Menuju konten utama

Petinggi PBNU Bantu Advokasi Kasus Kriminalisasi Petani Surokonto

"Saya akan terus mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya mengenai hal ini dan akan menjajaki kemungkinan gugatan clash-action terhadap pihak-pihak terkait," tegas Gus Yahya.

Petinggi PBNU Bantu Advokasi Kasus Kriminalisasi Petani Surokonto
KH Yahya Cholil Staquf, didampingi anggota Banser NU usai menjenguk dua terpidana kasus tukar guling PT Semen Indonesia dan PT Perhutani, di Lapas Kendal, Minggu (5/11). FOTO/Istimewa.

tirto.id - Khatib Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyatakan, vonis terpidana dua orang warga Desa Surokonto, Tegal, yakni Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin, terkait kasus tanah tukar guling lahan antara PT Semen Indonesia dengan Perhutani sangat mengganggu dan mengabaikan rasa keadilan.

Menurut KH Yahya Staquf, vonis 8 tahun penjara terhadap Nur Aziz dan 3 tahun penjara terhadap Sutrisno, serta denda miliaran rupiah, tidak sebanding dengan bobot kesalahan yang didakwakan dan terutama kondisi sosial ekonomi dari yang bersangkutan.

"Saya hari ini menjenguk Bapak Nur Aziz dan Bapak Sutrisno Rusmin, dua orang warga desa Surokonto, Tegal, terpidana kasus tanah di Kendal, di Lembaga Pemasyarakatan Kendal dan berbincang selama sekitar satu jam dari jam 14.00 - 15.00. Saya menilai vonis keduanya sangat tidak berdasar rasa kemanusiaan," tandas Gus Yahya, sapaan akrabnya, Minggu (5/11/2017).

Mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid ini akan mengumpulkan informasi dari berbagai pihak mengenai kasus yang menimpa dua orang warga Nahdlatul Ulama tersebut.

"Saya akan melaporkan masalah ini ke PBNU agar ditindaklanjuti dengan advokasi intensif bagi kepentingan Bapak Nur Aziz dan Bapak Sutrisno Rusmin," katanya.

Gus Yahya mengaku menerima sejumlah informasi yang memicu tanda tanya terkait kasus tukar guling lahan antara PT Semen Indonesia dan Perhutani itu sendiri.

"Saya akan terus mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya mengenai hal ini. Dan apabila ada bukti-bukti tindakan ilegal oleh pihak tertentu, saya akan menjajaki kemungkinan gugatan clash-action terhadap pihak-pihak terkait," tegas Gus Yahya.

Nur Aziz dan Sutrisno adalah petani dari Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal. Keduanya dijerat pasal 94 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

Kasus kriminalisasi petani Surokonto Wetan ini berlangsung sejak 3 Mei 2016. Awalnya, polisi menetapkan tiga tersangka yakni Nur Aziz (44 tahun), Sutrisno Rusmin (63 tahun) dan Mujiono (39 tahun).

Penetapan tersangka terhadap ketiganya dilakukan setelah Rovi Tri Kuncoro (Wakil Perum Perhutani KPH Kendal) melaporkan ketiganya dengan tuduhan penguasaan kawasan hutan seluas 70 hektar.

Perhutani menganggap bahwa kawasan yang digarap oleh petani Surokonto Wetan termasuk ke dalam kawasan seluas 400 hektar yang merupakan lahan tukar guling PT Semen Indonesia dengan tanah Perhutani di Rembang yang terkena proyek pembangunan pabrik semen.

Ketika kasus tersebut bergulir di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum menuntut ketiganya dengan tuntutan maksimal yakni pidana delapan tahun penjara dan denda sebesar Rp10 Miliar. Pada 18 Januari 2017, hakim mengabulkan tuntutan jaksa tersebut. Tak terima dengan putusan hakim, warga pun mengajukan banding dan meminta vonis terhadap ketiga rekan mereka dicabut.

Pada 30 Maret 2017, atas permintaan PN Kendal, dua dari tiga terdakwa tersebut yakni Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin resmi ditahan di Lapas Kendal. Sementara Mujiono tidak ditahan karena keberadaanya tidak diketahui oleh pihak kepolisian.

Pada 3 April 2017, putusan banding keluar namun hakim hanya memberikan pengurangan masa pidana kepada Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin. Saat ini, warga masih melakukan upaya hukum agar ketiga petani tersebut dibebaskan melalui kasasi di MA RI.

Baca juga:MA Didesak Setop Kasus Kriminalisasi Petani Surokonto Wetan

Baca juga artikel terkait KRIMINALISASI PETANI atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri