tirto.id - Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra menjelaskan, pertemuan yang dilakukan Ketua Umum (Ketum) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarno Putri mengisyaratkan dua hal penting.
Dua sinyal itu adalah agenda merapat ke koalisi dan kembali bersatunya kedua partai politik tersebut di periode mendatang.
"Jadi dua agenda penjajakan itu mungkin terjadi, Gerindra masuk koalisi petahana, atau sinyal PDIP dan Gerindra kembali bersatu untuk 2024," kata Dedi kepada wartawan Tirto, Jumat (26/7/2019).
Ia menjelaskan, pertemuan Prabowo dengan kubu pemerintah pada periode ini memperlihatkan sikapnya yang mulai melunak.
Setelah Gerindra menjadi oposisi selama 10 tahun, kini Prabowo lebih memprioritaskan kebutuhan partai. Apalagi setelah kubu oposisi pecah dan Gerinda mulai ditinggalkan partai pendukungnya.
"Pembubaran koalisi Adil Makmur bisa menjadi pemicu melunaknya Prabowo, karena di luar koalisi Prabowo lebih leluasa untuk mewakili dirinya dan Gerindra, tidak terbebani kepentingan mitra koalisi," tandas dia.
Ia melihat, sikap tersebut membuktikan bahwa Prabowo tidak lagi memprioritaskan dirinya. Untuk periode ini Prabowo akan lebih lunak untuk kebaikan partai politik yang dibangunnya.
"Kontestasi 2019 ini bisa dibilang sebagai arena terakhir keikutsertaan Prabowo sebagai Capres, meskipun tidak ada yang membatasi jika 2024 ia kembali maju, hanya saja semakin sulit meraih suara mengingat klimaks capaian politik Prabowo adalah tahun ini. Dengan asumsi itu, sedikit banyak pengaruhi sikap pragmatis Prabowo," pungkas Dedi.
Dari sejarah antara Prabowo dan Megawati. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 adalah tahun penting dari hubungan keluarga Sukarno dan Sumitro.
Ada pasangan Mega-Pro yang maju sebagai calon presiden dan wakil presiden waktu itu. Mega-Pro tentu mudah diingat orang, karena itu adalah salah satu merek sepeda motor rilisan Honda yang beredar luas di Indonesia.
Pada akhirnya, Prabowo harus mengalah dan membiarkan Megawati jadi "nomor satu" untuk sementara waktu. Dua pihak ini bahkan pernah mengikat diri dalam Perjanjian Batu Tulis yang diteken pada 16 Mei 2009 di Jakarta.
Poin pertama perjanjian itu membicarakan tentang siapa yang akan jadi presiden atau wakil presiden.
Poin kedua dan ketiga membahas tentang langkah-langkah yang dilakukan jika pasangan ini menang. Poin keempat: dua kubu berikrar akan saling dukung program partai.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno