tirto.id - Direktur Perundingan ASEAN Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI Donna Gultom menyebut India akan merugi sendiri jika batal ikut serta dalam Perjanjian kerja sama Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Dengan tak ikut serta dalam kerja sama ini, menurutnya investor di seluruh dunia akan ragu dengan keterbukaan India.
“Kalau tidak ikut, India sendiri yang akan rugi. Artinya mereka bisa dipandang tidak mau terbuka. Mirip kalau kita ingat dengan Cina dulu. Mereka, kan, awalnya tertutup, lalu setelah ekonominya lebih terbuka mereka bisa modernisasi. Sebenarnya justru yang seperti ini harusnya dicontoh,” ucap Donna di Gedung Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Rabu (20/11/2019).
Hingga saat ini, India jadi satu-satunya negara yang belum memutuskan akan bergabung di RCEP. Dalam pembahasan terakhir, Perdana Menteri India Narendra Modi ragu dengan perjanjian ini karena memungkinkan munculnya fenomena banjir barang Cina murah di negaranya.
Menurut Donna, Pemerintahan Indonesia lewat berbagai kementerian terkait, enggan tersandera dengan sikap negara tersebut. Sebab dengan jumlah populasi 48% dari populasi dunia dan total PDB sebesar 32% dari PDB dunia, kawasan RCEP dianggap Indonesia sebagai potensi besar.
“Saya rasa kita tidak boleh seperti itu, jangan sampai terlalu protektif dan justru terjebak dengan diri sendiri,” tukasnya.
Sikap tidak terpengaruh juga diutarakan Rizal Afandi Lukman, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional. Menurut Rizal, jika pun akhirnya India tak ikut perjanjian, hal itu sama sekali tidak mengurangi potensi RCEP.
“India memang negara besar dan penduduknya banyak, tapi dampak mereka terhadap kawasa RCEP itu PDBnya cuma sekitar tiga persen, perdagangannya sendiri menyumbang dua persen. Jadi saya rasa jika India tidak jadi, tidak akan terlalu mengurangi potensi RCEP," tandasnya.
RCEP adalah perjanjian dagang antara 10 negara ASEAN dengan 6 negara Asia-Pasifik meliputi Cina, Korea Selatan, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India. Tujuan dari perjanjian ini adalah menghasilkan kerja sama yang membuka akses bagi pergerakan barang, jasa, sampai investasi di antara seluruh negara anggotanya.
Aturan ini sebenarnya sudah diinisiasi sejak 2012 lalu, namun baru penghujung 2019 ini negosiasi berbasis teks di antara para pesertanya mencapai kata sepakat. Putusan kerja sama ditargetkan selesai pada tahun depan, sehingga aturan ini bisa mulai diimplementasikan pada 2021 atau 2022.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Gilang Ramadhan