Menuju konten utama

Personal Branding Kunci Sukses Make-Up Artist

Seni merias wajah telah dimulai sejak ribuan tahun lalu. Namun profesi make-up artist baru populer di abad ke-19 seiring berkembangnya industri film AS.

Personal Branding Kunci Sukses Make-Up Artist
Header Side Job Make Up Artist. tirto.id/Ecun

tirto.id - Siapa di sini yang tidak suka make-up atau tata rias wajah? Rasanya sebagian besar orang tentu menyukai hal tersebut. Tujuan dari tata rias wajah adalah memperindah diri, baik untuk menunjang kebahagiaan diri sendiri atau pun mengeluarkan kecantikan eksternal atau outer beauty. Selain itu tata rias tentunya juga bermanfaat meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Bukan begitu, ladies?

Lantas, orang yang melihat hasil dari tata rias akan mengatakan “wah.. cantiknya” atau “bagus banget eyeshadownya, beli di mana?” dan berbagai pujian lainnya yang menyenangkan hati. Pada dasarnya manusia memang lah makhluk yang menyukai estetika. Hal itu merupakan kodrat. Seperti apa yang dikatakan oleh Cassirer bahwa manusia adalah animal aestheticus.

Dan tentu saja, keindahan itu bersifat subjektif. Semua orang memiliki rasa dan persepsi akan keindahan yang berbeda-beda. Termasuk saya, secara pribadi menyukai gaya make-up yang terkesan natural dan tidak berlebihan. Saya selalu terharu ketika menghadiri undangan kawan saya yang menikah.

Ketika meliahat wajah mempelai perempuan yang biasanya saya temui, dan di hari itu saya merasa “Wah…cantik sekali…,” pangling saya dibuatnya. Tak hanya mempelai perempuan, rasanya hari pernikahan juga menjadi momen di mana pria dengan riang gembira bersedia untuk dirias wajahnya.

Menggunakan atribut yang mungkin sebagian besar tidak biasa digunakan setiap hari. Bagaimana tidak? Ini akan menjadi momen satu kali dalam seumur hidupnya. Di situlah saya berani menyampaikan bahwa “lo berhak ganteng di hari yang bakal dikenang seumur hidup.”

Itulah bagaimana estetika melalui tata rias wajah bisa memengaruhi hormon kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Organ mata memainkan peran penting dalam menentukan preferensi keindahan dari manusia yang berbeda-beda.

Ribuan tahun Make-Up Jadi Kebutuhan

Kini, make-up tidak lagi bisa dipisahkan dari masyarakat global, bahkan telah menjadi kebutuhan dan memiliki kekuatan tersendiri. Bobby Brown, seorang make-up artist asal Amerika Serikat berkata:

“Saya percaya bahwa semua wanita cantik tanpa riasan - tetapi dengan riasan yang tepat wanita bisa menjadi sangat kuat.”

Uniknya, seni merias wajah ini bukan lah hal baru yang melekat pada diri manusia. Tidak lagi berusia puluhan tahun, ratusan tahun, melainkan ribuan tahun! Sejarah mencatat bahwa kebiasaan melakukan make-up ini sudah melintasi banyak peradaban manusia.

Dilansir dari Halifax Public Libraries, tata rias wajah sudah dilakukan 6.000 tahun sebelum masehi oleh orang-orang Mesir. Mereka mempercayai bahwa tata rias wajah ini adalah bagian dari ketaatan terhadap dewa dan digunakan oleh semua kelas masyarakat.

Apa yang membedakan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin pada saat itu adalah wadah penyimpanannya. Masyarakat kaya menggunakan gading dan berbagai perhiasan untuk menjadi wadah peralatan tata rias. Sementara masyarakat miskin menggunakan pot tanah liat sebagai wadah alat tata rias mereka.

Beranjak ke abad ke-19 Queen Victoria justru tidak menyukai perempuan yang menggunakan make-up. Baginya perempuan tersebut dikategorikan sebagai unladylike dan vulgar. Di zaman tersebut, industri sektor prostitusi sedang meluas dan menjadi pertimbangan bagi Queen Victoria untuk mengeluarkan pernyataan tersebut.

Sementara, di Amerika Serikat pada abad ke-20, tepatnya tahun 1920an, banyak perempuan yang berlomba-lomba menggunakan make-up yang sama seperti bintang film saat itu. Inilah yang menjadi momen berkembangnya industri kecantikan dan make-up mulai dijual secara masif kepada publik sampai saat ini.

Di Negeri Paman Sam pula, profesi ahli tata rias mencuat. Berkembangnya industri film yang mengharuskan kamera merekam wajah artis secara close-up mendorong kebutuhan tenaga profesional untuk mendandani mereka dengan “benar.”

Akhirnya dua orang pemuda, bernama Maksymilian Faktorowicz dan George Westmore, yang saat itu berprofesi sebagai penata rambut dan pembuat kosmetik, turun tangan membantu para aktris.

Keahlian mereka kemudian menarik banyak permintaan dari industri perfilman dan teater. Hingga kini, kedua industri tersebut tetap berkontribusi paling besar membuka lapangan pekerjaan bagi make-up artist.

Tim MUA Pertama di Dunia

Tim MUA Pertama di Dunia. foto/www.leticiabishop.com/pinterest

Menjadi Make-Up Artist

Banyak yang berpikiran bahwa menjadi make-up artist, alias MUA, memerlukan sekolah kecantikan yang memakan biaya mahal. Musababnya, memiliki sertifikasi dan bukti pendidikan formal akan memberikan kredibilitas untuk menarik klien. Lalu, untuk mendapatkan title resmi itu, memang membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Sejatinya, hard skill dalam menggunakan peralatan sampai mengatur estetika dari hasil tata rias menjadi kunci dalam menggaet dan melekatkan klien. Sampai saat ini di Indonesia ada setidaknya lima sekolah formal yang menyediakan jurusan tata rias dan busana, di mana rata-rata membutuhkan waktu empat tahun untuk bisa lulus.

Seperti halnya kata pepatah “banyak jalan menuju Roma,” yang artinya jika satu jalan tertutup, maka masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh untuk meraih tujuan akhir. Pada era digital sekarang, mencari ilmu atau pun mempelajari kemampuan baru bisa ditempuh dengan berbagai jalur informal.

Ambil contohnya, melalui sekolah kursus kanal YouTube atau pun dengan mengikuti komunitas-komunitas yang berkaitan dengan dunia make-up. Biasanya ini dialami oleh para make-up artist yang berawal dari hobi dan menyadari bahwa tipe pekerjaan ini bisa menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan.

Dahulu mungkin, kita melihat bahwa ahli tata rias harus melekat dengan wedding organizer atau event organizer untuk bisa mendapatkan klien. Lalu hanya segelintir yang bisa memiliki nama besar sendiri.

Tetapi di era saat ini, justru MUA memiliki peluang untuk bisa mengembangkan jaringan kliennya menjadi sangat besar. Personal branding di media sosial menjadi kunci utamanya. Karena dengan personal branding keberadaan seorang individu di media sosial akan lebih mudah dicirikan.

Harvard Business Review menyatakan kalau personal branding ini bersifat intensional atau disengaja. Bagaimana kita ingin orang lain melihat kita dan nilai apa yang kita tawarkan kepada publik. Dengan variabel tersebut, maka itulah cara kita untuk bisa terhubung dengan audiens.

Salah satu make-up artist yang menerapkan konsep personal branding adalah Tara Marshall. Dalam instagramnya Tara memperlihatkan keahliannya, yakni make-up karakter dan self-make up.

Profesi yang dilakoni Tara ini sedikit berbeda dengan MUA pada umumnya yang merias seseorang untuk kebutuhan acara-acara penting. "Self make up artist nanti akan mengarah untuk menjadi Key Opinion Leader (KOL) untuk menarik brand di industri kecantikan dan kosmetik."

“Awalnya ini berasal dari hobi menggambar, terus ngonten ketika pandemi karena ngga ada kegiatan di luar rumah dan diunggah di Instagram,” ungkap Tara saat diwawancarari Tirto pda Sabtu (9/12/23). Hobi dirinya kemudian berbuah manis. Banyak yang tertarik dengan gaya Tara dalam merias diri. Ia bahkan sudah berhasil menggaet brand alat kecantikan profesional.

Namun kepercayaan dan kredibilitas itu tidak diraih dalam waktu singkat. Dimulai dengan membuat konten make-up Instagram, Tara juga aktif bergabung ke komunitas dan selalu mengikuti trending tata rias. Dirinya juga menambahkan bahwa penting untuk mengikuti kompetisi demi mengasah kemampuan.

"Selain itu yg ga kalah penting aku juga suka ikut kompetisi untuk mengasah, menilai & menunjukkan ke audiens sejauh mana kemampuan & kreativitasku dalam membuat make-up art, nah dari situ akan terbangun self branding," ujar Tara.

Potensi menjadi make-up artist ini masih sangatlah besar. “Pasarnya di Indonesia belum jenuh,” kata Tara. Dirinya meyakini kini akan selalu saja ada kebutuhan untuk merias diri, bahkan untuk moment keseharian. Sementara, apa yang dilakukan Tara selaras dengan kebutuhan theater and performance make-up artist.

Negeri Paman Sam, negara yang memulai profesi ini mencatatkan bahwa bekerja sebagai make up artist berpeluang mengantongi USD69.634 per tahun atau setara Rp1,09 miliar (asumsi kurs Rp15.600/USD). Dilansir dari Indeed, beberapa sub-bidang yang menghasilkan paling banyak uang mereka yang memiliki sertifikasi, seperti

  • Cosmetologist - USD69.634/tahun setara Rp 1,09 miliar
  • Film and TV Cosmetologist - USD76.670/tahun setara Rp1,2 miliar
  • Theater and Performance make-up artist - USD134.750/tahun setara Rp2,1 miliar

Sangat besar, bukan? Tentunya dilengkapi dengan ketekunan yang luar biasa, menjadi make-up artist merupakan pekerjaan yang menjanjikan.

Baca juga artikel terkait SIDE JOB atau tulisan lainnya dari Arindra Ahmad Fauzan

tirto.id - Bisnis
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas