tirto.id - Sirajuddin Syamsuddin atau yang lebih dikenal dengan nama Din Syamsuddin meminta dua pasang capres-cawapres, juga tim sukses masing-masing, tak menggunakan istilah-istilah agama untuk menarik atensi masyarakat. Termasuk pemakaian istilah "khilafah".
Pernyataan ini adalah hasil Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI ke-37 yang diselenggarakan Rabu (27/3/2019) kemarin.
Dalam keterangan tertulisnya, seperti diwartakan Antara, Ketua Dewan Pembina Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini bilang meski di Indonesia sistem khilafah tak populer, namun ia tetap termaktub dalam Alquran.
Menggunakan istilah seperti khilafah juga seperti upaya mempolitisasi agama, dan itu bermakna jelek (peyoratif), kata Din. Lagi pula, sudah lama Pancasila dipahami sebagai 'Darul Ahdi was Syahadah' atau 'negara kesepakatan'.
Dengan begitu, kata Din, mempertentangkan khilafah dengan Pancasila adalah "upaya membuka luka lama dan dapat menyinggung perasaan umat Islam".
Menurut Kholid Syeirazi di Islami.co, Din sendiri adalah seorang profesor yang mengikuti pandangan simbiotik dalam melihat relasi agama dan negara. Ia melihat keduanya sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi saling mendukung.
Dimaklumi, juga Dinilai Politis
Pernyataan Din ini direspons sejumlah kalangan dengan nada yang berlainan. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Marsudi Syuhud, misalnya, tampak setuju dengan pandangan ini, terutama poin terkait politisasi agama.
"Dari awal kami, kan, sudah sepakat kalau kampanye itu adu program saja. Kalau menjelek-jelekkan terus kemudian dicarikan pembenaran pakai agama itu tidak luwes," kata Marsudi kepada reporter Tirto, Senin(1/3/2019).
"Kalau adu program, kan, sejalan dengan agama yang menyerukan masalah kemaslahatan," kata dia menambahkan.
Sementara fungsionaris PBNU lainnya, Masduki Baidowi, mengatakan pernyataan Din sendiri sebetulnya sudah politis, dan apa yang dia ucapkan adalah bagian dari "langka politis" yang sayangnya kurang tepat.
Wasekjen PBNU ini menilai seharusnya Din bicara hal lain, misalnya soal hoaks yang menyebut Joko Widodo adalah PKI.
"Isu Pak Jokowi PKI ada, kan? Ya kenapa Pak Din tidak mengklarifikasi fitnah itu, [malah] concern isu khilafah?" kata Masduki kepada reporter Tirto.
Sependek pencarian di Google News, Din memang tak pernah menyinggung perkara isu kebangkitan PKI, apalagi relasinya dengan Jokowi, secara langsung. Ia hanya pernah bilang kalau anak-anak PKI tidak mewarisi "dosa" orangtuanya. Satu lagi, ia juga pernah mengusulkan agar film G/30S/PKI diputar di mal.
Masduki menduga pernyataan Din dalam rangka merespons ucapan Hendropriyono beberapa waktu sebelumnya. Bekas Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu bilang kalau Pilpres 2019 adalah pertarungan ideologi Pancasila dan khilafah.
"Bahwa yang berhadap-hadapan adalah ideologi Pancasila dengan khilafah. Tinggal pilih yang mana. Rakyat harus jelas mengerti," kata Hendro.
Pendapat berbeda juga disampaikan pengamat politik dari UIN Syarief Hidayatullah, Adi Prayitno. Ia melihat tidak ada motif politis dalam ujaran Din, apalagi secara tersirat mendukung gerakan khilafah.
Menurut Adi, Din hanya sedang meletakkan kembali konsep kekhilafahan pada porsinya.
"Saya tidak melihat Pak Din itu dukung khilafah. Dia cuma ingin mendudukkan perkara kalau khilafah ini bukan urusan pilpres, khilafah ini terjadi jauh-jauh hari sebelum orang mengenal sistem politik modern seperti sekarang."
Namun, Adi sepakat jika tak perlu lagi sentimen-sentimen agama dipakai dalam pilpres, juga isu lain yang tak jelas dasarnya seperti kebangkitan PKI.
Seperti Hendropriyono, Din Syamsuddin sendiri sebetulnya pernah ada di dalam pemerintahan. Dia pernah menjabat utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antar-agama dan peradaban. Tapi pada Jumat, 21 September 2018, ia memutuskan melayangkan surat pengunduran diri.
Mengutip Tempo, dia keluar karena tak ingin umat dan ormas Islam terpecah. Alasan itu pula yang membuatnya menolak bergabung dengan tim pemenangan Jokowi. Organisasi yang pernah ia pimpin dulu, Muhammadiyah, juga menyatakan netral.
"Maka saya harus bersifat netral," katanya, di gedung DPR RI.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino