Menuju konten utama

Perkara Juru Parkir Liar, Jakarta Masih Belum Punya Solusi

Fenomena parkir liar di wilayah Jakarta sudah selevel dengan persoalan macet dan banjir.

Perkara Juru Parkir Liar, Jakarta Masih Belum Punya Solusi
Ilustrasi Tempat Parkir. ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)

tirto.id - Parkir liar, konon katanya, tidak akan bisa mati. Apalagi di Provinsi Jakarta, di mana urusan parkir bukan sekadar lahan cari duit, namun juga urusan kebanggaan dan kekuasaan. Jurus menyapu juru parkir (jukir) partikelir ini sudah berbagai cara. Sayangnya, bak cendawan di musim hujan, parkir liar tumbuh kembali dan lebih banyak.

Bisa dibilang Pemprov Jakarta kecolongan kalau terus membiarkan fenomena ini. Retribusi dari parkir liar tentu tidak masuk kantong pemerintah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menandakan kebocoran pemasukan yang terus dibiarkan. Tidak heran, Gubernur Jakarta, Pramono Anung, terkaget-kaget ketika mengetahui bisnis parkir liar ternyata sangat "cuan".

Bayangkan, pada 2022 saja, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) memperkirakan, duit yang bisa terkumpul dari parkir liar bisa mencapai Rp460 miliar setahun. Hal ini dihitung dari total 16.000 satuan ruas parkir (SRP) di badan jalan yang dulu liar dan sudah ditutup pemprov. Ini menunjukkan betapa menggiurkannya bisnis parkir tak resmi bagi para pengelola lahan ini, atau biasa disebut juga sebagai ‘pemegang wilayah’.

Bukan tanpa alasan, jamak diketahui publik, parkir liar berhubungan dengan premanisme. Itu juga yang membuat publik semakin gerah. Sebab, juru parkir liar kerap mematok biaya parkir yang tak masuk akal. Teranyar, viral kisah parkir liar di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang diduga meminta uang parkir sebesar Rp60 ribu per mobil. Kepolisian Sektor (Polsek) Metro Tanah Abang menahan para juru parkir liar itu setelah video tarif parkir yang sangat tinggi itu tersebar di media sosial Instagram @jakarta.terkini.

Pramono Anung jelas semaput. Ia memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) agar lebih gencar membenahi parkir liar, khususnya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ia bahkan menyindir agar Satpol PP jangan membubarkan warga yang berdemonstrasi di bahu jalan. Lebih baik, para anggota Satpol PP mengusir jukir liar yang meresahkan warga.

“Tugas utama saat Satpol PP bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian adalah menata urusan perparkiran. Jadi saya juga baru tahu parkir di Jakarta ini merupakan sumber penghasilan yang luar biasa bagi pengelola. Siapapun pengelola itu,” kata Pramono di Balai Kota Jakarta, Sabtu (19/4/2025) pekan lalu.

Penertiban parkir liar di Jakarta

Petugas Sudin Perhubungan Jakarta Selatan mengangkut sepeda motor yang parkir di bahu jalan ke atas truk di kawasan Gandaria City, Jakarta, Selasa (18/3/2025). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nz

Namun, penertiban yang dilakukan Satpol PP dan aparat penegak hukum jelas bukan obat ampuh menghilangkan praktik parkir liar. Pasalnya, razia atau penertiban sudah berkali-kali dilakukan, namun paling-paling cuma awet beberapa pekan. Jukir liar akan muncul lagi, dan lahan parkir tidak resmi akan kembali beroperasi.

Selevel Persoalan Macet dan Banjir

Pengamat Tata Kota, M Azis Muslim, menilai fenomena parkir liar di wilayah Jakarta sudah selevel dengan persoalan macet dan banjir. Artinya, ini sudah menjadi masalah langganan. Parkir liar, menurutnya, terus bermunculan karena memang adanya supply dan demand.

Bak botol ketemu tutup, parkir liar muncul juga diakibatkan lahan parkir resmi yang terbatas untuk diakses publik. Masyarakat sendiri, dengan membludaknya kendaraan pribadi, butuh lahan dan akses parkir yang cepat. Di situlah lahir juru parkir liar, beserta lahan-lahan kosong yang disulap menjadi tempat parkir.

Meskipun tak dapat dibilang kosong, banyak juga yang menyerobot trotoar dan bahu jalan. Keberulangan itu, kata Azis, makin terbuka dengan lemahnya pengawasan dari pemangku kebijakan dan aparat penegak hukum yang seharusnya melakukan tindakan.

“Penindakan yang lemah ini kan implikasinya menjadi terus berulang karena enggak ada efek jera gitu. Apalagi kalau disampaikan di situ bahwa yang dilakukan ini bukan merupakan sebuah kegiatan pelanggaran pidana,” kata Azis kepada wartawan Tirto, Senin (21/4/2025).

Menurutnya, warga perlu berkesadaran dengan tidak memanfaatkan lahan parkir liar. Namun, langkah ini perlu didukung dengan ketersediaan lahan parkir resmi yang aman dan nyaman dari pemda.

Azis menekankan, membiarkan parkir liar sama saja melubangi pemasukan yang harusnya bisa masuk ke kantong Pemprov Jakarta. Retribusi parkir liar, kata dia, cuma berputar paling tinggi ke ormas atau individu yang menjadi ‘beking’. Maka, diperlukan ketegasan Pemprov dan aparat penegak hukum untuk mengkategorikan parkir liar sebagai gangguan ketertiban umum.

“Jangan hanya come and go, karena kan seringkali razia itu dilakukan saat tertentu gitu kan. Hanya satu waktu setelahnya tidak ada, setelah tidak ada petugasnya tadi mulai marak lagi aktivitas juru parkir liar,” kata Azis menggambarkan pola berulang fenomena parkir liar.

Penertiban parkir liar di Jakarta

Petugas Sudin Perhubungan Jakarta Selatan mengangkut sepeda motor yang parkir di bahu jalan ke atas truk di kawasan Gandaria City, Jakarta, Selasa (18/3/2025). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nz

Senada, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai, ketika muncul permintaan parkir kendaraan, otomatis muncul parkir liar yang ada di jalanan. Ketika masih ada orang yang membutuhkan, lahan parkir terus menjadi rebutan dan menjelma bisnis yang menggiurkan.

Masyarakat yang membutuhkan lahan parkir, dihadapi situasi parkir liar dengan harga yang “masih terjangkau”, turut menyuburkan tingkat parkir liar di Jakarta. Dampaknya pendapatan pemprov dari parkir resmi terus-menerus kebobolan.

“Pemprov yang seharusnya mendapatkan retribusi parkir, malah tidak mendapatkan retribusi yang seharusnya. Pun saat menggunakan karcis pun masih banyak yang tidak disetorkan,” ujar Huda kepada wartawan Tirto, Senin.

Huda merasa penanganan persoalan harus dimulai dari sisi permintaan. Kebutuhan parkir harus bisa disediakan oleh pemprov dengan sistem yang ketat, misal dengan kartu. Ketika sudah tersedia lahan oleh pemprov, penegakan dilakukan terhadap kendaraan yang diparkir tidak pada tempatnya.

Tujuannya adalah mengendalikan dari sisi permintaan terhadap jasa parkir liar. Terpenting, pemprov perlu menyediakan transportasi umum yang terintegrasi agar jumlah pengguna kendaraan pribadi dapat ditekan.

“Denda hingga jutaan rupiah serta diderek dengan mobil dishub bisa lebih dimasifkan lagi,” kata Huda.

Di DKI Jakarta, sebetulnya sudah ada regulasi yang tertuang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran yang terbit pada 28 September 2012. Statusnya masih berlaku. Pasal 11 ayat Perda itu menyatakan penggunaan ruang milik jalan untuk fasilitas parkir hanya dapat diselenggarakan di jalan kolektor dan jalan lokal berdasarkan kawasan (zoning) pengendalian parkir.

Penggunaan ruang milik jalan untuk fasilitas parkir tersebut ditetapkan oleh Gubernur. Selain itu, parkir di ruang milik jalan sekurang-kurangnya memiliki sarana rambu lalu lintas yang menunjukkan tempat parkir; rambu yang menerangkan golongan tempat parkir dan tarif layanan, serta adanya karcis parkir.

Juru parkir liar tentu melanggar ketentuan ini karena mengabaikan aturan dan syarat untuk mengelola lahan parkir. Dalam Perda Perparkiran, ada mekanisme sanksi atas perbuatan itu yakni sanksi administratif dan denda paling banyak Rp50 juta rupiah.

Merugikan Konsumen dan Pemprov Jakarta

Anggota DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth menyatakan membenahi juru parkir liar di Jakarta, seperti di daerah Pasar Tanah Abang, memang bukan urusan mudah. Menurutnya, butuh edukasi, pembinaan dan pendekatan secara sosial yang harus diterapkan. Sebab, ini sudah menjadi fenomena berulang yang meresahkan warga.

Misalnya di Tanah Abang, kata dia, parkir liar membuat pejalan kaki terhambat dan memicu kemacetan panjang. Ia mengakui, parkir liar akan hilang sementara ketika petugas merazia. Namun setelah petugas beralih ke wilayah lain, parkir liar beraksi lagi.

"Mereka datang lagi dan memarkirkan kendaraan di lokasi tersebut," ujar Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta ini lewat keterangan tertulis, Senin (21/4/2025).

Razia juru parkir liar di Jakarta

Petugas Satpol PP bersama Dinas Perhubungan (Dishub) melakukan razia juru parkir liar di Jakarta, Rabu (15/5/2024). ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga/Spt.

Ia mendorong Pemprov Jakarta melakukan pendekatan metode kombinasi lewat penegakan hukum, penyediaan fasilitas, dan edukasi masyarakat. Tapi secara umum, kata dia, jukir liar bisa dikenakan sanksi administratif, pidana ringan, atau denda.

Namun apabila jukir liar memaksa orang bayar parkir di muka umum tanpa izin, bisa masuk kategori pemerasan pasal 368 KUHP. Kent meminta Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan jajaran suku dinasnya di lima kotamadya agar rajin melakukan patroli. Ia juga menyarankan agar memetakan permasalahan parkir liar di setiap wilayah, terutama wilayah rawan macet.

“Pemprov DKI Jakarta harus benar-benar serius berbenah dalam hal ini, agar para pengendara dan pejalan kaki bisa mendapatkan haknya dengan layak,” tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Syafrin Liputo, sudah buka suara soal video viral di media sosial yang menunjukkan seorang warga harus membayar biaya parkir mencapai Rp60 ribu di kawasan Pasar Tanah Abang. Syafrin mengatakan, pihak Dishub Jakarta sebetulnya sering melakukan penertiban terkait praktik parkir liar di sekitar kawasan Pasar Tanah Abang.

Meski begitu, Syafrin mengakui, praktik parkir liar kembali terjadi begitu petugas Dishub meninggalkan area Pasar Tanah Abang. Syafrin menjelaskan, juru parkir liar di kawasan Tanah Abang sengaja meminta pengunjung membayar parkir di awal, agar ketika petugas Dishub datang, mereka bisa langsung melarikan diri seraya mengantongi uang parkir.

“Setelah ditertibkan, petugas kembali ke pos, itu terjadi yang namanya timbul 1-2 orang untuk melakukan pengaturan [parkir liar],” jelas Syafrin.

Dari respons Pemprov Jakarta sejauh ini, jelas tampak ada kebuntuan memformulasikan jurus andal dalam membenahi fenomena parkir liar. Ini tentu merugikan publik. Sebab, warga yang memarkirkan kendaraan di lahan parkir tak resmi juga amat rawan tak mendapatkan haknya ketika terjadi insiden.

Misal, ketika kendaraan hilang atau tempat parkir terbakar, pengelola lahan parkir liar sangat besar kemungkinan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Jika pada parkir resmi, dalam Bab 2 Pasal 4 Pergub Nomor 120 Tahun 2012, diatur bahwa tarif parkir sudah termasuk pajak parkir, dan jaminan keamanan atas risiko kehilangan, serta kerusakan kendaraan di tempat parkir menjadi tanggung jawab pengelola parkir.

Ketua Indonesia Parking Association (IPA), Rio Octaviano, menyatakan bahwa persoalan parkir liar sudah mendesak untuk ditangani Pemprov Jakarta. Parkir liar, kata dia, cuma bisa diselesaikan dengan komitmen pemerintah daerah dan kerja sama lintas sektoral. Parkir liar sudah menjadi arena perebutan pendapatan ‘penguasa wilayah’ sehingga tidak heran bisnis ini terus berkembang.

Ia menyarankan agar Gubernur Jakarta Pramono Anung untuk duduk bersama warga dan tak cuma mendengar laporan dari anak buahnya. Dengan begitu, dapat dicari akar masalah dari parkir liar, yang sebetulnya tak jauh-jauh dari persoalan ekonomi dan krisis lahan parkir.

“Parkir liar pasti menyebalkan, karena tidak terkoordinasi dengan baik. Parkir liar dengan pungutan, itu menjadi tindak pidana pemerasan,” ucap Rio kepada wartawan Tirto, Senin (21/4/2025).

Baca juga artikel terkait PARKIR atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty