Menuju konten utama

Pertarungan PGN-Pertamina di Holding BUMN Migas

Holding BUMN minyak dan gas (migas) jadi agenda pemerintah bertahun-tahun yang tak berkesudahan. Apakah akan terealisasi di akhir 2017?

Pertarungan PGN-Pertamina di Holding BUMN Migas
Seorang Awak Mobil Tangki (AMT) bersiap melakukan pengisian bahan bakar minyak ke dalam mobil tangki Pertamina di Terminal BBM Jakarta Group Plumpang, Jakarta Utara, Senin (27/11/2017). ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf

tirto.id - Dahlan Iskan kala duduk di kursi Menteri BUMN pada 2014 silam pernah berencana menggabungkan PT Pertamina (Persero) dengan PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk. Wacana yang muncul menggabungkan anak usaha Pertamina, Pertagas dengan PGN, atau membentuk holding BUMN Energi yang dipimpin oleh Pertamina, PGN sebagai anggotanya.

Namun, hingga akhir masa jabatannya selesai, Dahlan tak bisa merealisasikan gagasan itu. Bisa dibilang saat itu hanya gertak sambal agar kedua BUMN migas tersebut bisa berdamai dari perseteruan.

Perseteruan dimulai 2013, ketika Pertagas menuding PGN enggan menjalankan amanat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 19 Tahun 2009 tentang kegiatan usaha gas bumi melalui pipa. Aturan ini menyebutkan "dalam melaksanakan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa, sebuah badan usaha wajib menggunakan pipa transmisi dan distribusi yang tersedia untuk dapat dimanfaatkan bersama (open access) pada ruas transmisi dan jaringan tertentu."

Berdasarkan Permen ESDM itu, kemudian pada 2011 Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM mengeluarkan surat perintah agar seluruh pipa gas harus open access. Sayangnya, perintah tersebut tidak segera dilakukan oleh PGN dengan alasan butuh waktu persiapan. Kebijakan open access ditunda hingga 1 November 2012. Namun, setelah tenggat terlewati, PGN kembali meminta waktu satu tahun lagi karena masih dalam upaya persiapan.

Sikap PGN bukan tanpa alasan, sebagai perusahaan penyalur gas yang sudah banyak memiliki infrastruktur pipa tentu kebijakan Kementerian ESDM mengancam keberlangsungan bisnisnya. Pasalnya, penerapan open access justru menjadi celah trader gas untuk tidak membangun infrastruktur pipa penyalur gas dan memilih memanfaatkan milik PGN yang sudah ada.

Berawal dari perseteruan itu, Dahlan Iskan sempat mengkaji dua skema proses peleburan dua perusahaan tersebut. Skema pertama yaitu dengan dua tahap, PGN terlebih dahulu mengakuisisi Pertagas, kemudian disusul dengan akuisisi Pertamina terhadap PGN. Skema kedua, dengan cara Pertamina langsung membeli PGN, tapi dipastikan entitas PGN tetap eksis sebagai perusahaan energi.

Pemerintahan berganti, wacana penggabungan Pertamina dan PGN masih bergulir. Sejak awal era kepemimpinan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para menterinya untuk mengkaji lagi kemungkinan tersebut karena harga gas bumi Indonesia yang relatif mahal.

Pada November 2015, di atas KM Kelud dalam acara Rapat Koordinasi BUMN yang di pimpin Menteri BUMN Rini Soemarno, telah lahir sejumlah kesepakatan antara Pertamina dan PGN. Kesepakatan tersebut terkait roadmap sektor energi Kementerian BUMN, akan dikembangkan kluster BUMN energi yaitu PLN sebagai penyedia infrastruktur ketenagalistrikan, Pertamina sebagai pemain kunci di perminyakan, dan PGN di sektor industri gas.

Untuk sementara waktu, gagasan kluster ini menenggelamkan wacana holding yang pernah berhembus. Namun, tak berselang lama, setelah Edwin Hidayat Abdullah yang merupakan Deputi Kementerian BUMN perancang konsep kluster itu diangkat menjadi wakil komisaris Pertamina pada 29 Maret 2016, telah terjadi perubahan. Edwin kembali kepada wacana

akuisisi PGN oleh Pertamina, yang belakangan lebih dikenal dengan istilah holding BUMN Migas.

Pro dan kontra pun bermunculan, bagi yang sepakat, holding Migas akan efektif dalam mempercepat program pembangunan infrastruktur energi, menciptakan efisiensi dan melahirkan big company dengan nilai aset yang besar. Sedangkan bagi yang menolak, holding Migas sama sekali tidak memiliki urgensi yang tepat. Holding ini juga dinilai sebagai akal-akalan Kementerian BUMN untuk menyelamatkan Pertamina dari kondisi utang yang terus menumpuk.

"Dengan menyatukan bisnis yang mirip atau sama, banyak faktor bisnis yang bisa diefisienkan karena tidak tumpang tindih terutama dalam pasar yang sama. Pembiayaan pengembangan usaha juga tidak lagi menjadi masalah. Semakin kuat karena modal bisa semakin besar," kata Menteri BUMN Rini Soemarno seperti dikutip Antara.

Rini pun menargetkan holding ini dapat rampung di akhir 2017. Sebagai langkah percepatan, Rini mengirimkan surat kepada direksi PGN agar segera melakukan persiapan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).

"Sehubungan dengan rencana pembentukan holding BUMN Minyak dan Gas serta dengan mempertimbangkan telah disampaikannya kepada presiden Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penambahan penyertaan modal negara RI dalam modal saham perusahaan perseroan (persero) PT Pertamina, dengan ini kami minta agar saudara segera mempersiapkan dan melaksanakan RUPSLB PT PGN (Persero) Tbk dengan agenda perubahan anggaran dasar perseroan," tulis Rini dalam surat resmi tertanggal 28 November 2017.

Isi surat yang menyatakan telah menyampaikan kepada presiden ini cukup bertolak belakang dengan perkembangan terkini. Sampai saat ini jajaran Kementerian BUMN masih intensif menggelar koordinasi dengan Kementerian Keuangan, PGN dan Pertamina.

Hingga kemarin (6/12), kajian bisnis holding Migas masih dalam pembahasan. Menurut sumber Tirto dari internal Kementerian BUMN, hasil rapat memutuskan untuk memperdalam kembali kajian yang ada. Artinya, belum ada kajian final sebagai dasar pembuatan RPP holding migas yang sempat diklaim Rini sudah sampai presiden.

Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN, Edwin Hidayat Abdullah membenarkan adanya rapat tersebut di Kementerian BUMN, antara dirinya dengan Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu agar draf RPP dicek dan diharmonisasi agar diparaf menteri sebelum disampaikan ke presiden.

"Kajian Kementerian BUMN bersama Kemenkeu mengenai proses holding dan tindak lanjut holding sampai dengan integrasi bisnis Pertamina dan PGN. Ini sebenarnya sudah selesai beberapa waktu lalu tapi karena proses yang agak lama harus dimutakhirkan datanya," jelas Edwin.

Infografik LIka liku perjalanan holding BUMN

Setiap pembentukan holding BUMN memakai mekanisme payung hukum dengan dengan PP. Sama halnya dengan pembentukan holding BUMN pertambangan yang melahirkan PP Nomor 47 Tahun 2017 tentang penambahan penyertaan modal negara Republik Indonesia ke dalam modal saham perusahaan perseroan (persero) PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Holding BUMN ini tak semua pihak menanggapinya dengan positif. Ekonom Faisal Basri dalam tulisannya berjudul "Manuver Berbahaya Menteri BUMN" dalam situs faisalbasri.com menyayangkan upaya pembentukan holding. Bagi BUMN yang sudah sangat sehat tidak semestinya dicaplok oleh BUMN yang kurang sehat.

Bila alasan Kementerian BUMN membentuk holding migas demi menciptakan sinergi usaha yang lebih baik antar BUMN, sebaiknya cukup dengan PGN mengambil alih Pertagas. Namun, lain cerita bila terdapat tujuan lain seperti meningkatkan kapasitas berutang induk holding BUMN.

"Itu bukan merupakan insentif positif untuk mendorong manajemen secara sungguh-sungguh membenahi perusahaan. Doronglah BUMN mencari dana sendiri. Terbukti Pelindo III dan Pelindo II bisa meraup dana miliaran dolar AS," kata Faisal.

Namun, nampaknya cepat atau lambat holding BUMN bakal terjadi di perusahaan migas. Kementerian BUMN sudah mempersiapkan diri jelang target realisasi di akhir tahun. "Kami upayakan semua aspek terlaksana dengan baik. Termasuk aspek legal juga sosialisasi kepada berbagai pihak," kata Staf Khusus Menteri BUMN Bidang Komunikasi dan Media, Wianda Pusponegoro kepada Tirto.

Sebagai tahap pemanasan, Kementerian BUMN sudah berupaya mensinergikan Pertamina dan PGN. Salah satu sinergi yang sudah dilakukan antara lain percepatan Proyek Pipanisasi Duri-Dumai di Riau untuk memasok gas ke kilang minyak RU II Dumai, Perluasan penerapan open access dan membantu monetisasi cadangan gas di lokasi lokasi sumur gas terutama lapangan gas yang marginal.

Faktanya, sinergi tersebut tidak berjalan lancar. Saat peletakan batu pertama, kedua BUMN tersebut sempat bentrok lantaran berbeda pandangan. Pertamina ingin titik awal konstruksi dimulai di Dumai, sedangkan PGN ingin dilakukan di Duri sehingga kegiatan tertunda. Kementerian ESDM turun tangan, jalan tengah pun ditempuh, seremoni groundbreaking berlangsung di Kantor Kementerian ESDM.

Bagaimana sikap anggota holding merespons holding BUMN?

PGN misalnya, sudah legowo dan siap menjalankan apapun keputusan pemerintah selaku pemegang saham dalam proses holding BUMN, tapi PGN masih punya sikap. "Pembentukan holding migas sebagai salah satu cara menghindari duplikasi pengelolaan hilir gas bumi. Dengan holding, Pertagas akan dilebur ke PGN, kemudian PGN jadi anak usaha Pertamina," kata Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama dalam keterangannya kepada Tirto.

Namun, keinginan agar Pertagas akan dilebur ke PGN belum tentu disambut oleh Pertamina sebagai calon anggota holding lainnya. Tirto mencoba menanyakan ke pihak Pertamina soal sikap perseroan, melalui Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito, ia hanya menjawab singkat "saya belum dapat update tentang holding."

Dalam kesempatan berbeda, Edwin Hidayat Abdullah menegaskan skema holding akan mengarah pada Pertamina sebagai induk dari holding Migas dan PGN akan mengambil alih Pertagas. Menurutnya, sejauh ini Pertamina tak memberikan sikap penolakan soal itu. "Pertamina tidak pernah bilang tidak setuju di rapat," kata Edwin.

Pemerintah memang sedang mengebut pembentukan holding BUMN migas. Namun, apakah pembentukan holding menjawab target efisiensi dan mengakhiri perseteruan "minyak dan air" PGN-Pertamina?

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Dano Akbar M Daeng

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dano Akbar M Daeng
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra