlu ada hukum dan sanksi.
Setidaknya, hal ini bisa jadi “gawang” bagi agar ketidakadilan yang sering tak terlihat ini tidak terus terjadi. Karena laki-laki (dan juga gender lain) juga manusia, bukan?
*Artikel ini pernah tayang di tirto.iddan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Yemima Lintang