tirto.id - Bagi orang Adighe, Olimpiade Musim Dingin 2014 yang digelar di Kota Sochi, Rusia, tak lebih dari sebuah pesta penghinaan. Pesta olahraga itu diadakan bertepatan dengan peringatan 150 tahun pembersihan etnis dan genosida Adighe pada 1867 yang masih belum diakui oleh pemerintahan Rusia. Pemerintahan Moskow juga dianggap gagal mempromosikan identitas Adighe selama gelaran Olimpiade.
"Mereka mencoba melupakan kami, seolah-olah kami bahkan tidak pernah tinggal di sana," kata Abdullah Makhmudovic Berisov kepada CNN. Berisov, 67 tahun, adalah seorang Adighe yang berprofesi sebagai arsitek.
Berisov tak sendirian. Sheomir Guchepshoko, seniman pelukis pasir berdarah Adighe harus kecewa melihat narasi pembukaan Olimpiade Sochi yang sama sekali tak menyebut sejarah orang-orang Adighe yang menjadi penduduk asli di wilayah Kaukasia Utara tersebut.
"Itu tanah kami," katanya, "tetapi selama pembukaan Olimpiade, mereka bilang itu tanah Yunani, dan kemudian setelah itu tanah Rusia. Mereka tidak mengatakan apa-apa tentang bagian Sirkasia (Adighe) dari sejarah Rusia. Dan itu benar-benar menyakitkan," ujar Guchepshoko kecewa.
Sochi yang menjadi kota tuan rumah Olimpiade 2014 adalah tanah air bagi penduduk asli suku Ubykh yang kini jumlahnya sangat sedikit dan terancam punah. Ubykh adalah salah satu dari 12 suku bangsa Adighe. Bahkan yang lebih membangkitkan kegeraman orang Adighe adalah bahwa arena olahraga ski yang dibangun di Krasnaya Polyana adalah situs kuburan massal orang-orang Adighe yang gugur setelah diperangi oleh pasukan Tsar Rusia.
Protes tak cuma dilayangkan oleh orang Adighe di Rusia. Para diaspora Adighe di seluruh dunia serempak menggulirkan kampanye "No Sochi" sebagai bentuk perlawanan terhadap penyelenggaraan Olimpiade Sochi. Diwartakan NBC News pada 2014, di London, Vanouver dan di kantor PBB di New York, para pemrotes melayangkan surat terbuka kepada Komite Penyelenggara Internasional Olimpiade agar menyoroti sejarah pembersihan etnis.
Adighe adalah julukan lain untuk orang Sirkasia. Etnis Adighe terdiri atas 12 suku. Masing-masing suku ini bermukim wilayah kekuasaannya sendiri yang membentang di Kaukasus Utara dan pantai timur Laut Hitam. Keduabelas suku Adighe dilambangkan dengan 12 bintang emas yang ada di bendera nasional Republik Adyghea yang berwarna dominan hijau.
Penaklukan yang Terus Diingat
Encylopaedia Britannicamencatat, sejak zaman kuno, wilayah Sirkasia yang eksotis nan subur dengan pegunungan Kaukasus yang menjulang dan hamparan Laut Hitam yang indah telah menjadi daerah rebutan kekaisaran-kekaisaran besar di wilayah Asia dan Eropa. Wilayah itu secara bergiliran telah diduduki imperium Romawi, Khazar, Mongol, Tatar Krimea, Turki Utsmani dan terakhir Tsar Rusia.
Di era Tsar Rusia inilah nasib bangsa Sirkasia berubah drastis. Pada pertengahan abad ke-19, imperium Tsar Rusia berusaha memperluas wilayahnya ke selatan dan menargetkan wilayah Kaukasus tempat orang Sirkasia bermukim yang sebelumnya berada di bawah pengaruh Kekhalifahan Turki Utsmani. Para sejarawan umumnya menyepakati pembangunan benteng Mozdok di Kabardia oleh Rusia pada 1763 sebagai permulaan Perang Rusia–Sirkasia.
Tindakan Rusia menaklukkan tanah Kaukasus Utara ini mendapat restu dari Turki Utsmani, merujuk pada perjanjian Küçük Kaynarca pada 1774 dan Perjanjian Adrianople 1829 yang membahas soal pengakhiran Perang Rusia - Turki dan perubahan wilayah kekuasaan.
Perang Rusia-Sirkasia berlangsung lama. Butuh waktu lebih dari dari seabad untuk menaklukkan suku-suku lokal Sirkasia yang mayoritas beragama Islam. Meski keislaman orang Sirkasia dipengaruhi oleh Kekhalifahan Utsmani pada abad ke-17, tetapi orang-orang Sirkasia tak pernah merasa wilayahnya berada di bawah kendali penuh Utsmani. Walhasil, meski Rusia mendapat restu dari Turki Utsmani, orang Sirkasia tak mau tunduk dan melawan dengan sengit di bawah kepemimpinan Shamil, seorang imam Chechnya dan Dagestan.Rusia memandang penduduk yang mendiami Kaukasus Utara ini sebagai suku-suku barbar dari pegunungan. Walter Richmond dalam bukunya berjudul The Circassian Genocide (2013) menjelaskan, orang-orang Rusia sendiri pada 1840-an menjuluki suku-suku yang menetap di Kaukasus Utara itu sebagai "khishchniki" yang berarti pencuri atau perampok karena dianggap telah menyerang benteng Rusia. Sementara julukan yang lebih populer dipakai oleh Rusia adalah Cherkes (Sirkasia) yang berarti orang gunung.Sejak 1830-an, aksi kejahatan perang yang dilakukan pasukan Rusia terus meningkat sampai berakhirnya perang pada 1864 dan Kaukasia Utara jatuh di tangan Rusia. Akibatnya, terdapat sekitar satu juta orang Sirkasia yang dipaksa pergi dari tanah kelahirannya dan menyeberangi Laut Hitam menggunakan perahu menuju wilayah Anatolia di Turki Utsmani atau ke wilayah Balkan. Dalam proses pembersihan etnis itu, sekitar 30 sampai 50 persennya mati karena kelaparan, penyakit, atau dianiaya.
Populasi Sirkasia pada 1860 berkisar 1,25 sampai 1,5 juta. Setelah perang dan pembersihan etnis 1864, sulit dipastikan berapa banyak orang Sirkasia yang tersisa di Kaukasus Utara. Rusia mencatat masih ada 106.798 orang Sirkasia, sedangkan para sejarawan memperkirakan jumlahnya tinggal 40.000 sampai 60.000 jiwa.
Rusia masih menganggap sisa-sisa orang Sirkasia sebagai musuh. Meski perang sudah berakhir, Kaukasus Utara masih menjadi daerah operasi militer selama beberapa dekade dan melakukan serangkaian intimidasi. Dari peristiwa itulah muncul tuduhan bahwa Kekaisaran Rusia telah melakukan kejahatan perang berupa pembersihan etnis dan genosida terhadap bangsa Adighe Sirkasia.
Wilayah Sirkasia kini masuk dalam peta Federasi Rusia. Mayoritas orang Adighe di Rusia yang masih tersisa bermukim di Republik Adyghea, Republik Karachay-Cherkessia dan di Republik Kabardino-Balkaria. Populasi Sirkasia yang lebih besar justru bisa ditemukan di Turki (2.000.000), Israel (3.000), Amerika Serikat (5.000), Suriah (30.000), dan Yordania (126.000).
Asa Membangun Tanah Air Sirkasia
Istilah genosida Sirkasia mulai menggema pada akhir abad ke-19 di tingkat regional maupun global. Maja Catic dalam "Circassians and the Politics of Genocide Recognition" (2015) menyebut, bila dibandingkan dengan kelompok etnis lain yang mengalami nasib serupa, orang Sirkasia agak terlambat menyadari bahwa peristiwa yang menimpa leluhurnya dan sangat mempengaruhi masa depan Sirkasia adalah bagian dari tindakan genosida.
Sejak melek sejarah, ikatan identitas etnis orang Sirkasia sedunia menguat dan memantik api nasionalisme. Pada awal 1990-an, menjelang runtuhnya Uni Soviet, orang Sirkasia mulai berani menyerukan agar semua diaspora Sirkasia pulang ke tanah air sekaligus meningkatkan penggunaan bahasa Sirkasia. Orang Sirkasia juga membentuk Asosiasi Sirkasia Internasional (ICA) yang secara aktif terlibat menciptakan agenda-agenda baru bagi gerakan nasional Sirkasia.
Dalam catatan Ivlian Haindrava, direktur program studi Kaukasus Selatan di Republican Institute yang berbasis di Tbilisi Georgia, orang Sirkasia terus mengkampanyekan agar pembantaian 1864 diakui sebagai genosida sejak 1996-an.
Misalnya pada April 1996 Dewan Negara Republik Adighe menyurati parlemen Rusia agar mengakui peristiwa genosida tersebut. Atas prakarsa ICA, Sekjen PBB untuk Organisasi Bangsa dan Rakyat yang Tidak Terwakili (UNPO), Michael van Walt van Praag menyurati Egor Stroyev selaku Dewan Federasi Rusia pada 1997 guna meminta Rusia untuk tidak hanya mengakui genosida Sirkasia 1864, tetapi juga membiarkan para diaspora Sirkasia untuk kembali ke tanah air mereka.
Pada Oktober 2006, sebanyak 20 organisasi sipil Adighe dari sejumlah negara mengajukan permintaan pada Parlemen Eropa untuk mengakui peristiwa genosida. Sebulan kemudian, organisasi Adighe di Karachaevo-Cherkessia dan Kabardino-Balkaria mengajukan permintaan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mengakui hal yang sama.
Georgia menjadi negara pertama di dunia yang mengakui genosida orang Sirkasia pada 2011. Namun, Moskow memandang pengakuan Georgia tak lebih dari langkah balasan atas Perang Ossetia Selatan 2008 di mana Rusia mendukung penuh kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abhkazia.
Sejauh ini Rusia masih terus menyangkal tuduhan genosida yang pernah dilakukan oleh pemerintahan pendahulu. Sepanjang sejarah Federasi Rusia (berdiri sejak 1991) hanya Boris Yeltsin selaku presiden Rusia pertama yang mengakui pembersihan etnis Sirkasia.
"Perang Kaukasia yang menyebabkan hilangnya banyak nyawa dan materi hari ini bergema di hati banyak orang Rusia," kata Yeltsin pada 18 Mei 1994. Namun pesan pengakuan Yeltsin itu tidak memuat konsekuensi apapun, termasuk perihal permintaan maaf dan pemenuhan hak-hak korban.
Nasionalisme Sirkasia masih berkobar hingga sekarang. Pada Maret 2019, sekelompok aktivis Adighe mengumumkan pembentukan organisasi baru bernama Dewan Koordinasi Aktivis Sirkasia di Cherkessk, ibu kota Republik Karachay-Cherkessia. Dilansir dari Open Democracy, salah satu prioritas dewan baru itu adalah mendukung kampanye penghapusan penggunaan istilah etnis yang membagi orang-orang Sirkasia menjadi empat kelompok yang berbeda: Adighe, Kabardian, Shapsugh dan Cherkess.
Bagi mereka, pembagian istilah etnis tersebut adalah warisan dari kebijakan Uni Soviet. Ketika itu, pada 1920-an saat Soviet baru berdiri, otoritas Moskow berusaha untuk secara simbolis dan administratif memecah sisa-sisa orang Sirkasia yang masih bertahan di tanah leluhurnya di wilayah Kaukasus Utara.
Sampai saat ini, kata Sirkasia sendiri masih dianggap bernuansa politis. Misalnya jika seseorang menyebut diri mereka sebagai seorang Cherkess ketimbang seorang Rusia, dan tidak sedang tinggal di wilayah Karachay-Cherkessia. Bahkan jika yang berbicara adalah seseorang yang tidak tertarik pada politik sekalipun, Sirkasia akan tetap dipandang sebagai kata yang mengandung identitas nasionalisme yang kuat melawan penyeragaman budaya di Rusia.
Editor: Windu Jusuf