Menuju konten utama

Indonesia Masuk RCEP, Blok Dagang Terbesar. Benarkah Menguntungkan?

Pengamat ekonomi menilai RCEP, blok dagang terbesar, justru potensial membuat produk impor lebih banyak masuk ketimbang ekspor.

Indonesia Masuk RCEP, Blok Dagang Terbesar. Benarkah Menguntungkan?
Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin tiba di lokasi pembukaan masa persidangan I DPR tahun 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras.

tirto.id - Indonesia resmi menandatangani perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) bersama seluruh negara ASEAN lain plus Cina, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia, Minggu (15/11/2020) lalu. RCEP diyakini mengalahkan Trans Pacific Partnership (TPP) yang ditinggalkan Amerika Serikat era Donald Trump dan menjadi blok dagang terbesar di dunia.

Seperti perjanjian lain, RCEP memungkinkan penghapusan berbagai hambatan perdagangan internasional, baik tarif dan non-tarif, di antara para anggotanya.

Bersamaan dengan itu klaim potensi keuntungan yang bakal didapat pun muncul. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, misalnya, mengatakan perjanjian dagang ini dapat dimanfaatkan pelaku usaha terutama saat dunia tengah dilanda pandemi. Ia juga memastikan kesepakatan dagang tidak akan membuat Indonesia kebanjiran produk impor. Sebaliknya, justru bakal mampu meningkatkan ekspor hingga 7,2%. “Impor tidak mungkin akan banjir. Kami, beberapa negara ASEAN, sepakat supaya ada keseimbangan antara impor, yaitu trade balance,” ucap Agus, Selasa (10/11/2020).

Namun Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad ragu dengan klaim tersebut. “Kita sudah kedodoran. Kalau mau tanda tangan, perlu memastikan kita itu benar dapat manfaat,” ucap Tauhid kepada reporter Tirto, Jumat (13/11/2020) pekan lalu.

Ia lantas menjabarkan bagaimana ekspor terus melesu dan industri dalam negeri tumbuh melambat tiap tahun, bahkan sebelum COVID-19 menerjang.

Menurut Bank Dunia, perlambatan perdagangan Indonesia sudah terjadi sejak 2018. Saat itu nilainya hanya tumbuh 2,57%, di bawah pertumbuhan global sebesar 3,5% sekaligus melambat dari 2017 yang mampu mencapai 7,78%. Selama 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor mencapai 167,53 miliar dolar AS, terkontraksi 6,94% dari 180 miliar dolar AS selama 2018. Kemudian, ekspor selama Januari-Oktober 2020 hanya mencapai 131,54 miliar dolar AS atau terkontraksi 5,58% dari posisi yang sama di 2019, yaitu 139,31 miliar dolar AS. Catatan terakhir dipengaruhi pandemi COVID-19.

Pertumbuhan investasi industri pengolahan yang menyumbang sekitar 80% ekspor juga terus turun. Dari Rp335,8 triliun atau 54,8% total investasi pada 2016 menjadi Rp274,7 triliun atau 39,7% (2017), kemudian Rp222,3 triliun atau 30,8% (2018), hingga Rp215,9 triliun atau 26,7% (2019).

Bukti lain terlihat dari kurang maksimalnya pemanfaatan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang belum lama ini diperpanjang AS. Dari 3.572 pos tarif, Indonesia hanya menggunakan 729 saja.

Atas dasar itu semua, seperti dikhawatirkan banyak pihak tapi disanggah Mendag Agus, Tauhid menilai karena perjanjian ini ada potensi lebih banyak barang impor. Hasilnya, neraca perdagangan yang akan jadi korban dengan skenario terburuk mengalami defisit yang cukup parah.

Kekhawatiran terhadap lonjakan impor juga disampaikan ekonom senior United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) Rashmi Banga. Dengan asumsi seluruh tarif dihapus untuk semua produk di antara negara RCEP, ia menghitung impor negara ASEAN akan naik lebih tinggi melampaui ekspor dan berujung pada pemburukan neraca perdagangan. Menurutnya, hal ini sangat mungkin terjadi karena sebagian besar negara tidak memiliki daya saing sehebat Cina sehingga ekspor mereka akan relatif tertahan sementara impor terus berjalan.

“Akses akan dimiliki produsen dan eksportir yang lebih efisien. Tapi seberapa banyak negara ASEAN yang bisa berkompetisi dengan Cina?” ucap Rashmi dalam keterangan tertulis, Jumat (13/11/2020).

Siapa yang Diuntungkan?

Pernyataan Rashmi didukung oleh jurnal ilmiah karya tiga ilmuwan India, Sachin Kumar Sharma, Badri Narayanan, dan Adeet Dobhal. Dalam A Quantitative Assessment of India’s Withdrawal from RCEP: Issues and Concerns, mereka membuat simulasi perhitungan dan mengetahui siapa saja yang diuntungkan dari RCEP. Hasilnya, kesepakatan RCEP tanpa India seperti saat ini diprediksi akan merugikan negara ASEAN. Pertumbuhan Domestik Bruto negara ASEAN diprediksi turun 0,44%.

Sebaliknya, 5 negara mitra non-ASEAN akan diuntungkan. PDB Australia diprediksi naik 1,37%, Selandia Baru 1,22%, Cina 0,28%, Jepang 3,2%, dan Korea Selatan 2,52%.

Negara ASEAN baru bisa untung jika India mau ikut. Itu pun dengan kenaikan tipis. Partisipasi India akan membuat PDB negara ASEAN hanya naik 0,15% dengan konsekuensi negara mitranya naik lebih besar. Cina misalnya diprediksi meningkat 0,4%, sementara Jepang 3,27%, dan Korea Selatan 3,05%.

Persis karena alasan akan merugilah India tidak ikut dalam kerja sama. Tanpa berpartisipasi pada RCEP dan kesepakatan tetap ditandatangani, PDB India diprediksi akan turun 0,51%. Dengan RCEP, penurunannya lebih dalam lagi, 0,67%.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad bilang India tidak banyak memiliki kekuatan untuk menandingi besarnya lonjakan impor yang mungkin terjadi, sedangkan mereka adalah pasar yang menjanjikan bagi banyak negara--jumlah penduduknya mencapai 1,3 miliar per 2018. Dengan pembebasan tarif RCEP, ia yakin akan ada banyak komoditas mengalami penurunan harga. Masalahnya, jika terjadi di domestik, maka penurunan harga akan merugikan produsen negara bersangkutan.

Hal inilah yang perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia, katanya. Dengan menandatangani RCEP, seharusnya pemerintah secepatnya mempersiapkan industri dalam negeri untuk mengimbangi potensi lonjakan impor.

Jika pada waktunya tak juga siap, maka “sisanya diserang” sebab Indonesia “tidak punya daya saing di pasar luar.”

Baca juga artikel terkait PERJANJIAN DAGANG atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino