tirto.id - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengakui kalau Indonesia kalah bersaing dari Vietnam di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Ia bahkan menyebut Indonesia sudah lama tertinggal karena pemerintah terlambat meneken perjanjian perdagangan.
Akibatnya, kata Enggar, perdagangan Vietnam memiliki market share sangat tinggi di antara negara pengekspor ke Amerika. Jumlahnya melampaui yang bisa diraih Indonesia saat kekosongan porsi Cina di Amerika diperebutkan oleh berbagai negara ASEAN lainnya.
“Ya benar [Indonesia kalah]. Ada benarnya. Bukan trade war-nya saja. Mari kita jujur. Kami ditegur presiden bahwa kita ketinggalan dengan Vietnam karena mereka sudah lebih dulu membuat perjanjian perdagangan,” ucap Enggar kepada para pewarta, di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Enggar menyatakan, salah satu keunggulan Vietnam berkat perjanjian dagang itu adalah negara tersebut memperoleh tarif yang jauh lebih rendah dari negara-negara lainnya. Alhasil, kata Enggar, Indonesia wajar tidak bisa bersaing.
Apalagi, kata Enggar, Indonesia baru menyeriusi perjanjian dagang dalam 10 tahun terakhir. Akibatnya, kalah bersaing dengan Vietnam dalam mengejar pasar di Amerika. Tak hanya itu, Enggar menyebutkan Indonesia ternyata juga tertinggal dari Malaysia dalam perdagangan dengan Turki dan India.
“Itu karena mereka ada perjanjian perdagangan. Jadi benar gimana mau berkompetisi kalau tarif mereka sudah lebih rendah dari kita. Jadi susah,” ucap Enggar.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana pun tak bisa menyebutkan secara rinci perjanjian perdagangan mana yang dimaksud Enggar belum ditandatangani.
Ia hanya memastikan bahwa saat ini pemerintah masih berupaya merampungkan perjanjian yang sedang dinegosiasikan. Ketika ditanya jumlah yang belum rampung, ia berdalih tidak bisa menyebutkan angka pastinya.
“Kami banyak yang lagi on going process perjanjian. Sudah beberapa kami selesaikan. Nah kami mau kejar tahun ini,” ucap Wisnu kepada wartawan saat ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, pada Selasa (20/8/2019).
Akan tetapi dalam konteks perdagangan Amerika yang menjadi tempat Indonesia-Vietnam bersaing, Wisnus menyebutkan tidak ada perjanjian yang dibuat. “Kalau Amerika, ya enggak ada lah,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam website treaty room mencatat terdapat total 94 perjanjian perdagangan yang dimiliki Indonesia. Namun, hanya terdapat 4 perjanjian antara Indonesia dengan Amerika Serikat dalam bentuk bilateral maupun bentuk lainnya.
Sementara itu, selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo per 2015 sampai Selasa (20/8/2019), Kemenlu hanya mencatat sekitar 19 perjanjian dagang. Dari 19 perjanjian itu, 16 tidak memerlukan ratifikasi dan hanya 3 yang benar-benar telah diratifikasi.
Namun, tak satu pun perjanjian itu mengatur kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Mudradjad Kuncoro mempertanyakan pernyataan Enggar yang menyalahkan perjanjian dagang. Menurut dia, seharusnya Enggar sadar bahwa itu adalah tanggung jawabnya selaku menteri perdagangan.
“Kalau belum ditanda-tangan itu tugasnya beliau. Tugasnya pak menteri. Kalau itu belum tuntas itu, kan, PR-nya dia kenapa enggak dituntaskan dari dulu,” ucap Mudradjad saat dihubungi reporter Tirto.
Mudradjad menyatakan sebagai bentuk pertanggungjawaban, Enggar seharusnya bisa menyebutkan perjanjian apa saja yang ia sebut belum diratifikasi. Bila perjanjian yang berhasil dibuat ternyata sedikit, kata dia, Enggar harus bisa menjelaskan penyebab hal itu bisa terjadi.
“Beliau harus menjelaskan. Dengan kata lain, kan, dia enggak berhasil merancang perundingan atau trade agreement,” ucap Mudradjad.
Mudradjad menambahkan bahwa perjanjian dagang bukan satu-satunya penentu kinerja perdagangan Indonesia. Sebab, kata dia, di tengah perang dagang ini, Indonesia justru berpeluang besar karena memiliki produk yang dapat dikirim ke Amerika dan Cina sekaligus.
Hanya saja, Mudradjad mendapati neraca perdagangan yang semula surplus selama 2015-2017, menjadi defisit pada 2018 di angka 8,7 miliar dolar AS. Bila berkaca pada kejadian ini, diduga pemerintah memang tidak memanfaatkan dengan baik kesempatan yang dimiliki selama perang dagang.
“Saya kira bukan enggak ada agreement. Kita memang kurang cepat merespons perang dagang ini,” kata Mudradjad.
Hal senada diungkapkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah. Ia menyatakan klaim Enggar tidaklah benar. Sebab, persoalan perjanjian bukan alasan daya saing Indonesia rendah.
Piter membenarkan bahwa Vietnam dan Amerija masuk dalam perjanjian perdagangan pasifik. Namun, kata dia, perjanjian itu belakangan memang sudah luntur saat Donald Trump menggantikan Barrack Obama sebagai presiden.
“Kalau klaim karena Vietnam memiliki perjanjian yang masuk di dalam kerja sama sehingga membuat jadi lebih memiliki daya saing tidak sepenuhnya seperti itu. Saya tidak sependapat," ucap Piter saat dihubungi reporter Tirto, Selasa kemarin.
Piter menuturkan Vietnam memang memiliki daya saing lebih baik dari Indonesia, tetapi ia memastikan itu bukan terkait perjanjian dagang.
Menurut Piter kalahnya daya saing lebih pada persoalan produk. Baik Indonesia maupun Vietnam memiliki produk-produk yang mirip seperti elektronik, alas kaki hingga tekstil dan berpotensi sanggup menggantikan kekosongan Cina.
Namun, kata Piter, produk milik Indonesia jadi kalah bersaing karena persoalan domestik. Mulai dari seteknis ketenagakerjaan sampai kebijakan ekspor-impor yang tidak selaras dengan kebutuhan industri.
Misalnya impor bahan baku yang memukul industri tekstil, lalu minimnya dukungan domestik baik perizinan maupun kepastian hukum pada investasi yang masuk sehingga tidak banyak menyumbang perbaikan produktivitas industri di Indonesia.
“Kita ada masalah domestik yang membuat kita kalah bersaing. Jadi bukan semata karena perjanjian kerja sama yang menyebabkan kita kalah daya saing,” kata Piter menambahkan.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz