Menuju konten utama

Perluasan Ruang Kerja Anggota DPR: Pemborosan & Tak Mendesak

DPR ingin ruang kerja yang lebih luas. Formappi anggap itu pemborosan dan tak berbanding lurus dengan kinerja.

Perluasan Ruang Kerja Anggota DPR: Pemborosan & Tak Mendesak
Suasana Sidang Paripurna DPR di Komplek DPR, Jakarta, Selasa (17/7/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Permintaan penambahan fasilitas bagi anggota dewan nyaris selalu dihujani kritik karena dianggap tak sesuai dengan apa yang mereka hasilkan. Hal serupa terjadi saat mereka mau ruang kerja yang lebih luas.

Keinginan memiliki ruang kerja yang lebih luas--ada yang luasnya 4x8 meter, ada pula yang 7x4 meter--disampaikan Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI, Anton Sihombing, asal Golkar, kepada reporter Tirto.

"[Luas ruangan] tidak sesuai menurut saya, dirjen setara menteri saja [ruangannya] besar. Lurah juga [ruangannya] besar. Emang DPR, lurah? Tidak sesuai, kamar lurah saja lebih besar dari kamar DPR," katanya, Rabu (12/6/2019) kemarin.

Menurut Anton, satu ruang kerja tidak cuma diisi anggota legislatif, tapi juga ditempati staf dan tenaga ahli yang, contohnya Masinton Pasaribu, politikus PDIP, jumlahnya sampai 6-9 orang. Ruang Masinton terdapat di Lantai 8 Gedung Nusantara I, dengan luas 4x8 meter.

Dia juga sama seperti Anton, merasa ruang kerjanya tak layak.

Anton lantas mengatakan semestinya DPR diberi anggaran untuk membikin gedung baru--isu lama yang terus berulang sejak bertahun-tahun.

Usul ini lantas dikritik peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Dia bilang perluasan ruang kerja anggota DPR, selain pemborosan anggaran, juga bukan hal mendesak.

"DPR masih bisa bekerja layak dengan satu meja plus kursi yang bagus. Kan, untuk urusan lain semisal menerima warga dari dapil, bisa menggunakan ruangan-ruangan yang lebih besar di DPR," katanya kepada reporter Tirto.

Salah satu yang bisa dipakai, misalnya untuk menerima masyarakat, adalah operation room. Ruangan ini bisa dipakai mengikuti jam kerja yang berlaku di lingkungan Sekretariat Jenderal DPR, yaitu Senin-Jumat pukul 09.00-16.00.

Lucius juga merasa kalau penambahan luas ruang kerja tidak berbanding lurus dengan kinerja. Tahun lalu mereka menyebut DPR dalam masa sidang 1 tahun 2018-2019 adalah DPR dengan kinerja terburuk sejak reformasi. Salah satu indikatornya adalah minimnya UU yang mereka hasilkan.

Di bawah kepemimpinan Setya Novanto—dan kwartet Fahri Hamzah, Fadli Zon, Agus Hermanto dan Taufik Kurniawan—DPR memiliki target yang, sesungguhnya, tidak banyak-banyak amat: menetapkan 189 Rancangan Undang Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan 31 RUU Prolegnas Kumulatif. Jumlah RUU itu jauh menyusut dibandingkan periode 2009-2014 yang mencapai 247 RUU.

Dari risalah undang-undang yang dipublikasikan dalam laman dpr.go.id, hingga April 2019, lembaga negara ini hanya menghasilkan 26 UU, termasuk di antaranya Peraturan Pengganti Perundang-Undangan yang disahkan menjadi UU; atau rata-rata lima UU dalam setahun. Jika dibandingkan periode sebelumnya 2009-2014, yang menghasilkan rata-rata 10 UU per tahun, kinerja DPR menurun hingga 50 persen.

"Ditambah lagi dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi, DPR praktis masih sulit dipercaya. Ketidakpercayaan ini juga muncul ketika mereka meminta fasilitas baru justru di saat gagal meyakinkan publik," Lucius menambahkan.

Tanggapan Menkeu

Dalam rapat di ruang Banggar DPR, Selasa (11/6/2019) malam, Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi permintaan ini dengan nada negatif. Dia bilang, pemerintah akan selalu berhati-hati mengurusi keuangan negara dan ingin ada penghematan dari berbagai kementerian/lembaga, termasuk DPR, dalam RAPBN 2020.

"Kalau mau lebih ada konsekuensinya, ya. Defisit makin tambah, pajak harus makin tinggi, atau utangnya makin tinggi," katanya, mengutipCNBC Indonesia.

Pada satu sisi, kata Sri Mulyani, permintaan itu sebenarnya wajar, hanya saja kurang memperhatikan dan mengerti skala prioritas. Yang prioritas dilakukan, misalnya, pembangunan di daerah--yang menurut Sri Mulyani kerap dikeluhkan anggota legislatif itu sendiri di daerah pemilihannya.

Berdasarkan pernyataan ini, tampaknya memang ruangan dan gedung baru, seperti juga pada tahun-tahun sebelumnya, tak bakal terealisasi.

Anton lantas menanggapi pernyataan Sri Mulyani dengan mengatakan kalau "Menkeu kejam, tidak berperikemanusiaan." Dia menuduh lebih lanjut: "Jangan dia (Menkeu) anggap anggota DPR itu maling. Kami ini bekerja untuk kepentingan negara."

Baca juga artikel terkait DPR RI atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino