Menuju konten utama

Piala Dunia Kaum Marjinal

Sepakbola tidak hanya disukai banyak orang, tetapi juga dapat mengubah hajat hidup orang-orang marjinal.

Piala Dunia Kaum Marjinal
Homeless World Cup 2014, Chile. FOTO/homelessworldcup.org

tirto.id - Hujan rintik mengguyur arena pertandingan perebutan peringkat kelima Piala Homeless World Cup (HWC) 2017. Di lapangan hijau itu, empat pemain Indonesia berhadapan dengan empat pemain Portugal. Meski air menggenangi lapangan dan turut membasahi tubuh, ditambah suhu Norwegia yang rata-rata berada di 10 derajat celcius, panasnya pertandingan tetap terasa. Bayangkan saja, saat pertandingan tersisa 95 detik, skor masih imbang 5-5.

Tidak kenal lelah, pemain Indonesia terus menekan pertahanan Portugal. Dengan memanfaatkan bola muntah, dari tengah lapangan Gian Sopian alas Izur mencetak gol ke gawang Portugal. Skor berubah. Enam gol Indonesia meninggalkan Portugal yang sampai akhir pertandingan hanya mampu mencetak 5 gol. Berkat perolehan skor ini, Indonesia berhasil menduduki peringkat kelima Piala HWC 2017.

Bukan Kompetisi Biasa

HWC bukan sekadar festival sepakbola jalanan (street football). Mel Young dan Harald Schmier, pendiri organisasi Homeless World Cup Foundation, menyelenggarakan kejuaraan ini dengan tujuan yang khas. Laman homelessworldcup.org menyebutkan seseorang setidaknya harus memenuhi salah satu dari empat syarat untuk bisa menjadi pemain dalam gelaran rutin tahunan ini.

Pertama, mereka harus pernah menjadi tunawisma menurut ketentuan negara tempat tinggal peserta dalam setahun terakhir. Kedua, mereka yang berpenghasilan utama sebagai pedagang koran asongan juga dapat menjadi peserta kompetisi yang pertama kali dilaksanakan di Graz, Austria pada 2003.

Selain itu, yang ketiga, HWC juga menerima pencari suaka dengan status suaka belum positif dan para eks pencari suaka yang berhasil memperoleh status kewarganegaraan. Sementara itu, orang-orang yang sedang dalam tahap rehabilitasi alkohol dan narkoba yang juga pernah menjadi tunawisma dalam kurun waktu dua tahun terakhir dapat menjadi peserta HWC.

"Kita punya kesempatan besar untuk menggunakan sepakbola sebagai wahana perubahan sosial, dan ada perasaan umum bahwa kita harus bekerja sama," ujar Mel Young kepada The Guardian.

"Saya minum bir bersama teman baik saya Harald Schmied yang mengelola koran jalanan untuk orang-orang tunawisma di Graz, Austria. Kami pernah ikut dalam konferensi tahunan International Network of Street Papers (INSP)," kenang Mel Young, "Menjelang malam berakhir, kami menemukan (ide) Homeless World Cup yang memungkinkan tim-tim dari seluruh dunia bisa mengikuti turnamen sepakbola jalanan."

Asa Dari Rumah Cemara

Rumah Cemara (RC) merupakan organisasi berbasis komunitas yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV-AIDS, konsumen narkoba, serta kaum marjinal lainnya di Indonesia melalui pendekatan dukungan sebaya. Visi mereka: Indonesia bebas stigma dan diskriminasi. Salah satu program yang dikembangkan oleh organisasi yang berkantor di Kota Bandung ini adalah pembinaan melalui kegiatan olahraga.

Tools olahraga apa, sih, yang bisa dipake rame-rame? Karena banyak orang yang dibina di sini berusia pemuda yang kita pilih sepakbola. Karena di Indonesia, semua orang bisa bermain sepakbola, dan tidak harus jago untuk bisa menikmati sepakbola,” ujar Indra Simorang, Humas RC.

Pada tahun 2007 RC mulai membina komunitas futsal dan mengikuti kompetisi yang diadakan Badan Narkotika Nasional (BNN).

“Awal-awal kita berangkat kalah. Mulai dari situ kita latihan terus. Lalu di tahun kedua dan ketiga kita menjadi juara Piala BNN. Ternyata kita punya potensi. Lalu kami mencari kompetisi yang bersifat sosial ketimbang prestasi,” ungkap Indra.

Pada 2010, RC mengetahui keberadaan HWC dan segera mengajukan proposal ke panitia penyelenggara untuk mengikuti kompetisi yang saat itu dilaksanakan di Brazil. Proposal diterima. Sayangnya RC urung mengirimkan tim karena keterbatasan biaya.

Baru pada tahun berikutnya, tim futsal RC berhasil berlaga di HWC yang saat itu diselenggarakan di Perancis. Hasilnya tim futsal tersebut keluar sebagai juara keenam, sekaligus menyabet gelar tim pendatang baru terbaik. Sedangkan pada HWC 2012 di Mexico, Indonesia menduduki peringkat keempat dunia.

Pada tahun-tahun berikutnya, RC rutin mengirim tim sebagai perwakilan Indonesia di HWC. Pada 2016, HWC digelar di Skotlandia. Hasilnya, Indonesia berhasil bercokol di peringkat 7 Dunia.

infografik piala dunia marjinal

Laga Yang Mengubah

Survei yang diadakan HWC menyebutkan sebanyak 94 persen peserta mengakui dampak positif setelah mengikuti festival HWC. 83 persen peserta juga mengalami perubahan relasi sosial dengan keluarga dan teman-teman. Sedangkan 77 persen hidupnya berubah secara signifikan karena pertemuannya dengan sepakbola.

Indra menuturkan ada dua hal besar yang berubah dari pemain sepulang dari HWC. Pertama, mereka menemukan gambaran diri mereka. Kedua, mereka lebih peduli terhadap kehidupan sosial. Indra mencontohkan hal tersebut lewat kisah Jaka Arisandi.

“Awalnya Jaka ikut sebagai pemain pada HWC 2015. Kemudian dia lolos seleksi dan pelatihan wasit untuk HWC 2016. Pada 2017, Jaka dipercaya menjadi wasit pertandingan final kategori perempuan. Dari situ Jaka belajar skill wasit dan bahasa Inggris,” ujar Indra.

Perubahan juga terjadi dalam diri Arif alias Toun yang pada 2012 ikut sebagai pemain HWC di Mexico. Status Toun kala itu adalah pecandu narkotika jenis metadon.

Kala tim Indonesia sedang jalan-jalan ke sebuah museum klub sepakbola ternama di Meksiko, Toun lupa membawa metadon. Toun ketakutan dan akhirnya kembali ke hotel guna mengambil obatnya. Namun obat itu tidak sampai diminum oleh Toun hingga acara jalan-jalan selesai.

“Bahkan kita berangkat bawa obat-obatan legal (metadon) sesuai pengawasan dokter. Sepulang dari Mexico, dia sendiri yang bilang kepada saya kalau mau rehabilitasi. Akhirnya dia ikut program rehabilitasi selama enam bulan. Lalu berhasil dan sukses dengan kehidupan yang baru,” ujar Febby, manajer tim Indonesia untuk HWC pada 2011 sampai 2014, kepada Tirto.

“Selalu saya bilang ke pemain-pemain saya dulu. Pertandingan itu bukan pas kalian di sana, tapi saat mendarat di Indonesia. Saat kalian dijemput oleh teman-teman kalian, itulah pertandingan sebenarnya dalam kehidupan. Intinya bagaimana bisa memaknai kegiatan di HWC agar terus berlangsung di kehidupan sehari-hari. Jika bisa berubah menjadi lebih baik, baru lo jadi juara. Kalau lo balik lagi jadi pecandu, belum juara namanya,” ujar Febby.

Berkutat dengan Dana

Untuk dapat mengirimkan tim ke festival yang selalu diadakan di luar negeri bukan perkara gampang. Pemain berstatus pecandu narkotika dan orang dengan HIV-AIDS yang masih mendapat stigma buruk, membuat RC mengalami kendala dan tantangan yang sangat sulit.

Pihak RC sempat gagal mengirim tim ke Brazil pada 2010 karena keterbatasan biaya. Pada keberangkatan pertama ke Perancis pada 2011, tim HWC mendapat dukungan dana dari program Kick Andy Hope.

Pada 2012, untuk membiayai kebutuhan tim berlaga di HWC Mexico, dibutuhkan Rp 500 juta. Guna memenuhi biaya tersebut, RC menggalang dana lewat crowdfunding. Program itu dinamai “1000 untuk 1”. Kampanye dilakukan lewat media sosial yang mengajak satu orang menyumbang 1000 rupiah. Lembaga tersebut juga menaruh celengan ayam di sejumlah distro di Bandung. Kegiatan ini pun mendapat animo besar dari masyarakat.

“Dulu ada yang kontak saya dari Bonek Surabaya. Mereka gerak sendiri untuk menggalang dana di car free day Surabaya. Hasilnya dikirim ke Rumah Cemara. Karena celengan ayam habis, mereka buat kotak dananya sendiri,” ungkap Febby.

Mulai 2013, Kementerian Pemuda dan Olahra (Kemenpora) memberikan dukungan dana. Dua perusahaan seperti Bank BJB dan Pertamina juga rutin menjadi sponsor.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Olahraga
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS