tirto.id -
Setelah memutuskan untuk menekuni dunia tari, di tahun 1985 Rusdy berangkat ke Inggris untuk bersekolah.
Setahun Rusdy menjalankan pendidikan di London Contemporary Dance School Rusdy pulang ke Indonesia pulang dengan kebingungan.
Nritya Sundara sebagai salah satu ruang yang menaungi dan memberi rekomendasi Rusdy untuk berangkat ke Inggris pada waktu itu sudah bubar.
Padahal sekembali dari Inggris, Rusdy ingin mengajar atau mengembangkan ilmunya di lembaga tersebut. Tapi ia tidak kehilangan akal, tentu saja beberapa tawaran untuk menari dan menjadi koreograf tetap ia terima. Termasuk dari Farida Feisol, orang pertama yang khusus menemui Rusdy sekembali dari Inggris.
Rusdy pun kemudian membuat kelompok tari dengan nama Era 2000, bersama Aiko Senosoenoto, dan Anto Suhartono. Kelompok ini dibuat oleh Rusdy karena ia diminta oleh Anto Suhartono untuk melatih Teater Adinda.
Di kelompok yang baru dibangun inilah Rusdy menerapkan sebagian besar keilmuan yang ia dapat selama bersekolah London Contemporary Dance School. Tak terbatas hanya bidang tari, Rusdy di kelompok barunya ini ulang-alik antara tari dan teater dalam model pelatihan dan pertunjukan.
“Di sini kami banyak improvisasi, karena sebagian personil adalah orang teater, jadi kami kami merasa bolak-balik antara teater dan tari dalam penggarapan,” kenang Rusdy.
Di Era 2000 ini pada periode awal bergabung sekitar 50 orang anak muda termasuk dari Yayasan Buddha Nichiren Shoshu binaan Aiko Senosoenoto. Rusdy berlaku sebagai koreografer dan mereka sering latihan di ruangan Huriah Adam TIM bergantian dengan kelompok-kelompok seni lain. Dan di kelompok inilah perpaduan antara Rusdy sebagai koreografer dan Aiko dengan manajerialnya mulai terbentuk.
Tapi kelompok ini tidak berjalan lama, manajemen kurang baik dan berbagai persoalan lain membuat kelompok ini kemudian hanya menjadi kelompok tari biasa, dan semakin menciut jadi kelompok kecil.
“Setelah menikah, saya dan Aiko juga punya kesibukan lain, termasuk di organisasi Yayasan Buddha Nichiren Shoshu dan kesibukan lain. Dan Era 2000 juga menjadi semakin kecil,” terang Rusdy.
Rusdy sempat jeda berproses setelah Era 2000 bubar dan sebelum mendirikan EKI Dance Company. Rusdy, terlebih lagi Aiko, mempunyai tanggung jawab untuk membereskan berbagai urusan terkait Yayasan Buddha Nichiren Shoshu setelah orangtua laki-laki Aiko, Senosoenoto, selaku pimpinan agama Buddha Nichiren Shoshu meninggal dunia.
Selama ini, Senosoenoto memang adalah orang yang mendukung kegiatan Rusdy dan Aiko, dalam mendekatkan anak-anak muda di jalan agama melalui kegiatan kesenian. Kesibukan dalam membereskan urusan tersebut membuat Rusdy dan Aiko jeda sebentar dalam dunia kesenian.
Sampai pada suatu ketika dalam pembinaan remaja di Yayasan Buddha Nichiren Shoshu, Rusdy dan Aiko menemukan kasus-kasus yang pada periode tersebut marak terjadi pada kalangan anak-anak muda, yaitu pergaulan bebas dan aborsi.
Pemberitaan mengenai aborsi sering muncul di televisi bahkan Rusdy dan Aiko menemukan kasus tersebut terjadi dalam yayasan yang mereka bina sendiri. Dari peristiwa itulah Rusdy dan Aiko berpikir, bahwa harus ada kegiatan yang mengalihkan perhatian anak-anak muda untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang negatif, dan kegiatan tersebut adalah kesenian.
“Dari sini kami berpikir bahwa harus ada jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan anak muda ini, pergaulan bebas, aborsi, narkoba dan persoalan lain saat itu. Awalnya kami hanya ingin membuat kelompok seni untuk anggota yayasan, tapi setelah perbincangan dengan beberapa seniman, ternyata di Indonesia belum ada dance company,” terang Rusdy.
Pada awal Rusdy ingin membangun lagi sebuah kelompok seni, ia belajar kembali banyak hal terkait apa yang kurang dari kelompok yang pernah ia bangun sebelumnya, dan persoalan-persoalan lain dalam kelompok seni dan persoalan seni di Indonesia. Rusdy melakukan riset kecil-kecilan terkait kenapa seni tradisional dan kesenian lain terkait tari tidak diminati oleh anak muda.
Persoalan mendasar yang ditemukan adalah kualitas sebuah produksi seni tari yang berkurang. Hal ini, menurut Rusdy disebabkan karena anggota dari sebuah kelompok seni tersebut tidak ada yang full timer, dalam artian hanya anggota paruh waktu dan tidak latihan tiap hari.
Persoalan ini sederhana dan mendasar, tapi berimbas pada konsistensi hingga keinginan seorang penari untuk terus dapat melatih diri sepanjang waktu, untuk menghadirkan totalitas dalam sebuah karya tari.
Untuk itulah Rusdy dan Aiko berpikir pada periode awal tersebut penting menghimpun donatur, minimal untuk memberikan uang saku pada penari, supaya mereka dapat latihan tiap hari. Hasil dan perkembangan dari latihan tersebut kemudian dilaporkan pada donatur tersebut.
Menurut Rusdy, ide ini ia dapat dari London Contemporary Dance School, karena di sekolah tersebut juga terdapat donatur-donatur untuk menopang kelangsungan sekolah tersebut.
Maka pada periode itu mulailah Rusdy mengumpulkan penari-penari freelancer profesional untuk sebagai fondasi awal untuk membangun sebuah dance company. Namun para penari freelancer ternyata juga tidak bisa dipertahankan.
Kemudian barulah Rusdy menggabungkan beberapa penari freelancer dengan anak-anak muda anggota yayasan, yang pada dasarnya amatir dan tidak mempunyai dasar pengetahuan tari, dan mulailah mereka dilatih dari nol.
Tawaran Rusdy pada saat awal membentuk dance company pada bukanlah sebuah pertunjukan. Namun Rusdi memberikan pelatihan-pelatihan terus menerus terkait tari.
Karena itu pula, periode latihan dengan pertunjukan pada masa awal EKI Dance Company berjarak cukup panjang. Proses latihan dimulai dari tahun 1996 sementara itu pertunjukan pertama, Kendedes, pada tahun 1998.
Terinspirasi Relief Karmawibhangga Borobudur
Nama Eksotika Karmawibhangga Indonesia sendiri menurut Rusdy hadir seiring perbincangan dengan banyak orang. Ia mengingat pada periode 1990-an sering diadakan festival oleh pemerintahan semacam kirab budaya di mana yayasan yang dikelola Rusdy dan Aiko juga sering mengikutinya.
Pada periode itu juga sering muncul poster-poster pembangunan dan poster pelajar teladan. Karena berbagai persoalan terkait penolakan seni terhadap rezim orde baru, Rusdy jadi teringat akan relief Karmawibhangga pada lantai dasar Candi Borobudur.
“Keunggulan dari relief itu menceritakan kehidupan rakyat sebelum menganut Buddha, dia berada pada lantai dasar. Sekarang sering dikutip dari relief itu adalah persoalan kerukunan, dimana ada resi dan biksu sama-sama memberi ceramah, tapi di sisi lain pada relief itu ada gambaran begal juga, ada orang madat juga. Jadi kita merasa di jalan dulu kerjaannya lebih terbuka,” kata Rusdi.
Karmawibhangga sendiri menjadi buah pikiran bagi Rusdy ketika itu. Relief itu seperti gambaran pemberontakan pikiran Rusdy terhadap cara rezim orde baru mencitrakan masyarakat termasuk anak-anak muda.
Rusdy berpikir bahwa Karmawibhangga sejalan dengan pikirannya terhadap seni yang memberdayakan anak-anak muda yang dianggap tidak berguna dalam masyarakat terkait persoalan pergaulan bebas, narkoba, tawuran, dan sebagainya.
“Di relief Karmawibhangga semuanya digambarkan, tapi tentu anak-anak muda yang dianggap tidak berguna dalam masyarakat tidak akan pernah masuk pada poster-poster pembangunan dan poster pelajar teladan pada periode itu?” kata Rusdy.
Untuk itu pula pada periode awal EKI Dance Company menggarap tema-tema anak muda dalam koreografi tarinya, tema narkoba, tema seksualitas, dan sebagainya.
Tak mudah bagi Rusdy dan Aiko membangun EKI Dance Company pada periode awal. Rusdy merasa bahwa mengurus izin dari orang tua para penari adalah persoalan utama di masa awal tersebut. Bahkan ada di antara anggota EKI Dance Company yang memutuskan untuk meninggalkan kuliah pada semester akhir dan ingin fokus pada dunia tari.
Rusdy merasa para orang tua penari periode itu merasa takut anaknya akan terbelit pada persoalan pergaulan bebas karena pandangan terhadap dunia seni dan tari. Untuk itu Rusdy dan Aiko harus menjaga betul para anggota untuk tidak terjerumus dalam kegiatan negatif anak-anak muda pada waktu itu.
“Kami membawa para seniman dan budayawan untuk mengajar, memberikan pengetahuan soal seni dan kebudayaan, karena background mereka bukan seni. Untuk itu kami datangkan Firman Ichsan, Hilmar Farid, Reda Gaudiamo, dan lain-lain untuk mengisi kelas memberikan anggota EKI Dance Company pengetahuan terkait seni dan budaya,” kenang Rusdy.
Persoalan dalam tubuh EKI Dance Company pada periode awal tidak hanya itu saja. Pernah terjadi krisis keuangan dalam manajemen yang menyebabkan pagelaran besarnya harus diubah ke dalam bentuk musikal karena sebelumnya EKI Dance Company merasa pertunjukan yang dihadirkan terlalu menonjolkan kritik sosial terkait banalitas kehidupan manusia urban.
Kritikan pun berdatangan dari berbagai pihak termasuk dari kritikus tari. Rusdy pun merasa babak baru dalam konsep pertunjukan EKI Dance Company harus dimulai dengan menghadirkan musikal ringan dengan mengangkat tema-tema lokalitas dan cerita-cerita yang gampang dicerna oleh penonton beragam usia.
Rusdy merasa, hingga 25 tahun usia EKI Dance Company sudah beberapa pola perubahan estetika yang ia coba hadirkan. Mulai dari tari kontemporer, balet, showbiz, hingga sampai pada musikal dengan dalam genre jaz dan broadway. Ini juga terkait dengan pengalaman personal Rusdi sendiri selaku seorang koreografer yang cukup beragam.
Sebelum Rusdy berangkat sekolah ke London Contemporary Dance School dan dekat dengan tari kontemporer, ia banyak bersentuhan dengan ballet dan tari-tarian showbiz, bahkan pernah menari di night club dan diskotik menjadi penari latar.
Rusdy merasakan kedekatannya dengan tari kontemporer ketika ia berada belajar di Inggris. Dan bagaimanapun, ia merasa sepulang dari Inggris, persoalan-persoalan sosial Indonesia tetap melekat dan menjadi perhatiannya sehingga ia merasa harus tetap berupaya meraih itu.
“Garapan periode awal ini memang banyak mendatangkan kritik. Tapi kemudian saya berusaha meraih musikal, pengalaman saya terhadap tari tradisi dan tari melayu kemudian hadir kembali dalam garapan jenis musikal,” kata Rusdy.
Model-model perubahan itu pula kemudian yang membuat Rusdy merasa EKI Dance Company selalu siap dalam periode sulit, semisal pada saat pandemi melanda ketika perusahaan seni ini memasuki usia setengah abad.
EKI Dance Company gagap dalam menghadirkan sebuah pertunjukan virtual dengan bantuan teknologi karena mereka sudah ditempa oleh berbagai kemungkinan-kemungkinan penghadiran tari secara penggarapan dan bentuk penghadiran.
Di saat sebagian besar komunitas dan perusahaan seni mengeluhkan tidak bisa berkreasi dan melakukan pertunjukan pada saat pandemi, EKI Dance Company malah menghadirkan berbagai bentuk seni pertunjukan, mulai dari film tari dan beragam pertunjukan virtual lain.
Selain terkait dengan konsep pertunjukan Rusdy merasa bahwa perkembangan manajemen yang terjadi dalam tubuh EKI Dance Company telah membuat perusahaan seni tersebut cukup kuat dan siap dalam berbagai kemungkinan. Dari manajemen biasa hingga menjadi manajemen yang menggerakkan tubuh perusahaan dan bisa menghidupi perusahaan seni itu sendiri.
Antara Seni dan Keluarga
Dua puluh lima tahun usia EKI Dance Company, di periode awal perusahaan seni tersebut dibangun, kegamangan pernah muncul dalam pikiran Rusdy dan Aiko. Dari persoalan menyakinkan diri dan mempertaruhkan hidup keluarga dan hidup banyak anggota pada sebuah dance company. Pernah suatu ketika Rusdy memutuskan harus berhenti menari pada saat kelahiran anak pertamanya.
“Saya merasa harus berhenti menari karena timbul pertanyaan dalam diri saya, bagaimana anak saya kalau melihat saya menari?” terang Rusdy.
Tapi malahan Rusdy merasa ada bagian dari dirinya yang terkungkung ketika ia berhenti menari. Hal tersebut juga menjadi pemicu perdebatan rumah tangga antara dirinya dan Aiko. Hingga pada akhirnya Aiko menyarankan pada Rusdy, ia harus menjalani kehidupan di jalan tari sebagaimana mestinya, semua harus mengalir. Dan hal ini pula salah satu pemicu untuk mereka mendirikan sebuah perusahaan seni, sebuah dance company.
Dalam menjalani kehidupan di bidang seni tari Rusdy dan Aiko bahkan sudah mengajarkan pada anak-anak mereka menjalani kehidupan dalam dunia seni, khususnya tari. Bagaimana hidup berdampingan dengan banyak orang dalam sebuah perusahaan seni yang mungkin kehidupan tersebut tidak pernah dijalani oleh banyak orang.
Bagi Rusdy sendiri, EKI Dance Company adalah kehidupannya dan keluarganya, dan ia merasa bahwa keluarganya beruntung ketika hidup dalam lingkungan banyak orang.
“Mereka itu sudah seperti keluarga saya sendiri. Para anggota EKI Dance Company menjaga anak-anak saya seperti menjaga keluarga mereka juga. Bahkan ketika saya memarahi anak saya sendiri mereka membela,” kata Rusdy sambil tertawa.
Penulis: Esha Tegar Putra
Editor: Lilin Rosa Santi