Menuju konten utama

Pernyataan "Injak Kepala Islam Kalau Tak Pilih Jokowi" Keterlaluan

Ajakan Asep Saifuddin Chalim memilih capres dengan perumpamaan menginjak kepala dianggap keterlaluan dan tak patut diulang.

Pernyataan
Presiden Joko Widodo didampingi pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah, KH Asep Saifuddin Chalim tiba di Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (6/9/2018). ANTARA FOTO/Syaiful Arif/ama

tirto.id - Politik Indonesia mungkin tak akan bisa dilepaskan dari pernyataan-pernyataan kontroversial para aktornya. Selalu ada pernyataan sejenis ini hampir setiap hari.

Kali ini, pernyataan tersebut keluar dari Ketua Dewan Penasihat Jaringan Kiai Santri Nasional (JKSN) Asep Saifuddin Chalim saat berpidato dalam acara Deklarasi JKSN Wilayah DKI Jakarta di Istora Senayan.

Rabu (29/12/2018) kemarin, di depan ribuan orang, Asep mengajak seluruh umat Islam dan khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU) memilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Presiden 2019.

"Jika ada orang muslim yang memilih presiden bukan Jokowi, maka jangan salahkan ketika [disebut] telah menginjak kepalanya Islam. Karena kiai Ma'ruf Amin adalah kepalanya Islam. Beliau adalah ketua MUI [Majelis Ulama Indonesia]," ujarnya.

Ketika mendengar itu, beberapa wartawan yang meliput menggelengkan kepala, tanda heran. Sementara Khofifah Indar Parawansa, tokoh perempuan dan NU yang juga hadir, hanya cengar-cengir.

Deklarasi JKSN DKI Jakarta memang dimaksudkan untuk memberikan dukungan terhadap Jokowi- Ma'ruf. Yang hadir mencapai ribuan orang. JKSN merupakan jaringan organisasi relawan yang digerakkan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur terpilih, yang juga sekaligus menjabat Dewan Pengarah.

Asep Saifuddin juga menegaskan bagi warga NU yang tidak memilih petahana berarti sama saja menginjak-injak kepala NU.

"Jika ada orang NU yang tidak memilih Jokowi, jangan salahkan ketika mereka dikatakan sungguh mereka menginjak kepalanya NU. Jangan salahkan itu. Karena apa? Karena kiai Ma'ruf Amin adalah kepalanya NU," katanya.

Asep juga mempertanyakan sejumlah tokoh agama yang memutuskan mendukung capres dan cawapres selain Jokowi-Ma'ruf. Pernyataan ini merujuk kepada sejumlah tokoh yang menyelenggarakan ijtima ulama dan memutuskan mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Saya mempertanyakan dan saya heran kenapa masih ada ulama yang pilihannya dan doanya bukan kepada Pak Jokowi. Bukan ulama itu, bukan habaib," terangnya.

Keterlaluan

Direktur Wahid Institute Ahmad Suaedy mengkritik penyataan yang dilontarkan Asep Saefudin. Menurutnya itu sudah keterlaluan.

"Tidak boleh, lah, sejauh itu, siapa pun boleh memilih di antara dua pasangan itu. Bahwa kalau mau mengunggulkan kedua paslon boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai ke sana [menginjak kepala], terlalu jauh," katanya kepada reporter Tirto, Kamis (20/12/2018).

Bagi Ahmad Suaedy, pernyataan Asep Saifuddin sangat multitafsir dan salah satu tafsirnya adalah memperbolehkan kekerasan terhadap kelompok yang pandangan politiknya berbeda. Sementara seorang pemuka agama jelas tak boleh menganjurkan demikian. Oleh karena itu ia menyarankan Asep berpikir rasional.

"Sebaiknya rasional saja. Pernyataan itu tidak elok dan sebaiknya tidak dilakukan oleh siapa pun," ucapnya.

"Sebaiknya tidak diulangi. Menyebabkan kekerasan itu. Bahaya," ulang Ahmad Suaedy dengan nada tegas.

Menurut Ahmad Suaedy, warga NU dan pengurus PBNU juga akan meanggap pernyataan Asep Saifuddin berlebihan. Oleh karena itu menurutnya PBNU akan memperingatkan Asep Saifuddin. "Kita tunggu saja, karena itu berlebihan," katanya.

Sementara pengamat politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo mengatakan pernyataan Ketua Dewan Penasihat JKSN itu bisa diartikan dua hal. Pertama, pernyataan tersebut adalah bentuk counter discourse terhadap "pemimpin muslim" yang digaungkan kubu oposisi untuk menarik simpati massa nahdliyin—warga NU—agar memilih Prabowo-Sandiaga.

"Karena itulah pernyataan tersebut lebih berupaya untuk konsolidasi internal bagi nahdliyin agar tetap satu barisan di belakang NU," katanya kepada reporter Tirto.

Kedua, kata Wasis, pernyataan tersebut sebenarnya bagian dari perang simbol yang mengedepankan narasi hiperbola. Wasisto menerangkan itu sebelas dua belas dengan pernyataan Prabowo soal "negara punah" dan "Indonesia bubar 2030".

"Saya pikir pernyataan tersebut adalah bagian dari strategi politik," terangnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan & Haris Prabowo
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino